Bulan Agustus, seperti tahun-tahun sebelumnya udara di desa Kemiri
dan juga desa-desa lain di sekitarnya terasa panas. Beberapa pohon meranggas.
Sumur-sumur warga pun ada yang sudah tak berarir. Angin yang bertiup membawa
debu-debu beterbangan kemana-mana.
Para peternak kambing atau sapi di desa itu mulai kebingungan
mencari rumput atau jerami untuk makan binatang peliharaan mereka. Tak jarang
mereka harus mencarinya jauh sampai perbatasan desa agar kambing dan sapi milik
mereka tetap hidup. Bahkan kadang sapi atau kambing-kambing itu juga ikut
dibawanya.
“Kang Darman, sudah selesai ngaritnya?”
“Sebentar lagi, Wi. Apa kamu sudah
dapat rumput yang cukup?”
“Ndak terlalu banyak juga, Kang. Tapi
aku rasa ini sudah cukup buat kambing-kambingku. Toh besok masih bisa cari
lagi.”
“Segitu kamu bilang cukup? Lha
kambing-kambingmu nanti opo ora kaliren?”
“Mau gimana lagi Kang. Ya memang nyari
rumputnya juga susah. Namanya juga lagi musim panas begini.”
“Mengko
dhisik. Aku penuhi dulu karungku. Tanggung iki. Kamu kok buru-buru mau pulang, apa sudah ndak tahan mau ketemu
sama istrimu? ”
“Ngomong opo to Kang kowe iki.”
“Lha siapa tahu bener begitu.”
“Macem-macem
ae kowe Kang . Yo wis, aku mau ke
kali dulu ya Kang. Lagi mules perutku.”
“Ojo suwe-suwe Wi. Kalo sudah rampung,
cepat kesini. Sebentar lagi gelap”
“Kenapa Kang? Takut ya ketemu sama...”
“Jangan ngomong sembarangan kamu!
Jangan sebut nama itu! Sudah sana, cepat ke kali.”
Karwi pun bergegas meninggalkan Darman yang masih mengayunkan
sabitnya mencari rumput. Ditinggal seorang diri, Darman pun mulai dihinggapi
rasa takut. Namun ia berusaha menepis ketakutannya itu.
Memang sudah hampir sepuluh tahun ini penduduk Desa Kemiri selalu
dihantui ketakutan, apalagi kalau hari beranjak gelap. Bulan Agustus seperti
ini, adalah puncak ketakutan warga Desa Kemiri. Tiap tahun selalu saja ada
cerita mengenai warga desa yang ditemui hantu dan kemudian meninggal secara
tidak wajar.
Katanya itu adalah arwah gentayangan yang mau balas dendam atas
kematiannya.
Darman pun mencoba mengusir rasa takutnya dengan bernyanyi lirih. Lagu-lagu
yang dihapalnya pun mulai keluar dari mulutnya, sambil ia meneruskan
pekerjaannya. Tidak lama, terdengarlah suara langkah kaki mendekat di belakang
Darman.
“Lha kok cepet balik, Wi. Opo wis ilang mulese?” tanya Darman
Tak ada jawaban. Yang ditanya malah diam saja.
“Kok diam
saja, Wi. Opo wis bisu kowe?” Darman
kembali bertanya, sambil tetap meneruskan ngarit dan bernyanyi pelan.
Orang yang di belakang Darman malah bernyanyi juga. Tapi suaranya
berat, tidak seperti suara Karwi yang cempreng itu.
Gegaraning
wong akrami
Dudu bandha dudu rupa
Dudu bandha dudu rupa
Baru dua baris lagu asmaradana yang dinyanyikan, tapi
sekonyong-konyong membuat Darman kaget. Itu lagu yang tidak boleh dinyanyikan
oleh siapa pun juga di desanya. Lagu yang
hanya akan membawa malapetaka saja.
Darman pun berdiri dan membalikkan badan. Dilihatnya sesosok
lelaki dengan caping di kepalanya yang membuat wajahnya tidak jelas terlihat,
dan memang bukan Karwi.
“Ka..kamu...
“
Darman terbata-bata. Mukanya mendadak memucat. Badannya sontak
gemetar
Amung
ati pawitane
Luput pisan kena pisan
Luput pisan kena pisan
Lelaki bercaping itu menyanyikan lagi baris-baris asmaradana
selanjutnya. Suaranya berat, tapi merdu dan enak didengar saat menyanyikan
asmaradana itu.
Darman semakin gemetar. Arit yang dipegang di tangan kanannya pun
ikut bergetar.
“To.. tolong
jangan bunuh aku... Am..ampuni aku...“
Darman berusaha meminta belas kasihan kepada lelaki itu.
“Aku... aku
hanya menjalankan perintah saja... untuk
membunuhmu... Ampuni aku.”
Darman pun mengumpulkan kekuatannya.
Dia membalikkan badan dan berusaha lari dari tempat itu
Dia membalikkan badan dan berusaha lari dari tempat itu
Lamun
gampang luwih gampang
Lamun angel, angel kalangkung
Tan kena tinumbas arta
Lamun angel, angel kalangkung
Tan kena tinumbas arta
Namun naas. Saat Darman mencoba berlari, kakinya tersangkut pada
tali pengikat karung. Darman pun terjatuh.
Arit yang dipegangnya menusuk pinggangnya. Darah pun segera
mengalir keluar dari perut Darman, mengalir membasahi rumput dan tanah. Darman
mengerang kesakitan sambil memegangi perutnya.
Sosok lelaki atau mungkin hantu yang baru saja dilihatnya bergerak
menjauh, dan kemudian menghilang di balik bayangan rumpun bambu.
Dari jauh, Karwi tergopoh-gopoh berlari mendekat. Dilihatnya tubuh
Darman yang sudah bersimbah darah.
“Kang, Kang
Darman. Kenapa Kang?”
Karwi mengguncang-guncang tubuh Darman.
Namun Darman sudah tak bergerak lagi. Nyawanya tak tertolong.
Namun Darman sudah tak bergerak lagi. Nyawanya tak tertolong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar