Minggu, 02 Februari 2014

Asmaradana Terlarang (3)

Sebuah rumah berdinding bata dengan halaman tak seberapa luas. Seorang lelaki sepuh berumur tujuh puluhan tahun tampak sedang duduk di balai-balai depan rumah menikmati ketenangan senja yang baru saja tiba.

                “Nduk Tari, iki jam piro?” tanya lelaki itu.

                “Jam setengah enam, Pak’e.” Terdengar suara seorang wanita  menjawab dari dalam rumah.

                “Lha sudah sore gini, kok kopinya belum dibawa ke depan?”

                “Sebentar, Pak’e.”

Tak berapa lama keluarlah seorang wanita yang dipanggil dengan nama Tari itu. Nama lengkapnya Sutari, umurnya empat puluh lima tahun.

                “Iki kopine yo Pak’eMonggo diminum.”

                “Taruh di situ dulu,” kata lelaki yang dipanggil dengan Pak’e itu. “Duduk dulu sebentar sini.”

***

But you didn't have to cut me off
Make out like it never happened and that we were nothing
And I don't even need your love
But you treat me like a stranger and that feels so rough

No you didn't have to stoop so low
Have your friends collect your records and then change your number
I guess that I don't need that though
Now you're just somebody that I used to know


Sebuah lagu Somebody That I Used To Know mengalun pelan. Suara Gotye sang pelantun lagu begitu khas, sekilas hampir mirip dengan Sting atau mungkin juga mirip dengan suara Phil Collins.

Satriyo lagi nggak kemana-mana sore itu. Dihabiskannya waktu dengan membuka Facebook dan Twitter di kamarnya sambil mendengarkan lagu-lagu di Blackberry-nya. Dia masih menimbang-nimbang apakah hendak mengambil tawaran kerja di luar kota. Bingung.

***

                “Ada apa, Pak’e. Kayaknya ada yang penting mau dibicarakan.”

                “Gini lho Tari. Aku kok kangen sama Sundari, kakakmu itu. Sudah lama dia ndak pulang nengok bapaknya ini.”

                “Kayaknya sudah sepuluh tahun. Tari juga kangen.”

                “Ya itu. Apa mbakyu kamu itu sudah lupa sama bapaknya.”

                “Ya ndak tahu juga, Pak’e. Mungkin saja Mbak Ndari belum ada waktu pulang ke Pati.”

                “Lha nunggu kapan? Nunggu aku mati?”

                “Pak’e mbok ya jangan ngomong kayak gitu.”

                “Coba kamu kirim sms, bilang kalo Bapak sudah kangen.”

                “Iya, nanti aku sms ke Mbak Ndari.”

***

Satriyo masih saja menimbang-nimbang. Sebenarnya dalam hatinya ia nggak mau ambil. Selain karena lokasinya di luar kota, jug ia nggak tega ninggalin ibunya sendirian.

                “Hhhhh...”

Satriyo menghela nafas panjang. Tangan kanannya masih sibuk menggerakkan mouse. Sesekali jari-jarinya mengetikkan beberapa kata untuk menuliskan komen di status teman-temannya.

Dengar laraku
Suara hati ini memanggil namamu
Karena separuh aku
Menyentuh laramu
Semua lukamu telah menjadi lirihku
Karena separuh aku, dirimu


Terdengar suara Ariel dengan band barunya.
Dan lagu demi lagu terus mengalir menemani Satriyo sore itu.

                “Ah, aku ngomong dulu sama Mama. Mau minta masukannya.”

***


“Kalau bukan karena emakmu meninggal dunia, aku yakin juga Ndari ndak mau pulang sepuluh tahun lalu itu.”

“Sudahlah, Pak’e. Ndak usah berpikiran buruk. Mbak Ndari juga pasti ndak punya pikiran melupakan kita yang ada di Pati ini. Apalagi buat pulang juga perlu duit, Pak’e.”

“Kalo mikirin duit, ya ndak ada habis-habisnya.”


Sejenak suasana hening. Lelaki yang dipanggil Pak’e itu mengambil cangkir di depannya. Diseruputnya kopi hitam kesukaannya itu.
               

                “Anu. Anaknya Ndari sekarang sudah umur berapa ya? Aku juga kangen sama cucuku. Sudah lama aku ndak ketemu, malah kayaknya sudah lupa dengan wajahnya.”

                “Dua enam. Atau dua delapan mungkin. Kurang lebih segitu, aku juga ndak terlalu ingat umur ponakanku. Lha wong waktu Mbak Ndari terakhir pulang ke Pati hanya sendirian saja.”

                “Ooo...”

                “Yo wis, Pak’e. Aku pulang dulu ya.”

                “Yo, Nduk.”

Sutari pun meninggalkan bapaknya seorang diri. Ia berjalan menuju rumahnya, yang berada tak jauh dari rumah bapaknya itu.

***


Sundari sedang melepas lelah di kamar sore itu. Diambilnya album foto dari rak kayu kecil di sudut kamar. Dibukanya satu per satu halaman album itu, dan dilihatnya kembali foto-foto yang sebagian sudah berwarna pudar.

Kenangan masa-masa lalu pun melintas di pikirannya.

Dilihatnya foto hitam putih dirinya dan adiknya, Sutari waktu masih kecil. Juga foto Bapak dan mendiang ibunya dulu. Segaris senyum pun mengembang di pipi Sundari. Perasaan haru pun menghampirinya.

Kemudian dilihatnya juga foto seorang anak laki-laki enam tahun yang begitu lucu, dengan seragam merah putih saat baru pertama kali masuk SD. Anak semata wayang yang sangat dikasihinya, yang tidak pernah melihat dan tahu siapa bapaknya.

Tak terasa air mata Sundari pun meleleh, mengalir menuruni pipinya. Masih ingat bagaimana dengan pedih hati ia harus kehilangan suaminya saat baru beberapa bulan menikah. Sundari tak kan pernah lupa, bagaimana tragisnya waktu suaminya meninggal. Trauma yang begitu mendalam membuat Sundari terpaksa pergi dari desanya di Pati dengan kondisi hamil muda.

Dua puluh sembilan tahun lalu Sundari ikut pamannya, adik dari ibunya, merantau ke Jakarta. Setelah melahirkan, Sundari pun mencoba mencari kerja. Pekerjaan apa saja dilakoninya, untuk menghidupi anak semata wayangnya itu. Sundari sendiri memilih untuk tidak menikah lagi, walaupun pamannya mendesaknya untuk mau menikah.

Dengan perjuangan yang berat Sundari membesarkan dan menyekolahkan anak laki-lakinya hingga lulus SMU. Anak laki-lakinya pun bekerja setelah lulus SMU. Empat tahun bekerja, anak laki-lakinya itu kemudian melanjutkan kuliah. Tentu saja kuliah sambil bekerja. Dan bulan lalu, anaknya berhasil menjadi sarjana. Sebuah kebanggan tersendiri bagi Sundari.

“Tok, tok”

Terdengar suara ketukan pintu kamar.

                “Ma...”

                “Iya, Yo.”

                “Ada waktu nggak, Ma? Mau bicara sebentar.”

                “Tunggu dulu ya.”

Sundari pun menyeka pipi dan matanya yang basah. Lalu dibukanya pintu kamar.


                “Ada apa, Yo?” tanyanya kepada anaknya, Satriyo yang berdiri di depan pintu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar