Sebuah rumah berdinding bata dengan
halaman tak seberapa luas. Seorang lelaki sepuh berumur tujuh puluhan tahun
tampak sedang duduk di balai-balai depan rumah menikmati ketenangan senja yang
baru saja tiba.
“Nduk Tari, iki jam piro?” tanya lelaki itu.
“Jam setengah
enam, Pak’e.” Terdengar suara seorang
wanita menjawab dari dalam rumah.
“Lha sudah
sore gini, kok kopinya belum dibawa ke depan?”
“Sebentar, Pak’e.”
Tak berapa lama keluarlah seorang wanita yang dipanggil dengan
nama Tari itu. Nama lengkapnya Sutari, umurnya empat puluh lima tahun.
“Iki kopine yo Pak’e. Monggo
diminum.”
“Taruh di
situ dulu,” kata lelaki yang dipanggil dengan Pak’e itu. “Duduk dulu sebentar
sini.”
***
But you didn't
have to cut me off
Make out like it never happened and that we were nothing
And I don't even need your love
But you treat me like a stranger and that feels so rough
Make out like it never happened and that we were nothing
And I don't even need your love
But you treat me like a stranger and that feels so rough
No you didn't
have to stoop so low
Have your friends collect your records and then change your number
I guess that I don't need that though
Now you're just somebody that I used to know
Have your friends collect your records and then change your number
I guess that I don't need that though
Now you're just somebody that I used to know
Sebuah lagu Somebody
That I Used To Know mengalun pelan. Suara Gotye sang pelantun lagu begitu khas, sekilas hampir mirip dengan Sting atau mungkin juga mirip dengan
suara Phil Collins.
Satriyo lagi nggak kemana-mana sore itu. Dihabiskannya
waktu dengan membuka Facebook dan Twitter di kamarnya sambil mendengarkan
lagu-lagu di Blackberry-nya. Dia masih menimbang-nimbang apakah hendak
mengambil tawaran kerja di luar kota. Bingung.
***
“Ada
apa, Pak’e. Kayaknya ada yang penting
mau dibicarakan.”
“Gini
lho Tari. Aku kok kangen sama Sundari, kakakmu itu. Sudah lama dia ndak pulang
nengok bapaknya ini.”
“Kayaknya
sudah sepuluh tahun. Tari juga kangen.”
“Ya
itu. Apa mbakyu kamu itu sudah lupa sama bapaknya.”
“Ya
ndak tahu juga, Pak’e. Mungkin saja
Mbak Ndari belum ada waktu pulang ke Pati.”
“Lha
nunggu kapan? Nunggu aku mati?”
“Pak’e mbok ya jangan ngomong kayak gitu.”
“Coba kamu
kirim sms, bilang kalo Bapak sudah kangen.”
“Iya, nanti
aku sms ke Mbak Ndari.”
***
Satriyo masih saja menimbang-nimbang.
Sebenarnya dalam hatinya ia nggak mau ambil. Selain karena lokasinya di luar
kota, jug ia nggak tega ninggalin ibunya sendirian.
“Hhhhh...”
Satriyo menghela nafas panjang. Tangan
kanannya masih sibuk menggerakkan mouse. Sesekali jari-jarinya mengetikkan
beberapa kata untuk menuliskan komen di status teman-temannya.
Dengar
laraku
Suara hati ini memanggil namamu
Karena separuh aku
Menyentuh laramu
Semua lukamu telah menjadi lirihku
Karena separuh aku, dirimu
Suara hati ini memanggil namamu
Karena separuh aku
Menyentuh laramu
Semua lukamu telah menjadi lirihku
Karena separuh aku, dirimu
Terdengar suara Ariel
dengan band barunya.
Dan lagu demi lagu terus mengalir menemani Satriyo sore itu.
Dan lagu demi lagu terus mengalir menemani Satriyo sore itu.
“Ah, aku
ngomong dulu sama Mama. Mau minta masukannya.”
***
“Kalau
bukan karena emakmu meninggal dunia, aku yakin juga Ndari ndak mau pulang
sepuluh tahun lalu itu.”
“Sudahlah,
Pak’e. Ndak usah berpikiran buruk.
Mbak Ndari juga pasti ndak punya pikiran melupakan kita yang ada di Pati ini.
Apalagi buat pulang juga perlu duit, Pak’e.”
“Kalo
mikirin duit, ya ndak ada habis-habisnya.”
Sejenak suasana hening. Lelaki yang dipanggil
Pak’e itu mengambil cangkir di depannya. Diseruputnya kopi hitam kesukaannya
itu.
“Anu.
Anaknya Ndari sekarang sudah umur berapa ya? Aku juga kangen sama cucuku. Sudah
lama aku ndak ketemu, malah kayaknya sudah lupa dengan wajahnya.”
“Dua
enam. Atau dua delapan mungkin. Kurang lebih segitu, aku juga ndak terlalu
ingat umur ponakanku. Lha wong waktu
Mbak Ndari terakhir pulang ke Pati hanya sendirian saja.”
“Ooo...”
“Yo wis, Pak’e. Aku pulang dulu ya.”
“Yo, Nduk.”
Sutari pun meninggalkan bapaknya
seorang diri. Ia berjalan menuju rumahnya, yang berada tak jauh dari rumah
bapaknya itu.
***
Sundari sedang melepas lelah di kamar
sore itu. Diambilnya album foto dari rak kayu kecil di sudut kamar. Dibukanya
satu per satu halaman album itu, dan dilihatnya kembali foto-foto yang sebagian
sudah berwarna pudar.
Kenangan masa-masa lalu pun melintas
di pikirannya.
Dilihatnya foto hitam putih dirinya
dan adiknya, Sutari waktu masih kecil. Juga foto Bapak dan mendiang ibunya
dulu. Segaris senyum pun mengembang di pipi Sundari. Perasaan haru pun
menghampirinya.
Kemudian dilihatnya juga foto seorang
anak laki-laki enam tahun yang begitu lucu, dengan seragam merah putih saat
baru pertama kali masuk SD. Anak semata wayang yang sangat dikasihinya, yang
tidak pernah melihat dan tahu siapa bapaknya.
Tak terasa air mata Sundari pun
meleleh, mengalir menuruni pipinya. Masih ingat bagaimana dengan pedih hati ia
harus kehilangan suaminya saat baru beberapa bulan menikah. Sundari tak kan
pernah lupa, bagaimana tragisnya waktu suaminya meninggal. Trauma yang begitu
mendalam membuat Sundari terpaksa pergi dari desanya di Pati dengan kondisi
hamil muda.
Dua puluh sembilan tahun lalu Sundari
ikut pamannya, adik dari ibunya, merantau ke Jakarta. Setelah melahirkan,
Sundari pun mencoba mencari kerja. Pekerjaan apa saja dilakoninya, untuk
menghidupi anak semata wayangnya itu. Sundari sendiri memilih untuk tidak
menikah lagi, walaupun pamannya mendesaknya untuk mau menikah.
Dengan perjuangan yang berat Sundari
membesarkan dan menyekolahkan anak laki-lakinya hingga lulus SMU. Anak
laki-lakinya pun bekerja setelah lulus SMU. Empat tahun bekerja, anak
laki-lakinya itu kemudian melanjutkan kuliah. Tentu saja kuliah sambil bekerja.
Dan bulan lalu, anaknya berhasil menjadi sarjana. Sebuah kebanggan tersendiri
bagi Sundari.
“Tok, tok”
Terdengar suara ketukan pintu kamar.
“Ma...”
“Iya,
Yo.”
“Ada
waktu nggak, Ma? Mau bicara sebentar.”
“Tunggu
dulu ya.”
Sundari pun menyeka pipi dan matanya
yang basah. Lalu dibukanya pintu kamar.
“Ada
apa, Yo?” tanyanya kepada anaknya, Satriyo yang berdiri di depan pintu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar