“Krisno!”
“Nggih, Pak. Ada apa?”
Krisno pun datang menghampiri. Kemudian duduk di samping bapaknya
itu.
“Aku menerima ini. Satu lagi buat
kamu,” kata petinggi desa itu sambil menunjukkan dua lembar kertas yang agak tebal.
“Undangan? Dari siapa, Pak? Siapa yang
mau menikah?”
“Coba kamu baca sendiri.”
Krisno pun membuka surat undangan itu. Begitu membaca nama yang
tertulis di atas kertas berwarna putih itu, mendadak air mukanya menjadi muram.
“Ndari?” kata Krisno pelan, entah ia
bertanya kepada Bapaknya atau kepada dirinya sendiri.
“Jadi sekarang Sundari sudah
menentukan plihannya. Dia sudah memilih siapakah pria yang akan menjadi
suaminya.”
“Eh... iya”
Sejurus kemudian, perbincangan antara kedua laki-laki itu berubah
hening.
“Aku mau tanya ke kamu. Kenapa kamu
tidak bisa mengambil hati Sundari? Padahal aku berharap dia bisa jadi mantuku.”
“Emm, entahlah Pak. Krisno sendiri
sebenarnya sudah berusaha mendekati dia. Tapi Sundari selalu menghindar dan
rupanya lebih memilih yang lain, pemain kethoprak keparat itu!”
“Apa kamu bilang??!!” tanya Pak Kades
sedikit kaget. “Kata-kata apa yang keluar dari mulutmu itu??!!”
“Oh maaf, Pak. Tapi memang sejak dari
awal Baskoro selalu menjadi penghalang untuk aku bisa mendapatkan Sundari. Dan
ini yang membuatku jengkel.” Kemarahan
terlihat dari raut wajah Krisno.
“Kamu boleh merasa jengkel. Tapi tak
sepantasnya kamu menyalahkan siapa pun! Dan tak sepantasnya juga aku mendengar
kata-kata yang tidak terhormat yang baru saja kamu ucapkan!”
“Maaf, Pak ...”
“Sudahlah, kamu jangan bersikap
sebodoh itu. Mulai sekarang sebaiknya kamu mencari wanita lainnya untuk jadi
istrimu.”
“Baik, Pak ...”
“Aku juga kecewa kamu tidak bisa mendapat
Ndari, tapi sudahlah. Masih banyak wanita di desa ini yang cantik dan pintar,
meski tak seistimewa Ndari.”
“Hhhh...,” Krisno menghela nafas
dalam-dalam. “Baik, Pak”
“Sekali lagi aku ingatkan agar kamu
bisa menjaga kehormatan keluarga kita. Bapak tidak ingin kamu bersikap atau bertindak
yang bukan-bukan dan sembrono.”
***
“Dik Tari, kalau sayurnya sudah matang
jangan lupa kompornya dikecilkan saja.”
“Iya, iya Mbak Ndari. Jangan kuatir!
Biar begini, adikmu ini juga lebih pintar masak kalau dibanding Mbak!”
“Ee halah, jangan sok ya. Biar aku
jarang masak, tapi jangan anggap aku ndak bisa buat masakan yang enak. Coba
lihat, bandeng goreng yang lagi aku buat ini pasti lebih enak dibanding
buatanmu.”
“Hihihi... Nah itu Mbak Ndari ngaku
sendiri kalau jarang masak. Kalau cuma nggoreng bandeng, semua orang juga bisa.
Eh, ati-ati gosong bandengnya!”
“Tenang, ndak bakal gosong.”
“Makanya Mbak, dari dulu kalau diminta
tolong bantu-bantu masak, jangan menolak. Alasan lagi sibuk lah, mau berangkat
nari lah. Nah, sekarang giliran mau kawin, baru sibuk belajar masak. Hihihi...”
“Kamu kok malah meledek gitu.”
“Bukan bermaksud gitu, Mbak. Sepintar
apa pun seorang wanita, mau pintar sekolahnya, mau pintar nari, pintar ini itu,
tapi kalau ndak bisa masak ya percuma saja.”
“Halaaaah, sok tau ah kamu. Ndak usah
diajari aku juga tahu. Lha kamu, selain masak bisanya apa?”
“Bisa apa ya? Mmmm ... Nyanyi juga
bisa”
“Nyanyi? Coba aku mau dengar!”
“Coba ya...”
Sutari mematikan kompor, sayur yang dibuatnya sudah matang. Lalu
ia menegakkan badannya dan menyanyi
Gegaraning
wong akrami
Dudu bandha dudu rupa
Amung ati pawitane
Luput pisan kena pisan
....
Dudu bandha dudu rupa
Amung ati pawitane
Luput pisan kena pisan
....
Belum selesai lagu itu dinyanyikan, Sundari sudah menyelanya
“Eh, kamu ndak boleh nyanyi lagu ini.”
“Lho, kok ndak boleh?”
“Cuma Mas Baskoro yang boleh. Cuma dia
yang cocok nyanyi lagu ini. Kalau kamu yang nyanyi, ndak pas. Suaramu mblero. Wagu,
jelek. Hahaha..”
Perbincangan antara dua kakak beradik itu terpaksa terpotong
sebentar, begitu ibu mereka masuk ke ruang dapur itu.
“Ini kok dari tadi ribut-ribut di
dapur, ada apa tho?”
“Ndak ada apa-apa, Mak’e. Biasa, cuma
bercanda saja,” jawab Sutari.
“Iya, ndak ada-apa Mak’e,” timpal
Sundari
“Sudah selesai masaknya?”
“Sudah,” jawab Sundari dan Sutari
hampir bersamaan.
“Kalau sudah, cepet dibawa ke meja
makan. Bapakmu sudah nunggu dari tadi
Mak’e keluar meninggalkan dapur. Sundari dan Sutari saling
berpandangan sebentar, sejurus kemudian keduanya tertawa kecil. Lalu mereka
keluar membawa piring berisi ikan bandeng goreng dan mangkuk berisi sayur bayam
menuju meja makan. Dan di sana, kedua orang tuanya sudah menunggu mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar