Minggu, 02 Februari 2014

Asmaradana Terlarang (14)


“Krisno!”

“Nggih, Pak. Ada apa?”

Krisno pun datang menghampiri. Kemudian duduk di samping bapaknya itu.

“Aku menerima ini. Satu lagi buat kamu,” kata petinggi desa itu sambil menunjukkan  dua lembar kertas yang agak tebal.

“Undangan? Dari siapa, Pak? Siapa yang mau menikah?”

“Coba kamu baca sendiri.”

Krisno pun membuka surat undangan itu. Begitu membaca nama yang tertulis di atas kertas berwarna putih itu, mendadak air mukanya menjadi muram.

“Ndari?” kata Krisno pelan, entah ia bertanya kepada Bapaknya atau kepada dirinya sendiri.

“Jadi sekarang Sundari sudah menentukan plihannya. Dia sudah memilih siapakah pria yang akan menjadi suaminya.”

“Eh... iya”

Sejurus kemudian, perbincangan antara kedua laki-laki itu berubah hening.

“Aku mau tanya ke kamu. Kenapa kamu tidak bisa mengambil hati Sundari? Padahal aku berharap dia bisa jadi mantuku.”

“Emm, entahlah Pak. Krisno sendiri sebenarnya sudah berusaha mendekati dia. Tapi Sundari selalu menghindar dan rupanya lebih memilih yang lain, pemain kethoprak keparat itu!”

“Apa kamu bilang??!!” tanya Pak Kades sedikit kaget. “Kata-kata apa yang keluar dari mulutmu itu??!!”

“Oh maaf, Pak. Tapi memang sejak dari awal Baskoro selalu menjadi penghalang untuk aku bisa mendapatkan Sundari. Dan ini yang membuatku jengkel.”  Kemarahan terlihat dari raut wajah Krisno.

“Kamu boleh merasa jengkel. Tapi tak sepantasnya kamu menyalahkan siapa pun! Dan tak sepantasnya juga aku mendengar kata-kata yang tidak terhormat yang baru saja kamu ucapkan!”

“Maaf, Pak ...”

“Sudahlah, kamu jangan bersikap sebodoh itu. Mulai sekarang sebaiknya kamu mencari wanita lainnya untuk jadi istrimu.”

“Baik, Pak ...”

“Aku juga kecewa kamu tidak bisa mendapat Ndari, tapi sudahlah. Masih banyak wanita di desa ini yang cantik dan pintar, meski tak seistimewa Ndari.”

“Hhhh...,” Krisno menghela nafas dalam-dalam. “Baik, Pak”

“Sekali lagi aku ingatkan agar kamu bisa menjaga kehormatan keluarga kita. Bapak tidak ingin kamu bersikap atau bertindak yang bukan-bukan dan sembrono.”


***

“Dik Tari, kalau sayurnya sudah matang jangan lupa kompornya dikecilkan saja.”

“Iya, iya Mbak Ndari. Jangan kuatir! Biar begini, adikmu ini juga lebih pintar masak kalau dibanding Mbak!”

“Ee halah, jangan sok ya. Biar aku jarang masak, tapi jangan anggap aku ndak bisa buat masakan yang enak. Coba lihat, bandeng goreng yang lagi aku buat ini pasti lebih enak dibanding buatanmu.”

“Hihihi... Nah itu Mbak Ndari ngaku sendiri kalau jarang masak. Kalau cuma nggoreng bandeng, semua orang juga bisa. Eh, ati-ati gosong bandengnya!”

“Tenang, ndak bakal gosong.”

“Makanya Mbak, dari dulu kalau diminta tolong bantu-bantu masak, jangan menolak. Alasan lagi sibuk lah, mau berangkat nari lah. Nah, sekarang giliran mau kawin, baru sibuk belajar masak. Hihihi...”

“Kamu kok malah meledek gitu.”

“Bukan bermaksud gitu, Mbak. Sepintar apa pun seorang wanita, mau pintar sekolahnya, mau pintar nari, pintar ini itu, tapi kalau ndak bisa masak ya percuma saja.”

“Halaaaah, sok tau ah kamu. Ndak usah diajari aku juga tahu. Lha kamu, selain masak bisanya apa?”

“Bisa apa ya? Mmmm ... Nyanyi juga bisa”
“Nyanyi? Coba aku mau dengar!”
“Coba ya...”

Sutari mematikan kompor, sayur yang dibuatnya sudah matang. Lalu ia menegakkan badannya dan menyanyi

Gegaraning wong akrami
Dudu bandha dudu rupa
Amung ati pawitane
Luput pisan kena pisan
....

Belum selesai lagu itu dinyanyikan, Sundari sudah menyelanya

“Eh, kamu ndak boleh nyanyi lagu ini.”

“Lho, kok ndak boleh?”

“Cuma Mas Baskoro yang boleh. Cuma dia yang cocok nyanyi lagu ini. Kalau kamu yang nyanyi, ndak pas. Suaramu mblero. Wagu, jelek. Hahaha..”

Perbincangan antara dua kakak beradik itu terpaksa terpotong sebentar, begitu ibu mereka masuk ke ruang dapur itu.

“Ini kok dari tadi ribut-ribut di dapur, ada apa tho?”

“Ndak ada apa-apa, Mak’e. Biasa, cuma bercanda saja,” jawab Sutari.

“Iya, ndak ada-apa Mak’e,” timpal Sundari

“Sudah selesai masaknya?”

“Sudah,” jawab Sundari dan Sutari hampir bersamaan.

“Kalau sudah, cepet dibawa ke meja makan. Bapakmu sudah nunggu dari tadi

Mak’e keluar meninggalkan dapur. Sundari dan Sutari saling berpandangan sebentar, sejurus kemudian keduanya tertawa kecil. Lalu mereka keluar membawa piring berisi ikan bandeng goreng dan mangkuk berisi sayur bayam menuju meja makan. Dan di sana, kedua orang tuanya sudah menunggu mereka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar