Saat langkah
hilang arah,
kakiku lusuh tak terbasuh
kakiku lusuh tak terbasuh
Saat sabda
nyaris ku lupa,
dan semua daya hilang makna
dan semua daya hilang makna
Biar ku
kembali ke titik nadir,
temui kasih sesejuk air
temui kasih sesejuk air
Sebuah sajak pun baru saja selesai tertulis di sebuah buku harian.
Tak lama buku itu pun ditutup oleh pemiliknya. Sundari malam ini kembali teringat masa-masa mudanya.
Masa-masa ketika hatinya terpaut oleh seorang pemuda yang akhirnya menjadi
bagian dari sejarah hidup Sundari, meski kehadiran pemuda tersebut terlalu
singkat dari apa yang diharapkan oleh Sundari.
Baskoro nama pemuda itu. Tiga puluhan tahun yang lalu pemuda itu
berhasil mencuri hati Sundari. Dan sepertinya itulah cinta pertama Sundari,
sekaligus juga sebagai cinta terakhirnya. Cinta yang sepertinya akan selalu
hidup dalam hati Sundari, meski pemuda pujaannya itu telah lama
meninggalkannya.
***
“Mas Satriyo, enak apa ndak sih
tinggal di kota besar seperti Jakarta?”
“Siapa yang di Jakarta? Aku kan di Tangerang,
Dik Bagus”
“Ya, sama aja lah. Sama-sama kota
besar. Aku kok pengen bisa lihat-lihat Jakarta.”
“Haha... Kalo ditanya enak apa enggak, ya bisa enak bisa juga
enggak. Mau di Jakarta, di Tangerang atau di mana saja, semua tergantung kita
bisa menikmati apa enggak.”
“Yaaaah, jawabannya klise banget.
Hahaha...”
“Eh, jangan kenceng-kenceng ketawanya.
Ntar ngganggu Mbah Kakung yang udah tidur. Ngomong-ngomong, gimana sekolah?”
“Baru selesai ujian, Mas. Ini lagi
nungguin hasilnya.”
“Terus, nanti mau nglanjutin kuliah
dimana?”
***
Sebuah lagu dari Keenan Nasution dengan kelompok Gank
Pegangsaan mengalun dari sebuah radio FM.
Di bening malam ini. Resah rintik gerimis datang
Menghanyutkan sinar rembulan
Buram kaca jendeal. Semuram waktu yang berlalu
Sedang ku masih menunggu
Ungkapan rasa dari keinginan baikku
Untuk bersama menempuh jalan hidup
Menghanyutkan sinar rembulan
Buram kaca jendeal. Semuram waktu yang berlalu
Sedang ku masih menunggu
Ungkapan rasa dari keinginan baikku
Untuk bersama menempuh jalan hidup
Bait lagu yang indah yang cukup popoler di tahun delapan
puluhan, yang membuat Sundari semakin larut dalam kenangan cintanya.
Perjumpaan dengan Baskoro terjadi ketika Sundari tengah berlatih tari bersama
teman-temannya di balai desa untuk persiapan mengisi acara panggung tujuh belas
agustusan. Setiap tahun memang acara peringatan kemerdekaan dimeriahkan dengan
panggung yang mementaskan atraksi-atraksi seni.
Ada tari jawa, tari modern, lawak atau drama yang semuanya ditampilkan
oleh warga desa setempat.
Ku ingin s'lalu dekatmu sepanjang hidupku
Membawamu ke puncak bahagia
Ku ingin s'lalu dekatmu nikmati mentari
Mendekapmu di bawah cahayanya
Membawamu ke puncak bahagia
Ku ingin s'lalu dekatmu nikmati mentari
Mendekapmu di bawah cahayanya
Sundari pun ikut menyanyikan reffrein lagu Dirimu.
Tahun itu perayaan tujuh belasan agak istimewa dari
tahun-tahun sebelumnya. Selain acara pentas seni, Pak Kades juga nanggap kethoprak yang didatangkan dari
luar kecamatan. Baskoro adalah salah satu anggota kelompok kethoprak. Jadi
sebenarnya dia bukanlah pemuda asli dari
desa Kemiri.
Sundari baru saja selesai berlatih tari. Setelah bersendau-gurau
bersama teman-teman latihnya, Sundari pun bergegas pulang meninggalkan balai
desa sore hari itu. Di luar balai desa, tampak beberapa pria, ada yang dewasa
dan ada pemuda sedang bercakap-cakap. Beberapa dari pria tersebut sepertinya
adalah anggota kelompok kethoprak dari luar kecamatan.
***
“Kepengennya sih kuliah bareng
teman-teman saja nanti. Kalo ndak Semarang, ya Jogja. Kebanyakan teman-teman
maunya kuliah disitu.”
“Ooo..”
“Ah, sudahlah Mas, ndak usah ngomongin
itu dulu. Yang lain saja ya?”
“Soal apa?”
“Apa ya. Mmmm.. cewek aja ya. Haha...”
“Haha... Memang kamu sudah punya
pacar?
“Ya belum lah, Mas. Orang masih
sekolah, ndak boleh pacaran dulu. Biar sekolahnya ndak terganggu.”
“Ya kalo sekedar naksir-naksir, kan
nggak apa-apa. Pastinya ada kan teman sekolah yang cantik, yang biasanya jadi
bunga di sekolah?”
”Iya ada lah, Mas. Satu dua yang
cantik, ya jadi pusat perhatian. Jadi bunga di sekolah gitu. Haha..”
“Ibaratnya bunga apa? Mawar,
melati...”
“Anggrek, seruni. Hahaha ...”
“Atau bisa juga tulip.”
“Tulip? Ah, jangan tulip lah, Mas.”
“Lho, memangnya kenapa?”
“Aku sedih kalo ada yang menganggap
dirinya tulip. Sedangkan diriku bukanlah sesuatu yang tumbuh di musim semi.”
“Hahaha, dasar gombal kamu.”
“Hahaha...”
***
Sundari pun dengan menundukkan kepala berjalan melewati pria-pria
itu. Namun tak sengaja selendang tarinya terjatuh.
“Dik, sampur-nya jatuh.”
Sundari berhenti. Salah seorang pria mengambil sampur itu, lalu
menyerahkannya kepada Sundari. Sundari pun mengulurkan tangan menerimanya.
Dilihatnya sejenak wajah pria yang masih muda itu. Beberapa detik Sundari
mematung melihat pemuda yang belum dikenalnya itu.
“Eh, terima kasih Mas ...”
“Baskoro. Namaku Baskoro.”
“Terima kasih, Mas Baskoro.”
Dan Sundari pun segera berlalu meninggalkan balai desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar