Minggu, 02 Februari 2014

Asmaradana Terlarang (7)

Saat langkah hilang arah,
kakiku lusuh tak terbasuh
Saat sabda nyaris ku lupa,
dan semua daya hilang makna
Biar ku kembali ke titik nadir,
temui kasih sesejuk air


Sebuah sajak pun baru saja selesai tertulis di sebuah buku harian. Tak lama buku itu pun ditutup oleh pemiliknya. Sundari  malam ini kembali teringat masa-masa mudanya. Masa-masa ketika hatinya terpaut oleh seorang pemuda yang akhirnya menjadi bagian dari sejarah hidup Sundari, meski kehadiran pemuda tersebut terlalu singkat dari apa yang diharapkan oleh Sundari.

Baskoro nama pemuda itu. Tiga puluhan tahun yang lalu pemuda itu berhasil mencuri hati Sundari. Dan sepertinya itulah cinta pertama Sundari, sekaligus juga sebagai cinta terakhirnya. Cinta yang sepertinya akan selalu hidup dalam hati Sundari, meski pemuda pujaannya itu telah lama meninggalkannya.


***

“Mas Satriyo, enak apa ndak sih tinggal di kota besar seperti Jakarta?”

“Siapa yang di Jakarta? Aku kan di Tangerang, Dik Bagus”

“Ya, sama aja lah. Sama-sama kota besar. Aku kok pengen bisa lihat-lihat Jakarta.”

“Haha... Kalo ditanya  enak apa enggak, ya bisa enak bisa juga enggak. Mau di Jakarta, di Tangerang atau di mana saja, semua tergantung kita bisa menikmati apa enggak.”

“Yaaaah, jawabannya klise banget. Hahaha...”

“Eh, jangan kenceng-kenceng ketawanya. Ntar ngganggu Mbah Kakung yang udah tidur. Ngomong-ngomong, gimana sekolah?”

“Baru selesai ujian, Mas. Ini lagi nungguin hasilnya.”

“Terus, nanti mau nglanjutin kuliah dimana?”

***

Sebuah lagu dari Keenan Nasution dengan kelompok Gank Pegangsaan mengalun dari sebuah radio FM.

Di bening malam ini. Resah rintik gerimis datang
Menghanyutkan sinar rembulan
Buram kaca jendeal. Semuram waktu yang berlalu
Sedang ku masih menunggu
Ungkapan rasa dari keinginan baikku
Untuk bersama menempuh jalan hidup


Bait lagu yang indah yang cukup popoler di tahun delapan puluhan, yang membuat Sundari semakin larut dalam kenangan cintanya.

Perjumpaan dengan Baskoro terjadi  ketika Sundari tengah berlatih tari bersama teman-temannya di balai desa untuk persiapan mengisi acara panggung tujuh belas agustusan. Setiap tahun memang acara peringatan kemerdekaan dimeriahkan dengan panggung yang mementaskan atraksi-atraksi seni.  Ada tari jawa, tari modern, lawak atau drama yang semuanya ditampilkan oleh warga desa setempat.


Ku ingin s'lalu dekatmu sepanjang hidupku
Membawamu ke puncak bahagia
Ku ingin s'lalu dekatmu nikmati mentari
Mendekapmu di bawah cahayanya

Sundari pun ikut menyanyikan reffrein lagu Dirimu.

Tahun itu perayaan tujuh belasan agak istimewa dari tahun-tahun sebelumnya. Selain acara pentas seni, Pak Kades juga nanggap kethoprak yang didatangkan dari luar kecamatan. Baskoro adalah salah satu anggota kelompok kethoprak. Jadi sebenarnya  dia bukanlah pemuda asli dari desa Kemiri.

Sundari baru saja selesai berlatih tari. Setelah bersendau-gurau bersama teman-teman latihnya, Sundari pun bergegas pulang meninggalkan balai desa sore hari itu. Di luar balai desa, tampak beberapa pria, ada yang dewasa dan ada pemuda sedang bercakap-cakap. Beberapa dari pria tersebut sepertinya adalah anggota kelompok kethoprak dari luar kecamatan.


***


“Kepengennya sih kuliah bareng teman-teman saja nanti. Kalo ndak Semarang, ya Jogja. Kebanyakan teman-teman maunya kuliah disitu.”

“Ooo..”

“Ah, sudahlah Mas, ndak usah ngomongin itu dulu. Yang lain saja ya?”

“Soal apa?”

“Apa ya. Mmmm.. cewek aja ya. Haha...”

“Haha... Memang kamu sudah punya pacar?

“Ya belum lah, Mas. Orang masih sekolah, ndak boleh pacaran dulu. Biar sekolahnya ndak terganggu.”

“Ya kalo sekedar naksir-naksir, kan nggak apa-apa. Pastinya ada kan teman sekolah yang cantik, yang biasanya jadi bunga di sekolah?”

”Iya ada lah, Mas. Satu dua yang cantik, ya jadi pusat perhatian. Jadi bunga di sekolah gitu. Haha..”

“Ibaratnya bunga apa? Mawar, melati...”

“Anggrek, seruni. Hahaha ...”

“Atau bisa juga tulip.”

“Tulip? Ah, jangan tulip lah, Mas.”

“Lho, memangnya kenapa?”

“Aku sedih kalo ada yang menganggap dirinya tulip. Sedangkan diriku bukanlah sesuatu yang tumbuh di musim semi.”

“Hahaha, dasar gombal kamu.”

“Hahaha...”

***


Sundari pun dengan menundukkan kepala berjalan melewati pria-pria itu. Namun tak sengaja selendang tarinya terjatuh.

“Dik, sampur-nya jatuh.”

Sundari berhenti. Salah seorang pria mengambil sampur itu, lalu menyerahkannya kepada Sundari. Sundari pun mengulurkan tangan menerimanya. Dilihatnya sejenak wajah pria yang masih muda itu. Beberapa detik Sundari mematung melihat pemuda yang belum dikenalnya itu.

“Eh, terima kasih Mas ...”

“Baskoro. Namaku Baskoro.”

“Terima kasih, Mas Baskoro.”

Dan Sundari pun segera berlalu meninggalkan balai desa.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar