Minggu, 02 Februari 2014

Asmaradana Terlarang (12)

Langit tertutup awan tebal sejak pagi, hal yang jarang terjadi saat musim kemarau bulan Agustus. Jalanan desa yang memang biasanya tak terlalu ramai oleh lalu lalang sepeda atau pejalan kaki, bertambah semakin sepi saja. Warga lebih memilih berada di dalam rumah.
Sebuah rumah yang berukuran besar jika dibandingkan dengan rumah-rumah warga yang lain, tampak di teras samping dua pria sedang berbicang. Dua pria yang adalah bapak dan anak.

“Krisno. Sudah ketemu dan bicara dengan Sundari?”

“Kalau ketemu sih sudah, Pak. Tapi belum sempat bicara panjang lebar.”

“Lha bagaimana tho, katanya kamu suka. Ya cepat diutarakan.”

 “Maunya saya ya begitu, Pak. Tapi Sundari selalu buru-buru mengindar kalau lagi bicara sama saya. Anu..., Bapak sudah bicara dengan orang tuanya Sundari?”

“Kemarin. Tapi ya ndak terlalu lama. Nanti kalau kamu sudah bicara sama Ndari dan dia mau, baru aku yang bicara ke orang tuanya. Jadi biar yang muda ngomong dulu, baru yang tua melanjutkan. Lha kamu mbok ya juga main ke rumahnya sana.”
            
            “Ya, kapan-kapan saja, Pak.”
           
            “Nanti keburu kecantol orang bagaimana?”
       
            “Ah, mbok jangan ngomong begitu, Pak.”

***

Gerimis mulai turun, lembut dan hampir tak terlihat. Dua orang pria berjalan beriring di sisi kiri jalan desa Kemiri.
   
             “Aku perhatikan beberapa hari ini kamu kok kelihatannya dekat sama seseorang. Eh, siapa itu namanya, Bas?”

             “Sundari, Pak Lik. Apa ndak boleh?” jawab Baskoro kepada pria yang lebih berumur di sebelahnya. Keduanya tidak memiliki hubungan keluarga. Namun karena berada di kelompok Kethoprak sekian lama, Baskoro sudah menganggap pria yang bernama Aji tersebut seperti keluarganya sendiri.
              
             “Siapa yang melarang? Ya aku malah setuju-setuju saja. Apalagi kamu sudah dewasa, dan dia juga. Sudah waktunya.”
           
             “Sudah waktunya apa, Pak Lik?”
        
             “Halah, pura-pura tanya. Pura-pura ndak tahu aja kamu, Bas.”

Keduanya pun tertawa bersama.

***


Gerimis lembut masih saja setia meluncur dari langit Kemiri. Hawa yang sejuk sepertinya membuat para warga memilih berdiam diri di rumah, termasuk penghuni salah satu rumah berdinding bata dengan halaman tak seberapa luas beserta balai-balai bambu di depan rumah yang sudah mulai basah oleh gerimis. Dan di dalam rumah, seorang pria duduk di kursi ruang tamu sambil menghisap rokok kesukaannya .


                “Pak’e, mbok ya sudahan dulu merokoknya. Dari tadi kok ndak berhenti”

                “Hmmm...”

                “Ini diajak bicara kok ndak mau menjawab.”

                “Lha kamu sudah tahu kalo aku lagi asyik merokok, malah diajak ngobrol. Mbok ya tunggu dulu sampai habis, Bu. O ya, Sundari mana? Aku mau bicara. Ndari ... sini, Nduk!”

Merasa dipanggil, Sundari pun keluar dari dalam kamarnya.


                “Nggih, Pak’e. Ada apa?”

                “Duduk dulu sini!”

Sundari segera mengambil tempat duduk di sebelah ibunya.


                “Kamu kemarin malam nonton kethoprak?”

                “Nggih, Pak. Ndari suka ceritanya. Bagus banget”

                “Aku ndak nanya soal ceritanya.”

Pak’e menghirup dalam-dalam batang rokok yang ada di tangannya. Sebentar kemudian, kepulan asap pun meluncur keluar dari mulutnya.

***

                “Tapi jangan lama-lama nunggu, Krisno. Kamu tahu kan kalo Ndari itu ayu, cantik. Ditambah orangnya pinter nari dan sopan kalo bicara dengan orang. Tentunya ndak cuma kamu saja yang naksir dia.”

Krisno terdiam saja mendengar bapaknya bicara. Sejenak suasana hening, hanya rintik gerimis yang masih saja enggan berhenti.

                “Lha kok diam saja tho, Kris.”

                “Eh, iya Pak.”

                “Jangan cuma diam. Meski bapakmu ini punya kedudukan di desa ini, tapi aku ya ndak bisa bantu banyak kalau soal ini. Semua tergantung kamu. Ndak mungkin kalo aku terlalu jauh menggunakan kekuasaan atau kedudukanku untuk mencampuri urusan kamu ini.

***

“Kayaknya kamu ada rasa sama Sundari.”

“Iya, Pak Lik. Ndari orangnya pinter, sopan. Aku suka sama dia.”

“Lha bener tho. Aku wis menduga sejak kalian berdua ngobrol kemarin malam.”
            
            “Masa sih, Pak Lik?”
        
             “Kok kamu ndak percaya. Aku ya pernah muda seperti kamu, Baskoro. Kamu sudah pernah ke rumahnya? ”
     
           “Belum. Itu rumahnya katanya yang dekat pos ronda di perempatan sana.”

           “Oo itu. Jadi Ndari itu anaknya Giri?

           “Iya, Pak Sugiri nama bapaknya. Lha Pak Lik kenal?”

          “Sudah lama aku kenal Giri. Lha wong aku sering ketemu dia dari dulu. Ya sudah, kebetulan kalau begitu. Kita mampir saja ke rumahnya. Sudah lama aku ndak mampir ke rumahnya. Sekalian aku ngomong ke Giri kalau kamu suka anaknya.”

                “Tunggu dulu, Pak Lik. Jangan buru-buru ngomongin itu. Aku ndak mau cepet-cepet nikah.”

                “Lho, siapa yang ngomong soal nikah? Aku cuma mau ngomong kalau kamu suka Sundari. Sudah, ayo kesana!”

Aji pun memegang tangan Baskoro erat-erat. Mau tak mau Baskoro mengikuti saja. Keduanya lalu berjalan menuju sebuah rumah dekat pos ronda.

***

                “Kamu sepertinya lagi dekat sama Baskoro. Apa kamu suka?”

                “Anu, Pak’e. Eh, mmm ... Mas Baskoro itu orangnya baik. Enak diajak ngobrol.”

                “Kamu suka?

Sundari terdiam. Ia pun menunduk. Belum sempat  Sundari menjawab, tiba-tiba terdengar ketukan pintu.


                “Kulonuwun”

                “Monggo”

Pintu pun dibukakan oleh Pak’e.

                “Monggo-monggo. Eh, Aji. Tumben main kesini, ada angin apa ini. Piye kabare?”

                “Apik. Lha kamu apik juga kan Giri?

Sementara kedua pria itu bicara, di dalam ruang tamu Sundari terkejut. Bukan karena melihat pria yang sedang diajak bicara oleh bapaknya. Tapi karena Sundari melihat pemuda yang berada di belakangnya, yang tampaknya berdiri kikuk dan serba salah.


                “Ayo, silakan masuk!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar