Sebuah perahu kayu yang berukuran tidak terlalu besar tampak di
kejauhan sana bergerak perlahan menuju bibir pantai. Sayup terdengar suara
mesin perahu yang berbaur dengan suara ombak. Tampak tiga orang ada di atas
perahu tersebut, satu di antaranya adalah wanita. Matahari sudah berada di
langit barat, dan sepertinya tak lama lagi akan segera tenggelam.
Dan tak berapa lama kemudian perahu itu pun tiba di tepi pantai.
“Sekarang kita sudah sampai. Ini yang
namanya pulau karimun jawa,” kata salah seorang pria yang umurnya sekitar empat
puluhan.
“Wah, bagus sekali. Rasanya seperti
mimpi saja, “ucap Sundari.
“Nah, kalian silakan turun. Boleh
jalan-jalan sebentar di sekitar sini, tapi jangan jauh-jauh. Aku langsung ke
rumah yang itu buat beres-beres dulu.”
“Baik, Pak Slamet. Aku dan Sundari mau
menikmati suasana sore di pantai ini. Nanti kami segera menyusul, “jawab
Baskoro.
Dan pria yang bernama Pak Slamet itu pun bergegas meninggalkan
Baskoro dan Sundari, dua sejoli yang baru saja menjadi pengantin beberapa hari
yang lalu tersebut.
“Benar-benar indah pulaunya, Mas Bas!”
“Aku juga ndak menyangka ada tempat
seindah ini. Seharian di atas perahu, rasa lelahnya kayaknya langsung hilang
begitu sampai disini.”
“Iya .... Tapi kok Mas Bas bisa punya
rencana datang ke sini?”
“Aku? Hahaha ... Wah, ini bukan
rencanaku. Lik Aji yang mempersiapkan semua acara bulan madu kita di pulau ini.
Sebenarnya aku sudah menolak, tapi Lik Aji memaksa. Dan kalau dia sudah memaksa
kayak gitu, aku ndak berani membantahnya.”
“Ooo ... “
“Yo wis, yuk kita duduk di bawah pohon
kelapa itu!”
Keduanya pun berjalan beriringan, bergandengan tangan menuju salah
satu pohon kelapa yang ada di pantai itu. Kedua pasang kaki mereka pun
melangkah dan meninggalkan jejak di pasir-pasir berwarna putih dan lembut. Baskoro
kemudian duduk bersandar pada batang pohon. Sementara istrinya duduk merapat di
sampingnya sambil menyandarkan kepalanya di pundak pemuda berambut gondrong
itu.
Angin senja bertiup perlahan, menyibak daun-daun kelapa yang
kemudian saling bergesek dan berdesik. Camar-camar laut sesekali masih terlihat
terbang berputar-putar di atas laut, bersuit bersahutan dan sesekali menukik
tajam ke air menangkap ikan buruannya. Sementara gulung demi gulung ombak
susul-menyusul berkejaran menghampiri tepian pulau karimun.
“Lihat matahari di sana, Ndari!” tanya
Baskoro sambil membelai rambut Sundari.
“Iya, Mas. Ada Apa dengan
mataharinya?”
“Apa yang akan kamu katakan tentang
matahari itu?”
“Hmmm ... apa ya? Bulat ...”
“Sebulat cintaku padamu!”
Sundari tersenyum mendengar perkataan suaminya yang tiba-tiba itu.
“Iya bulat. Selain bulat juga merah,
Mas!”
“Semerah tekadku juga untuk
membahagiakanmu!”
Sundari tertawa kecil.
“Benar itu Mas?”
“Lho, kamu ndak percaya...”
“Percaya kok, Mas Bas. Percaya ....
Mmm, ... aku suka warna langitnya. Kuning keemasan, bercampur merah, jingga.
Cantik, pokonya cantik sekali!”
“Sama seperti kamu. Cantik sekali,”
sahut Baskoro sambil mendaratkan sebuah kecupan di kening Sundari.
Sundari yang tidak menyangka akan mendapatkan perlakuan itu,
serta-merta langsung terkejut. Dan wajahnya pun sontak merona merah.
“Ah, Mas Bas. Jadi malu ah ...”
“Malu? Malu sama siapa? Lha wong ndak
ada orang dari tadi. Cuma kita berdua saja di sini.”
“Lha nanti kalo dilihat Pak Slamet,
apa ndak malu?”
“Memang kenapa kok malu? Pak Slamet
pasti bisa memaklumi. Lha wong dia juga tentunya pernah muda, sama seperti
kita”
Keduanya terus berbincang sambil menikmati indahnya pantai karimun
jawa. Matahari sudah separo lingkaran tenggelam di laut sebelah barat. Perlahan
semakin turun, hingga akhirnya menghilang di balik cakrawala. Hanya sisa-sisa
cahaya merah jingga yang masih menghiasi langit.
Dan tak jauh dari tempat mereka bercakap-cakap itu, nampaklah
sinar lampu minyak yang menerobos keluar dari jendela sebuah rumah. Rumah yang
terbuat dari kayu yang tak seberapa besar ukurannya. Beberapa saat kemudian
seorang lelaki empat puluhan keluar dari pintu rumah.
“Baskoro, Sundari. Ayo masuk sini!
Hari sudah mulai gelap ini ...”
“Iya Pak Slamet,” jawab Baskoro dan
Sundari hampir bersamaan.
Lalu keduanya berjalan menuju rumah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar