Minggu, 02 Februari 2014

Asmaradana Terlarang (16)


Sebuah perahu kayu yang berukuran tidak terlalu besar tampak di kejauhan sana bergerak perlahan menuju bibir pantai. Sayup terdengar suara mesin perahu yang berbaur dengan suara ombak. Tampak tiga orang ada di atas perahu tersebut, satu di antaranya adalah wanita. Matahari sudah berada di langit barat, dan sepertinya tak lama lagi akan segera tenggelam.

Dan tak berapa lama kemudian perahu itu pun tiba di tepi pantai.

“Sekarang kita sudah sampai. Ini yang namanya pulau karimun jawa,” kata salah seorang pria yang umurnya sekitar empat puluhan.

“Wah, bagus sekali. Rasanya seperti mimpi saja, “ucap Sundari.

“Nah, kalian silakan turun. Boleh jalan-jalan sebentar di sekitar sini, tapi jangan jauh-jauh. Aku langsung ke rumah yang itu buat beres-beres dulu.”

“Baik, Pak Slamet. Aku dan Sundari mau menikmati suasana sore di pantai ini. Nanti kami segera menyusul, “jawab Baskoro.

Dan pria yang bernama Pak Slamet itu pun bergegas meninggalkan Baskoro dan Sundari, dua sejoli yang baru saja menjadi pengantin beberapa hari yang lalu tersebut.

“Benar-benar indah pulaunya, Mas Bas!”

“Aku juga ndak menyangka ada tempat seindah ini. Seharian di atas perahu, rasa lelahnya kayaknya langsung hilang begitu sampai disini.”

“Iya .... Tapi kok Mas Bas bisa punya rencana datang ke sini?”

“Aku? Hahaha ... Wah, ini bukan rencanaku. Lik Aji yang mempersiapkan semua acara bulan madu kita di pulau ini. Sebenarnya aku sudah menolak, tapi Lik Aji memaksa. Dan kalau dia sudah memaksa kayak gitu, aku ndak berani membantahnya.”

“Ooo ... “

“Yo wis, yuk kita duduk di bawah pohon kelapa itu!”

Keduanya pun berjalan beriringan, bergandengan tangan menuju salah satu pohon kelapa yang ada di pantai itu. Kedua pasang kaki mereka pun melangkah dan meninggalkan jejak di pasir-pasir berwarna putih dan lembut. Baskoro kemudian duduk bersandar pada batang pohon. Sementara istrinya duduk merapat di sampingnya sambil menyandarkan kepalanya di pundak pemuda berambut gondrong itu.

Angin senja bertiup perlahan, menyibak daun-daun kelapa yang kemudian saling bergesek dan berdesik. Camar-camar laut sesekali masih terlihat terbang berputar-putar di atas laut, bersuit bersahutan dan sesekali menukik tajam ke air menangkap ikan buruannya. Sementara gulung demi gulung ombak susul-menyusul berkejaran menghampiri tepian pulau karimun.


“Lihat matahari di sana, Ndari!” tanya Baskoro sambil membelai rambut Sundari.

“Iya, Mas. Ada Apa dengan mataharinya?”

“Apa yang akan kamu katakan tentang matahari itu?”

“Hmmm ... apa ya? Bulat ...”

“Sebulat cintaku padamu!”

Sundari tersenyum mendengar perkataan suaminya yang tiba-tiba itu.

“Iya bulat. Selain bulat juga merah, Mas!”

“Semerah tekadku juga untuk membahagiakanmu!”
Sundari tertawa kecil.

“Benar itu Mas?”

“Lho, kamu ndak percaya...”

“Percaya kok, Mas Bas. Percaya .... Mmm, ... aku suka warna langitnya. Kuning keemasan, bercampur merah, jingga. Cantik, pokonya cantik sekali!”

“Sama seperti kamu. Cantik sekali,” sahut Baskoro sambil mendaratkan sebuah kecupan di kening Sundari.

Sundari yang tidak menyangka akan mendapatkan perlakuan itu, serta-merta langsung terkejut. Dan wajahnya pun sontak merona merah.

“Ah, Mas Bas. Jadi malu ah ...”

“Malu? Malu sama siapa? Lha wong ndak ada orang dari tadi. Cuma kita berdua saja di sini.”

“Lha nanti kalo dilihat Pak Slamet, apa ndak malu?”

“Memang kenapa kok malu? Pak Slamet pasti bisa memaklumi. Lha wong dia juga tentunya pernah muda, sama seperti kita”

Keduanya terus berbincang sambil menikmati indahnya pantai karimun jawa. Matahari sudah separo lingkaran tenggelam di laut sebelah barat. Perlahan semakin turun, hingga akhirnya menghilang di balik cakrawala. Hanya sisa-sisa cahaya merah jingga yang masih menghiasi langit.

Dan tak jauh dari tempat mereka bercakap-cakap itu, nampaklah sinar lampu minyak yang menerobos keluar dari jendela sebuah rumah. Rumah yang terbuat dari kayu yang tak seberapa besar ukurannya. Beberapa saat kemudian seorang lelaki empat puluhan keluar dari pintu rumah.

“Baskoro, Sundari. Ayo masuk sini! Hari sudah mulai gelap ini ...”

“Iya Pak Slamet,” jawab Baskoro dan Sundari hampir bersamaan.

Lalu keduanya berjalan menuju rumah itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar