“Halo, sugeng ndalu. Selamat malam,
Mbak Ndari. Apa kabarnya, Mbak?”
“Kabar baik. Dik Tari juga baik kan?”
“Iya, baik. Pak’e juga baik.”
“Yo syukur kalau begitu. Satriyo
bagaimana, ndak ngrepoti kan?”
“Ndak kok, Mbak. Lha aku malah seneng
ada Satriyo di sini, bisa buat teman ngobrolnya Bagus. Kalau ndak, wah, tiap
hari Bagus pasti keluyuran ndak jelas sama teman-temannya.
“Ya apik kalau gitu...”
“O iya, kapan Mbak Ndari bisa ke sini?
Jangan terlalu sibuk kerja, terus lupa sama keluarga disini.”
“Kayaknya minggu depan ke Pati.
Kebetulan lagi sepi order, jadi atasanku ngasih cuti.
“O, yo syukur. Nanti aku mau ngabari
Pak’e, pasti seneng.”
“Yo wis, Dik Tari. Sudah dulu ya.
Sampai ketemu minggu depan. Selamat malam ...”
“Selamat malam.”
Sundari mengakhiri pembicaraan telepon dengan adik perempuannya.
Lalu dilanjutkannya kembali membuka album foto yang sudah sekian tahun jarang
dilihatnya. Matanya terpaku pada sebuah foto yang gambarnya sudah meluntur.
Foto pernikahannya dulu, yang membuat perasaannya campur aduk antara gembira
dan juga sedih. Ah, masa-masa itu ...
***
Suara musik jawa mengalun lembut. Sebuah halaman yang cukup luas,
dihiasi pernik-pernik khas dengan beraneka bunga dan janur. Dua tenda besar
yang ada sepertinya tak pernah sepi oleh para tamu yang datang di pesta
pernikahan itu. Sepasang muda-mudi yang duduk di pelaminan dengan pakaian pengantin
adat jawa yang terbuka pada bagian atasnya tak henti-hentinya tersenyum lebar
menerima ucapan selamat dari tamu-tamu tersebut.
“Wah, yang pria ngganteng. Yang
wanitanya juga ayu,” kata salah seorang tamu.
“Terima kasih, Mbakyu” jawab Sundari dan
Baskoro hampir bersamaan.
“Iya, kalian serasi banget. Sudah
mirip raja dan ratu saja. Pokoknya klop,” lanjut tamu tersebut.
“Ah, bisa saja Mbakyu ini,” kata Sundari.
“Coba kalau aku belum kawin, pasti aku
yang pertama ngantri jadi istrinya Baskoro.”
“Haha... “ Sundari cuma bisa tertawa.
Sementara Baskoro tersenyum malu
dibuatnya.
Alunan musik jawa terus terdengar. Para tamu terus datang silih
berganti di malam yang penuh dengan sukacita itu. Para laden begitu sibuk membawa baki yang berisi bermacam hidangan atau
mengambil piring dan gelas yang kosong dari meja-meja.
Dan sejenak suasana sedikit riuh ketika Pak Kades dan istri
datang. Para penyambut tamu pun segera berdiri dan memberi jabatan tangan
kepada sepasang tamu kehormatan tersebut.
“Sugeng rawuh, Pak!”
Pak Kades dan istrinya memberikan senyum kepada orang-orang yang menyambutnya. Lalu
keduanya berjalan menuju pelaminan.
“Sugeng rawuh, Pak!” sambut Sugiri
dengan senyum lebarnya.
“Wah, selamat ya. Selamat!” kata Pak
Kades menjabat tangan Sugiri dan istrinya. Bu Kades pun mengikuti menjabat
tangan kedua orang tua Sundari itu.
“Matur nuwun Pak. Monggo dinikmati
hidangan ala kadarnya,” Sugiri menjawab dengan sumringah.
“Wis, tenang saja. Boleh bungkus apa
tidak ini?” gurau Pak Kades.
“Boleh-boleh. Haha ... Tapi tunggu,
biar difoto dulu ya Pak!”
Pak Kades dan istrinya kemudian mengambil posisi. Sejurus kemudian
juru potret mengabadikan peristiwa itu. Setelah difoto, Pak Kades dan istri bergerak
menyalami Baskoro dan Sundari. Dan terakhir menyalami sepasang pria-wanita paruh
baya yang berada di paling ujung.
“Selamat ya! Ini ibu bapaknya Baskoro
ya?” tanya Pak Kades.
“Iya, saya ibunya Baskoro.“
“Kalau saya pamannya. Baskoro sudah
ditinggal bapaknya sejak kecil.”
“Oh, maaf ... “ Pak Kades berkata
lirih.
“Ndak apa-apa, Pak.”
***
Semakin malam, keriuhan mulai berkurang. Kesibukan tak terlalu
terlihat seperti beberapa jam sebelumnya. Di pelaminan, tingggal Sundari dan Baskoro berdua
saja. Kedua orang tua Sundari, ibu dan paman Baskoro sedang masuk sebentar ke
dalam rumah.
Hampir jam sembilan ketika di depan sana datang empat pemuda
datang ke pernikahan itu. Pemuda-pemuda desa seumuran kedua mempelai, yang
sudah sangat dikenal oleh Sundari. Setelah bersalaman dengan para penyambut
yang sudah tampak kelelahan, para pemuda itu pun mendekat ke pengantin.
Keempatnya mulai mengulurkan tangan untuk memberikan selamat
kepada mempelai. Tiga orang pertama tampak dengan cepat menjabat tangan Sundari
dan Baskoro. Namun pemuda terakhir agak sedikit kikuk berdiri di hadapan
Sundari dan Baskoro.
“Kok datangnya agak malam, Mas
Krisno?” tanya Sundari.
“Oh, iya ... tadi ada perlu ....”
jawab Krisno kikuk. Sesekali ia memandang wajah Sundari, sesekali menunduk.
“Oooh begitu”
“Iya... Eh, selamat ya ... “ Krisno
pun mengulurkan tangannya. Sundari pun menyambut tangan Krisno dan menjabatnya.
“Terima kasih, Mas”
Dan Krisno pun bergerak ke arah Baskoro. Kali ini ia malah tidak
berani memandang mata Baskoro. Diulurkannya tangannya dengan kaku.
“Selamat,” kata Krisno dingin.
“Terima kasih,” jawab Baskoro.
Lalu dilepaskannya jabat tangan itu. Krisno masih saja tidak mau
memandang Baskoro secara langsung. Sedari tadi ia hanya melihat bagian leher ke
bawah saja. Baskoro terheran-heran melihat sikap anak petinggi desa itu.
Krisno hendak bergerak meninggalkan pelaminan, menyusul ketiga
temannya yang sudah meinkmati hidangan di meja yang berada tak jauh dari situ.
Namun tiba-tiba saja Krisno terkejut ketika melihat suatu tanda yang hampir
saja tidak terlihat olehnya. Tanda pada pinggang kanan Baskoro yang nyaris tak
nampak karena tertutup pakaian pengantin.
“Tato?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar