Minggu, 02 Februari 2014

Asmaradana Terlarang (15)


“Halo, sugeng ndalu. Selamat malam, Mbak Ndari. Apa kabarnya, Mbak?”

“Kabar baik. Dik Tari juga baik kan?”

“Iya, baik. Pak’e juga baik.”

“Yo syukur kalau begitu. Satriyo bagaimana, ndak ngrepoti kan?”

“Ndak kok, Mbak. Lha aku malah seneng ada Satriyo di sini, bisa buat teman ngobrolnya Bagus. Kalau ndak, wah, tiap hari Bagus pasti keluyuran ndak jelas sama teman-temannya.

“Ya apik kalau gitu...”

“O iya, kapan Mbak Ndari bisa ke sini? Jangan terlalu sibuk kerja, terus lupa sama keluarga disini.”

“Kayaknya minggu depan ke Pati. Kebetulan lagi sepi order, jadi atasanku ngasih cuti.

“O, yo syukur. Nanti aku mau ngabari Pak’e, pasti seneng.”

“Yo wis, Dik Tari. Sudah dulu ya. Sampai ketemu minggu depan. Selamat malam ...”

“Selamat malam.”

Sundari mengakhiri pembicaraan telepon dengan adik perempuannya. Lalu dilanjutkannya kembali membuka album foto yang sudah sekian tahun jarang dilihatnya. Matanya terpaku pada sebuah foto yang gambarnya sudah meluntur. Foto pernikahannya dulu, yang membuat perasaannya campur aduk antara gembira dan juga sedih.  Ah, masa-masa itu ...

***

Suara musik jawa mengalun lembut. Sebuah halaman yang cukup luas, dihiasi pernik-pernik khas dengan beraneka bunga dan janur. Dua tenda besar yang ada sepertinya tak pernah sepi oleh para tamu yang datang di pesta pernikahan itu. Sepasang muda-mudi yang duduk di pelaminan dengan pakaian pengantin adat jawa yang terbuka pada bagian atasnya tak henti-hentinya tersenyum lebar menerima ucapan selamat dari tamu-tamu tersebut.

“Wah, yang pria ngganteng. Yang wanitanya juga ayu,” kata salah seorang tamu.

“Terima kasih, Mbakyu” jawab Sundari dan Baskoro hampir bersamaan.

“Iya, kalian serasi banget. Sudah mirip raja dan ratu saja. Pokoknya klop,” lanjut tamu tersebut.

“Ah, bisa saja Mbakyu ini,” kata Sundari.

“Coba kalau aku belum kawin, pasti aku yang pertama ngantri jadi istrinya Baskoro.”

“Haha... “ Sundari cuma bisa tertawa. Sementara Baskoro  tersenyum malu dibuatnya.

Alunan musik jawa terus terdengar. Para tamu terus datang silih berganti di malam yang penuh dengan sukacita itu. Para laden begitu sibuk membawa baki yang berisi bermacam hidangan atau mengambil piring dan gelas yang kosong dari meja-meja.

Dan sejenak suasana sedikit riuh ketika Pak Kades dan istri datang. Para penyambut tamu pun segera berdiri dan memberi jabatan tangan kepada sepasang tamu kehormatan tersebut.

“Sugeng rawuh, Pak!”

Pak Kades dan istrinya memberikan senyum  kepada orang-orang yang menyambutnya. Lalu keduanya berjalan menuju pelaminan.

“Sugeng rawuh, Pak!” sambut Sugiri dengan senyum lebarnya.

“Wah, selamat ya. Selamat!” kata Pak Kades menjabat tangan Sugiri dan istrinya. Bu Kades pun mengikuti menjabat tangan kedua orang tua Sundari itu.

“Matur nuwun Pak. Monggo dinikmati hidangan ala kadarnya,” Sugiri menjawab dengan sumringah.

“Wis, tenang saja. Boleh bungkus apa tidak ini?” gurau Pak Kades.

“Boleh-boleh. Haha ... Tapi tunggu, biar difoto dulu ya Pak!”

Pak Kades dan istrinya kemudian mengambil posisi. Sejurus kemudian juru potret mengabadikan peristiwa itu. Setelah difoto, Pak Kades dan istri bergerak menyalami Baskoro dan Sundari. Dan terakhir menyalami sepasang pria-wanita paruh baya yang berada di paling ujung.

“Selamat ya! Ini ibu bapaknya Baskoro ya?” tanya Pak Kades.

“Iya, saya ibunya Baskoro.“

“Kalau saya pamannya. Baskoro sudah ditinggal bapaknya sejak kecil.”

“Oh, maaf ... “ Pak Kades berkata lirih.

“Ndak apa-apa, Pak.”

***

Semakin malam, keriuhan mulai berkurang. Kesibukan tak terlalu terlihat seperti beberapa jam sebelumnya.  Di pelaminan, tingggal Sundari dan Baskoro berdua saja. Kedua orang tua Sundari, ibu dan paman Baskoro sedang masuk sebentar ke dalam rumah.

Hampir jam sembilan ketika di depan sana datang empat pemuda datang ke pernikahan itu. Pemuda-pemuda desa seumuran kedua mempelai, yang sudah sangat dikenal oleh Sundari. Setelah bersalaman dengan para penyambut yang sudah tampak kelelahan, para pemuda itu pun mendekat ke pengantin.

Keempatnya mulai mengulurkan tangan untuk memberikan selamat kepada mempelai. Tiga orang pertama tampak dengan cepat menjabat tangan Sundari dan Baskoro. Namun pemuda terakhir agak sedikit kikuk berdiri di hadapan Sundari dan Baskoro.

“Kok datangnya agak malam, Mas Krisno?” tanya Sundari.

“Oh, iya ... tadi ada perlu ....” jawab Krisno kikuk. Sesekali ia memandang wajah Sundari, sesekali menunduk.

“Oooh begitu”

“Iya... Eh, selamat ya ... “ Krisno pun mengulurkan tangannya. Sundari pun menyambut tangan Krisno dan menjabatnya.

“Terima kasih, Mas”

Dan Krisno pun bergerak ke arah Baskoro. Kali ini ia malah tidak berani memandang mata Baskoro. Diulurkannya tangannya dengan kaku.

“Selamat,” kata Krisno dingin.

“Terima kasih,” jawab Baskoro.

Lalu dilepaskannya jabat tangan itu. Krisno masih saja tidak mau memandang Baskoro secara langsung. Sedari tadi ia hanya melihat bagian leher ke bawah saja. Baskoro terheran-heran melihat sikap anak petinggi desa itu.

Krisno hendak bergerak meninggalkan pelaminan, menyusul ketiga temannya yang sudah meinkmati hidangan di meja yang berada tak jauh dari situ. Namun tiba-tiba saja Krisno terkejut ketika melihat suatu tanda yang hampir saja tidak terlihat olehnya. Tanda pada pinggang kanan Baskoro yang nyaris tak nampak karena tertutup pakaian pengantin.

“Tato?”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar