Minggu, 02 Februari 2014

Asmaradana Terlarang (5)

Pada dawai-dawai yang mendenting
dari bilik sembilan meter persegi di sebuah malam
sebuah intro lembut, antara largo dan adagio
dan humming lirih sang penyanyiyang berlegato
tentang impian yang dibawanya dulu sebelum ke kota
tentang sebuah masa depan, tentang cinta dan harapan

Sebuah verse pun dibuka
dalam E mayor datar bersahaja
dikisahkannya segala daya
untuk menjadikan hidup bermakna
sebagai pekerja kontrak berupah tak seberapa

Satriyo membaca kembali selembar kertas bertulis sajak . Sajak yang disukainya meski bukan hasil karyanya, yang disalinnya kembali dari sebuah blog kemudian diprint. Entah berapa lama kertas itu tersimpan di lemarinya, di antara tumpukan pakaiannya. Dan baru kali ini ia menemukannya kembali. Dibacanya bait-bait selanjutnya

Ketika chorus dinyanyikannya
berubah crescendo yang menghentak
dijeritkannya pilu yang lama terpendam
dikeluhkannya hidup yang pas-pasan
dipertanyakannya impian yang tak juga datang

Ketika interlude dimainkannya
dalam dawai tercabik penuh distorsi
dalam stakato sarat emosi
diluapkannya marah tak tertahan

Ketika overtone diteriakkannya
dalam falseto yang mengiris hati
Dimakinya nasib juga takdir
Diserapahinya hidup yang tak adil
Dawai-dawai berhenti mendenting
sang penyanyi mendadak hening
tanpa coda, tanpa ending
tak sempat diselesaikan lagunya
dibiarkannya semua penuh tanya
dalam sebuah putus asa

Satriyo tersenyum. Dan dimasukkannya kertas itu di ranselnya.

“Yo, sudah siap belum?”

“Iya, Ma.”

Satriyo pun keluar dari kamarnya dengan menggendong sebuah ransel.

“Nanti kalau Mbah Kakung atau Bu Lik-mu tanya, bilang kalau Mama dua minggu lagi baru bisa ke Pati.”

“Iya, Ma. Nanti aku kasih tau.”

“Ya sudah, sana berangkat. Hati-hati ya.”

***


Bus malam melaju membelah jalanan pantura Jawa malam itu. Meski dalam keadaan capek dan mengantuk, masih saja Satriyo belum bisa memejamkan mata. Beberapa kali ia terlihat menggeser-geser posisi duduknya.

Ini adalah perjalanan pertamanya ke Pati sejak duabelas tahun lalu. Tentunya keadaan di Pati sudah berubah, termasuk wajah-wajah yang pernah dilihatnya dulu. Mbah Kakung, Bu Lik Tari dan suaminya Pak Lik Hardi, Dik Bagus. Ah, sayang kini Satriyo tak bisa lagi melihat Mbah Putri, bahkan tak bisa datang saat Mbah Putri berpulang sepuluh tahun lalu.

Dilihatnya jam tangan. Sudah duabelas lewat. Dipasangnya headset dan diputarnya lagu-lagu dari Blackberry-nya. Sebuah lagu Alanis Morissette mengalun lembut.

That i would be good
even if i did nothing
That i would be good
even if i got thumbs down

Lagu-lagu lain pun menyusul. Dari U2, The Police, hingga Westlife. Juga Gang Pegangsaan, KLA Project atau SO7. Dan tak terasa Satriyo pun mulai terbuai kantuk.

***


Satriyo berdiri di pematang di tengah-tengah hamparan sawah. Padi-padi sudah menguning dan mulai menunduk karena bulir-bulir buahnya yang semakin berisi. Pemandangan yang membuat Satriyo merasa damai.

Lambat-laun hari mulai gelap. Cahaya-cahaya di langit meredup. Garis-garis gelap pun mulai bermunculan di langit senja itu. Angin mulai bertiup, meski masih semilir.

Dari jauh dilihatnya sesosok pria bercaping. Tak terlihat wajahnya karena caping yang dikenakannya itu. Rambut berombak agak panjang tergerai hampir menyentuh pundak. Tubuhnya tak terlalu padat dengan baju dan celana panjang yang sedikit kusam.

Pria bercaping itu berdiri tegak membelakangi Satriyo, sementara di hadapan pria tersebut terlihat sekitar tujuh atau delapan sosok lain. Ah, rupanya itu orang-orangan sawah yang memang dipasang untuk mengusir burung-burung pencuri padi. Meski Satriyo baru pertama kali melihat pria bercaping yang membelakanginya itu, namun sepertinya ia merasa pernah mengenalnya. Tapi entah dimana.

Sayup terdengar, pria itu kemudian mulai menyanyikan sebuah tembang yang tak asing bagi Satriyo. Suaranya tak terlalu keras, namun begitu merdu dan enak di telinga.

Gegaraning wong akrami
Dudu bandha dudu rupa
Amung ati pawitane


Ah, Satriyo juga sepertinya pernah mengenal suara itu. Tapi entah suara siapa. Rasa penasaran membuat  Satriyo berjalan mendekat pria itu.


Luput pisan kena pisan
Lamun gampang luwih gampang
Lamun angel, angel kalangkung
Tan kena tinumbas arta


Sebuah Asmaradana baru saja usai ditembangkan pria bercaping itu. Angin yang dari tadi semilir, mulai mengencang. Satriyo menghentikan langkah sejenak.

Orang-orangan sawah pun bergerak-gerak, berderak-derak. Dan mengguncang kaleng-kaleng logam yang terpasang di tubuhnya lalu menimbulkan bunyi riuh khas. Orang-orangan sawah itu riuh-rendah setelah mendengarkan suara merdu pria bercaping itu, bak para penonton yang bertepuk tangan menyusul sebuah pertunjukan lagu yang baru saja selesai diperdengarkan oleh penyanyinya.

Dengan sedikit ragu, Satriyo berjalan lebih dekat lagi. Pria bercaping itu tiba-tiba membalikkan badan ke arah Satriyo. Dan pria itu dengan lirih mengucapkan sesuatu.

“Satriyo...”

Betapa terkejutnya Satriyo mendengar namanya disebut.

Dan yang lebih membuat Satriyo kaget ketika pria itu pun membuka capingnya. Tampaklah wajah pria itu. Wajahnya sangat pucat. Kelopak matanya lebam. Dan juga tampak darah yang mengering di pelipis dan dagunya.

“Satriyo...”

Kembali pria itu memanggil sambil tersenyum sedih. Sebuah senyum yang mengundang rasa belas kasihan.

***


Satriyo kaget dan terbangun. Dilihatnya ia masih berada di dalam bus dan baru saja tertidur dan bermimpi. Tubuh satriyo bermandi keringat, meski udara di dalam bus cukup dingin karena ber-AC.

Sebuah tembang Asmaradana baru saja selesai mengalun dari Blackberry milik Satriyo. Dan Satriyo buru-buru melepas headset yang terpasang di telinganya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar