Senin, 03 Februari 2014

Asmaradana Terlarang (18)

Hawa gerah menyelimuti ruangan kecil itu. Beberapa kali Baskoro menyeka keringat yang mengalir di wajahnya. Entah mimpi apa semalam, tiba-tiba saja ia harus mengalami kejadian yang tak dimengertinya sore tadi.

Tiba-tiba di tengah perjalanan pulang, ia dihentikan oleh seorang polisi. Setelah melalui tanya jawab singkat yang tak juga memberikan kejelasan mengenai kesalahan apa yang telah dilakukan Baskoro, ia akhirnya dibawa ke kantor polisi.

Hari mulai malam di bulan Agustus yang gerah itu. Sugiri dan Aji datang ke kantor polisi untuk menjenguk Baskoro. 


                “Jadi sampai sekarang kamu belum tahu salahmu apa?” tanya Sugiri.

                “Iya Pak’e. Polisi yang menangkapku tadi cuma ngomong kalo ada laporan yang mencurigai saya terlibat kelompok kejaharan. Kejahatannya apa, tadi tidak dijelaskannya. Saya diminta ikut dulu ke kantor untuk diperiksa,” jawab Baskoro.

                “Lha kok aneh sekali.”

                “Iya aneh. Sampai sekarang masih belum juga ada petugas yang datang untuk menjelaskan hal itu.”

Aji yang dari tadi diam, akhirnya ikut bergabung berbicara dengan anak dan mertua itu.


                “Ini sudah malam. Sebaiknya kamu pulang dulu, Giri. Biar istri dan kedua anakmu di rumah tidak khawatir. Jelaskan saja Baskoro baik-baik saja. Aku disini yang nanti ngurusi masalah Baskoro,“ kata Aji.

                “Nanti saja, Ji. Biar aku tahu permasalahannya dulu, baru aku akan pulang,” jawab Sugiri.

                “Tapi ini sudah malam, dan sampai sekarang juga belum ada kejelasannya. Kasihan keluargamu di rumah, sebaiknya kamu pulang dulu dan bisa kembali besok pagi.”

“Ya sudah kalo begitu. Semoga kedaannya baik-baik saja. Aku pamit dulu.”

Sugiri pun meninggalkan ruangan itu dan tinggallah Aji dan Baskoro. Tak lama, datanglah seorang petugas bertubuh ramping dan berpakaian seragam.

                “Selamat malam,” sapa pria berseragam itu.

                “Selamat malam,” jawab Aji dan Baskoro hampir bersamaan.

                “ Baskoro..., “ lanjut petugas.

                “Saya, Pak,” jawab Baskoro. “Mohon penjelasannya mengenai permasalahan ini, Pak. Saya melakukan kesalahan apa?”

                “ Sabar dulu. Saya akan menanyai dan menulis data-data pribadi. Nanti ada petugas yang akan menjelaskan apa yang Baskoro tanyakan tadi.”

Pria berseragam itu pun mengajukan sejumlah pertanyaan dan menulis jawaban yang dikatakan Baskoro pada selembar kertas.

Beberapa menit kemudian datang pria berseragam lainnya. Tubuhnya lebih berisi dan wajahnya lebih berumur dibanding petugas yang datang sebelumnya.

                “Selamat malam Ndan,” kata petugas pertama sambil memberikan hormat.

                “Malam. Sudah selesai data-datanya?”

                “Sudah, Ndan.”

Petugas yang lebih muda itu pun menyerahkan kertas di tangannya, lalu keluar meninggalkan ruangan. Dan tugas berikutnya dilanjutkan oleh petugas kedua itu.


                “Selamat malam. Aji?” kata petugas itu.

                “Selamat malam. Eh..., “ jawab Aji sedikit kebingungan mendengar namanya disebut.

Petugas itu melepas topi seragamnya, dan kelihatanlah seluruh wajahnya.

                “Oh, Suprapto ya?” tanya Aji. Keduanya pun saling berjabat tangan dan tertawa hangat. Seperti dua orang sahabat lama yang baru saja bertemu setelah sekian lama tidak berjumpa.

                “Piye kabare, Ji? Masih manggung kethoprak?”

                “Apik. Iya, masih main. Lha keahlianku kan cuma kethoprak,” jawab Aji sambil tertawa. “Eh, anu. Ini Baskoro, ponakanku yang juga main kethoprak.”

                “Ponakanmu?”

                “Oh, memang bukan ponakan asli. Tapi aku memang sudah menganggap anak-anak muda di kelompok kethoprak sebagai ponakanku sendiri. O ya, aku mau tanya soal Baskoro. Kenapa bisa ditangkap?”

Sesaat petugas yang bernama Suprapto itu terdiam.

                “Begini. Kamu kan tahu keadaan saat ini. Hampir di semua wilayah di Jawa saat ini sedang gencar-gencarnya ditingkatkan pengamanan.”

Kembali susana hening. Suprapto mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Tak lama sekepul asap meluncur keluar dari hembusan mulutnya.

                “Negara sedang melindungi rakyatnya dari ancaman kejahatan. Rampok, begal, gali, preman, semua yang dicurigai sebagai pelaku kejahatan akan dibersihkan. Semua demi kemananan masyarakat.”

                “Tapi apa hubungannya dengan penangkapan Baskoro? Dia bukan rampok, begal, gali atau preman kayak yang kamu katakan itu. Dia orang baik”

Suprapto tersenyum singkat. Ia tidak langsung menjawab pertanyaan yang diajukan Aji.

                “Sekali lagi aku katakan bahwa keamanan masyarakat sedang menjadi perhatian polisi. Kamu pasti sudah mendengar berita soal preman-preman yang tiba-tiba menghilang. Mereka yang kerap mabuk, bertato atau yang sering meresahkan masyarakat, jangan berharap akan dapat tingggal tenang. Status Baskoro masih diperiksa. Dan karena itulah ia ada disini.”

                “Diperiksa? Karena apa?”

Suprapto kembali menghembuskan asap rokok.

                “Baskoro,” kata polisi itu. “Coba buka kaosmu.”

Baskoro menuruti perintah polisi itu. Ia pun melepaskan kaos yang dikenakannya. Tubuhnya yang ramping pun terlihat.

                “Coba kamu hadap ke kanan,” lanjut Suprapto.

Baskoro pun menghadap ke kanan menuruti perintahnya.

                “Apa yang ada di pinggangmu itu?” tanya Suprapto. “Mengapa ada tato di situ?”

Baskoro kebingungan dengan pertanyaan itu. Sementara Aji terlihat terkejut melihat tato kecil yang terdapat di pinggang Baskoro.


                “Baik, aku keluar dulu. Besok pagi pemeriksaan dilanjutkan,” kata sang polisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar