Minggu, 02 Februari 2014

Asmaradana Terlarang (13)


“Ndari, tunggu!!”

Suara yang tak asing bagi Sundari memanggilnya. Terpaksa Sundari menghentikan laju sepeda yang tengah dikendarainya.


“Oh, Mas Krisno.”

“Mau kemana? Bisa minta waktu sebentar?”

“Ini, mau ke pasar. Ada apa, Mas?”

“Aku mau nanya. Boleh?”

“Iya, mau nanya apa? Kok kelihatan bingung begitu?”

Krisno sedikit gugup, entah mau dari mana ia akan memulai pertanyaannya.


“Bener berita itu?”

“Berita apa maksudnya? Mbok yang jelas dan lengkap kalau nanya.”

“Itu, aku dengar kemarin kamu dilamar sama pemain kethoprak itu. Bener?”

“Oh, soal itu. Kemarin Mas Baskoro memang datang ke rumah.”

“Dan...?

“Ya bertamu dan ngobrol sama Bapak. Kalau soal lamaran, belum.”

“Belum? Jadi nantinya Baskoro bakal melamar kamu? Kapan?

Sundari tersenyum kecut dan merasa tidak nyaman mendengar pertanyaan yang diucapkan oleh Krisno.


“Soal kapannya saya belum tahu pasti. Memang kenapa kok nanya soal ini, Mas Kris?”

“Iya, tapi Baskoro baru beberapa minggu di desa ini. Apa kamu sudah mengenal betul?”

“Mas Baskoro memang belum lama di desa kita. Tapi orangnya baik.”

“Aku belum tahu apa dia baik atau ndak. Tapi kamu kan tahu, dia bukan warga desa ini. Siapa orang tuanya, bagaimana asal-usulnya...”

“Mas Kris,” Sundari memotong. “Maaf, saya ndak tahu apa maksud perkataan Mas!”

“Maksudku, kenapa kamu mau sama Baskoro...”

“Mas! Saya ndak suka mendengar pertanyaan ini” lagi-lagi Sundari memotong perkataan Krisno. “Mas Baskoro itu orang baik. Dan saya suka dia. Ini soal pribadi dan saya ndak mau Mas Kris terlalu jauh mencampuri.”

“Bukannya aku mau ikut campur. Tapi kenapa kamu ndak pilih saja orang yang sama-sama berasal dari desa ini. Tidak adakah di desa ini orang yang baik dan yang sudah jelas siapa dan bagaimana keluarganya?”

“Tunggu dulu. Apa Mas Kris cemburu?”

Krisno gelagapan dan terkejutmendengar pertanyaan Sundari. Seperti gelegar petir yang menyambar di siang hari saja.

“Ehh... Baik, aku mau terus terang saja. Aku naksir kamu. Tapi kamu selalu saja menghindar kalau aku ajak bicara agak lama.”

Sundari diam saja. Sepertinya dia sengaja tidak mau segera menanggapi perkataan Krisno yang baru saja didengarnya itu. Atau mungkin saja perkataan Krisno memang tidak perlu ditanggapi.

“Apa menurutmu aku bukan orang baik?”

“Aku ndak pernah bilang begitu, Mas!”

“Tapi kenapa kamu lebih memilih Baskoro daripada aku? Lagipula kamu juga tahu siapa diriku dan keluargaku.”

“Aku suka dan kagum saat pertama kali bertemu Mas Baskoro. Aku tidak bisa menjelaskan apa yang aku rasakan. Mungkin ini yang namanya cinta.”

“Cinta? Dan kamu hanya menganggap perasaanmu itu sebagai satu-satunya alasan untuk memilih dia?”

“Mas Kris, jangan pernah menyalahkan perasaan yang datang kepadaku dan aku sendiri juga tidak bisa menolaknya. Apakah salah jika aku menjadikan perasaan ini menjadi alasan untuk memilih Mas Bas?”

“Tapi setidaknya kamu juga pertimbangkan hal-hal lain. Apalagi ini menyangkut masa depan dan kebahagiaanmu.”

“Hal lain seperti apa yang Mas maksud?”

“Tidak cukup hanya cinta untuk menikah, Ndari. Apakah dengan semata-mata cinta akan menjamin kebahagiaan?”

“Aku ndak mengerti maksud Mas Kris.”

Kedua orang itu sejenak terdiam. Krisno menghela nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan kembali perkataanya.

“Apa kamu yakin kalau Baskoro bisa membuatmu bahagia? Dia hanyalah pemain kethoprak yang belum tentu tiap hari bisa tampil di atas panggung dan mendapatkan uang untuk menghidupi keluargamu.”

“Mas Kris!!” Sundari berkata dengan nada tinggi. “Aku bukan wanita yang rela menjual perasaannya dan lebih mementingkan uang atau harta! Aku tidak sehina itu, Mas!”

“Oh, bukan begitu maksudku Ndari...”

“Sudah Mas. Aku tidak mau lagi melanjutkan pembicaraan ini. Permisi.”

“Ndari, tunggu dulu ...!”


Sundari tidak menggubris perkataan Krisno yang terakhir dan segera menaiki sepedanya meninggalkan tempat itu. Krisno tidak dapat berbuat apa-apa lagi selain melihat wanita yang disukainya itu semakin menjauh dari pandangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar