“Ndari, tunggu!!”
Suara yang tak asing bagi Sundari memanggilnya. Terpaksa Sundari
menghentikan laju sepeda yang tengah dikendarainya.
“Oh, Mas Krisno.”
“Mau kemana? Bisa minta waktu
sebentar?”
“Ini, mau ke pasar. Ada apa, Mas?”
“Aku mau nanya. Boleh?”
“Iya, mau nanya apa? Kok kelihatan
bingung begitu?”
Krisno sedikit gugup, entah mau dari mana ia akan memulai
pertanyaannya.
“Bener berita itu?”
“Berita apa maksudnya? Mbok yang jelas
dan lengkap kalau nanya.”
“Itu, aku dengar kemarin kamu dilamar
sama pemain kethoprak itu. Bener?”
“Oh, soal itu. Kemarin Mas Baskoro
memang datang ke rumah.”
“Dan...?
“Ya bertamu dan ngobrol sama Bapak.
Kalau soal lamaran, belum.”
“Belum? Jadi nantinya Baskoro bakal
melamar kamu? Kapan?
Sundari tersenyum kecut dan merasa tidak nyaman mendengar
pertanyaan yang diucapkan oleh Krisno.
“Soal kapannya saya belum tahu pasti.
Memang kenapa kok nanya soal ini, Mas Kris?”
“Iya, tapi Baskoro baru beberapa
minggu di desa ini. Apa kamu sudah mengenal betul?”
“Mas Baskoro memang belum lama di desa
kita. Tapi orangnya baik.”
“Aku belum tahu apa dia baik atau
ndak. Tapi kamu kan tahu, dia bukan warga desa ini. Siapa orang tuanya,
bagaimana asal-usulnya...”
“Mas Kris,” Sundari memotong. “Maaf,
saya ndak tahu apa maksud perkataan Mas!”
“Maksudku, kenapa kamu mau sama
Baskoro...”
“Mas! Saya ndak suka mendengar
pertanyaan ini” lagi-lagi Sundari memotong perkataan Krisno. “Mas Baskoro itu
orang baik. Dan saya suka dia. Ini soal pribadi dan saya ndak mau Mas Kris
terlalu jauh mencampuri.”
“Bukannya aku mau ikut campur. Tapi kenapa
kamu ndak pilih saja orang yang sama-sama berasal dari desa ini. Tidak adakah
di desa ini orang yang baik dan yang sudah jelas siapa dan bagaimana
keluarganya?”
“Tunggu dulu. Apa Mas Kris cemburu?”
Krisno gelagapan dan terkejutmendengar pertanyaan Sundari. Seperti
gelegar petir yang menyambar di siang hari saja.
“Ehh... Baik, aku mau terus terang
saja. Aku naksir kamu. Tapi kamu selalu saja menghindar kalau aku ajak bicara
agak lama.”
Sundari diam saja. Sepertinya dia sengaja tidak mau segera
menanggapi perkataan Krisno yang baru saja didengarnya itu. Atau mungkin saja
perkataan Krisno memang tidak perlu ditanggapi.
“Apa menurutmu aku bukan orang baik?”
“Aku ndak pernah bilang begitu, Mas!”
“Tapi kenapa kamu lebih memilih
Baskoro daripada aku? Lagipula kamu juga tahu siapa diriku dan keluargaku.”
“Aku suka dan kagum saat pertama kali
bertemu Mas Baskoro. Aku tidak bisa menjelaskan apa yang aku rasakan. Mungkin
ini yang namanya cinta.”
“Cinta? Dan kamu hanya menganggap
perasaanmu itu sebagai satu-satunya alasan untuk memilih dia?”
“Mas Kris, jangan pernah menyalahkan
perasaan yang datang kepadaku dan aku sendiri juga tidak bisa menolaknya.
Apakah salah jika aku menjadikan perasaan ini menjadi alasan untuk memilih Mas
Bas?”
“Tapi setidaknya kamu juga
pertimbangkan hal-hal lain. Apalagi ini menyangkut masa depan dan kebahagiaanmu.”
“Hal lain seperti apa yang Mas
maksud?”
“Tidak cukup hanya cinta untuk
menikah, Ndari. Apakah dengan semata-mata cinta akan menjamin kebahagiaan?”
“Aku ndak mengerti maksud Mas Kris.”
Kedua orang itu sejenak terdiam. Krisno menghela nafas dalam-dalam
sebelum melanjutkan kembali perkataanya.
“Apa kamu yakin kalau Baskoro bisa
membuatmu bahagia? Dia hanyalah pemain kethoprak yang belum tentu tiap hari bisa
tampil di atas panggung dan mendapatkan uang untuk menghidupi keluargamu.”
“Mas Kris!!” Sundari berkata dengan
nada tinggi. “Aku bukan wanita yang rela menjual perasaannya dan lebih
mementingkan uang atau harta! Aku tidak sehina itu, Mas!”
“Oh, bukan begitu maksudku Ndari...”
“Sudah Mas. Aku tidak mau lagi melanjutkan
pembicaraan ini. Permisi.”
“Ndari, tunggu dulu ...!”
Sundari tidak menggubris perkataan Krisno yang terakhir dan segera
menaiki sepedanya meninggalkan tempat itu. Krisno tidak dapat berbuat apa-apa lagi
selain melihat wanita yang disukainya itu semakin menjauh dari pandangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar