Minggu, 02 Februari 2014

Asmaradana Terlarang (8)

“Dan akhirnya saya mewakili segenap aparat Desa Kemiri mengucapkan selamat menikmati malam pentas seni menyambut Kemerdekaan Republik Indonesia yang ketiga puluh tujuh malam ini. Dirgahayu Republik Indonesia. Merdeka!!”

Tepuk tangan dari hadirin bergemuruh setelah Pak Kades memberikan sambutan. Pak Kades turun dari panggung. Beberapa pejabat desa memberikan jabat tangan dan Pak Kades pun menempatkan diri duduk di kursi kehormatan di barisan depan.

“Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Kepala Desa yang terhormat atas sambutannya malam ini,” kata laki-laki pembawa acara di panggung. “Selanjutnya, kita saksikan penampilan pertama dari anak-anak muda kita yang akan membawakan sebuah lagu untuk kita semua. Mari kita berikan tepuk tangan yang meriah.”

Kembali  para hadirin bertepuk tangan. Lima orang remaja memasuki pentas. Tampak beberapa orang ikut membantu mengatur kursi dan mikrofon. Dua remaja yang memegang gitar pun duduk agak di belakang, sementara tiga lainnya berdiri sambil memegang mik untuk bernyanyi.

Setelah melakukan tes suara, sebuah genjregan gitar pun terdengar mengawali penampilan kelompok tersebut. Beberapa detik kemudian, dimainkanlah intro lagu yang sedang terkenal dan membuat penonton kembali bertepuk tangan.

Mana suaramu lagi
mana katamu lagi
Masihkah aku ada
di dalam dirimu

Tiba semua padaku
baru terbuka mataku
Engkaulah segalanya
di dalam hidupku


Bait lagu yang berirama sedang berhasil dinyanyikan dengan mulus. Dan begitu memasuki bagian refrein, penonton pun ikut bernyanyi bersama.

Lelah ku berjalan
entah untuk apa
ku dustai diriku pula
Di dalam gelap
terjatuh daku
semuanya semu

Kini dirimu satu ku rindu
kini dirimu satu ku seru


Setelah diulang satu-dua kali, selesailah sudah lagu pertama. Penonton bertepuk tangan meriah begitu lagu Dirimu Satu usai. Lagu dari Hutauruk Sisters yang baru saja memenangi festival lagu ini memang begitu terkenal dan sangat disukai masyarakat.

“Wah, apik banget nyanyinya ya,” kata Sundari kepada teman-temannya yang berada di belakang panggung.
“Iya, ndak kalah dengan penyanyi aslinya,” timpal salah satu temannya. “Giliran kita manggung kapan ya?”
“Nanti, setelah lawak dari bapak-bapak. Ya kira-kira sejam lagi.”
“Wah, lha kok masih lama.”
“Sudah pada siap ndak?”
“Ya sudah to. Lha wong latihannya saja hampir sebulan, masa ndak siap.”
“Bagus kalo gitu. Jangan pada grogi nanti lho ya.”

Beberapa penampilan pun berlanjut. Deklamasi, tari modern, drama atau menyanyi solo maupun kelompok ikut membuat semarak pentas seni. Para hadirin begitu menikmati dan hanyut dalam suasana yang ada.

Ketika lawak naik pentas, suasana pun menjadi meriah penuh dengan gelak tawa. Tingkah polah atau lelucon yang dimainkan bapak-bapak desa beberapa kali membuat hadirin tak bisa menahan tawa. Juga dandanan yang dipakai, ikut membuat siapa saja yang melihatnya tersenyum geli.

“Demikian penampilan yang sangat menghibur dari bapak-bapak kita. Selanjutnya kita saksikan sebuah tarian yang akan dimainkan oleh putri-putri kita. Mari kita sambut dengan tepuk tangan yang meriah.”

Sundari dan teman-temannya pun masuk ke pentas. Sebuah musik diputar dari sebuah tape. Begitu musik terdengar, gadis-gadis muda itu pun mulai bergerak mengikuti irama. Gerakan yang anggun dan dinamis berhasil dilakukan gadis-gadis muda itu.

Dengan indahnya mereka melakukan mendak dengan merendahkan posisi tubuh sambil melipat lutut kedua-duanya. Juga bagaimana eloknya mereka melakukan ngiting dengan membengkokkan jari-jari tangan. Gerakan tangan, kaki, tubuh dan juga kepala yang selaras dengan musik jawa yang terdengar. Tak lupa pandangan mata pun diarahkan mengikuti gerakan lengan dengan memandang jari-jari tangan.


Gerakan srisig yang berdiri jinjit sambil melakukan langkah-langkah kecil, atau juga kengser yang bergerak ke samping dengan menggeser kaki yang tetap menempel pada lantai panggung. Semua dilakukan begitu anggun oleh gadis-gadis muda itu. Sebuah penampilan Tari Gambyong yang menawan.


Hadirin pun bertepuk tangan begitu tarian usai. Sundari dan rekan-rekannya pun masuk ke belakang panggung.


“Wah, akhirnya selesai juga. Plong rasanya.”

“Seneng banget ya. Padahal tadi agak gemetaran juga waktu nari, untung ndak terlalu kelihatan.”


Setelah penampilan-penampilan selanjutnya, akhirnya pentas seni malam itu ditutup oleh sebuah tembang Jawa.


“Para hadirin kami mohon untuk tidak meninggalkan tempat dulu. Sebentar lagi kita akan saksikan penampilan dari salah seorang anggota kethoprak yang hari-hari ini sedang mempersiapkan diri untuk tampil mementaskan kesenian kethoprak minggu depan. Dan malam ini, kita akan dihibur dengan sebuah tembang Jawa. Mari sekali lagi kita berikan tepuk tangan yang meriah.”


Seorang pemuda berpakaian jawa berwarna hijua tua memasuki panggung. Parasnya tenang dengan  senyum manis yang menghias, sepasang mata lebar dan juga hidung bangir, serta kulitnya yang berwarna sawo matang. Perawakannya lumayan tinggi dan ramping, dengan rambut sepundak yang tergerai keluar dari blangkon yang menutup kepalanya.

Sementara itu di samping bawah panggung, Sundari ikut melihat penampilan pemuda yang dua hari lalu sempat bertemu dengannya. Ya, pemuda itulah yang telah mengambil selendang Sundari yang terjatuh. Dengan jantung sedikit berdebar, Sundari menyaksikan Baskoro yang mulai nembang tanpa iringan gamelan atau musik.

Gegaraning wong akrami
Dudu bandha dudu rupa
Amung ati pawitane
Luput pisan kena pisan
Lamun gampang luwih gampang
Lamun angel, angel kalangkung
Tan kena tinumbas arta


Sebait asmaradana begitu indah dinyanyikan. Penonton bertepuk tangan. Sundari begitu kagum melihat penampilan terakhir itu. Entah kagum karena keindahan tembang asmaradana, atau kagum oleh pemuda yang menembangkannya. Atau karena kedua-duanya. Perasaan kagum yang begitu dalam, yang belum pernah dirasakannya selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar