“Dan akhirnya saya mewakili segenap
aparat Desa Kemiri mengucapkan selamat menikmati malam pentas seni menyambut
Kemerdekaan Republik Indonesia yang ketiga puluh tujuh malam ini. Dirgahayu
Republik Indonesia. Merdeka!!”
Tepuk tangan dari hadirin bergemuruh setelah Pak Kades memberikan
sambutan. Pak Kades turun dari panggung. Beberapa pejabat desa memberikan jabat
tangan dan Pak Kades pun menempatkan diri duduk di kursi kehormatan di barisan
depan.
“Kami ucapkan terima kasih kepada
Bapak Kepala Desa yang terhormat atas sambutannya malam ini,” kata laki-laki
pembawa acara di panggung. “Selanjutnya, kita saksikan penampilan pertama dari
anak-anak muda kita yang akan membawakan sebuah lagu untuk kita semua. Mari
kita berikan tepuk tangan yang meriah.”
Kembali para hadirin
bertepuk tangan. Lima orang remaja memasuki pentas. Tampak beberapa orang ikut
membantu mengatur kursi dan mikrofon. Dua remaja yang memegang gitar pun duduk
agak di belakang, sementara tiga lainnya berdiri sambil memegang mik untuk
bernyanyi.
Setelah melakukan tes suara, sebuah genjregan gitar pun terdengar
mengawali penampilan kelompok tersebut. Beberapa detik kemudian, dimainkanlah
intro lagu yang sedang terkenal dan membuat penonton kembali bertepuk tangan.
Mana suaramu lagi
mana katamu lagi
Masihkah aku ada
di dalam dirimu
Tiba semua padaku
baru terbuka mataku
Engkaulah segalanya
di dalam hidupku
mana katamu lagi
Masihkah aku ada
di dalam dirimu
Tiba semua padaku
baru terbuka mataku
Engkaulah segalanya
di dalam hidupku
Bait lagu yang berirama sedang berhasil dinyanyikan dengan
mulus. Dan begitu memasuki bagian refrein, penonton pun ikut bernyanyi bersama.
Lelah ku berjalan
entah untuk apa
ku dustai diriku pula
Di dalam gelap
terjatuh daku
semuanya semu
Kini dirimu satu ku rindu
kini dirimu satu ku seru
Setelah diulang satu-dua kali, selesailah sudah lagu pertama.
Penonton bertepuk tangan meriah begitu lagu Dirimu
Satu usai. Lagu dari Hutauruk Sisters
yang baru saja memenangi festival lagu ini memang begitu terkenal dan sangat
disukai masyarakat.
“Wah, apik banget nyanyinya ya,” kata
Sundari kepada teman-temannya yang berada di belakang panggung.
“Iya, ndak kalah dengan penyanyi
aslinya,” timpal salah satu temannya. “Giliran kita manggung kapan ya?”
“Nanti, setelah lawak dari
bapak-bapak. Ya kira-kira sejam lagi.”
“Wah, lha kok masih lama.”
“Sudah pada siap ndak?”
“Ya sudah to. Lha wong latihannya saja
hampir sebulan, masa ndak siap.”
“Bagus kalo gitu. Jangan pada grogi
nanti lho ya.”
Beberapa penampilan pun berlanjut. Deklamasi, tari modern, drama
atau menyanyi solo maupun kelompok ikut membuat semarak pentas seni. Para
hadirin begitu menikmati dan hanyut dalam suasana yang ada.
Ketika lawak naik pentas, suasana pun menjadi meriah penuh dengan
gelak tawa. Tingkah polah atau lelucon yang dimainkan bapak-bapak desa beberapa
kali membuat hadirin tak bisa menahan tawa. Juga dandanan yang dipakai, ikut
membuat siapa saja yang melihatnya tersenyum geli.
“Demikian penampilan yang sangat
menghibur dari bapak-bapak kita. Selanjutnya kita saksikan sebuah tarian yang
akan dimainkan oleh putri-putri kita. Mari kita sambut dengan tepuk tangan yang
meriah.”
Sundari dan teman-temannya pun masuk ke pentas. Sebuah musik
diputar dari sebuah tape. Begitu musik terdengar, gadis-gadis muda itu pun
mulai bergerak mengikuti irama. Gerakan yang anggun dan dinamis berhasil
dilakukan gadis-gadis muda itu.
Dengan indahnya mereka melakukan mendak dengan merendahkan posisi tubuh sambil melipat lutut
kedua-duanya. Juga bagaimana eloknya mereka melakukan ngiting dengan membengkokkan jari-jari tangan. Gerakan tangan,
kaki, tubuh dan juga kepala yang selaras dengan musik jawa yang terdengar. Tak
lupa pandangan mata pun diarahkan mengikuti gerakan lengan dengan memandang
jari-jari tangan.
Gerakan srisig yang
berdiri jinjit sambil melakukan langkah-langkah kecil, atau juga kengser yang bergerak ke samping dengan
menggeser kaki yang tetap menempel pada lantai panggung. Semua dilakukan begitu
anggun oleh gadis-gadis muda itu. Sebuah penampilan Tari Gambyong yang menawan.
Hadirin pun bertepuk tangan begitu tarian usai. Sundari dan
rekan-rekannya pun masuk ke belakang panggung.
“Wah, akhirnya selesai juga. Plong
rasanya.”
“Seneng banget ya. Padahal tadi agak
gemetaran juga waktu nari, untung ndak terlalu kelihatan.”
Setelah penampilan-penampilan selanjutnya, akhirnya pentas seni
malam itu ditutup oleh sebuah tembang Jawa.
“Para hadirin kami mohon untuk tidak
meninggalkan tempat dulu. Sebentar lagi kita akan saksikan penampilan dari
salah seorang anggota kethoprak yang hari-hari ini sedang mempersiapkan diri
untuk tampil mementaskan kesenian kethoprak minggu depan. Dan malam ini, kita
akan dihibur dengan sebuah tembang Jawa. Mari sekali lagi kita berikan tepuk
tangan yang meriah.”
Seorang pemuda berpakaian jawa berwarna hijua tua memasuki
panggung. Parasnya tenang dengan senyum
manis yang menghias, sepasang mata lebar dan juga hidung bangir, serta kulitnya
yang berwarna sawo matang. Perawakannya lumayan tinggi dan ramping, dengan
rambut sepundak yang tergerai keluar dari blangkon yang menutup kepalanya.
Sementara itu di samping bawah panggung, Sundari ikut melihat
penampilan pemuda yang dua hari lalu sempat bertemu dengannya. Ya, pemuda
itulah yang telah mengambil selendang Sundari yang terjatuh. Dengan jantung
sedikit berdebar, Sundari menyaksikan Baskoro yang mulai nembang tanpa iringan
gamelan atau musik.
Gegaraning
wong akrami
Dudu bandha dudu rupa
Amung ati pawitane
Luput pisan kena pisan
Lamun gampang luwih gampang
Lamun angel, angel kalangkung
Tan kena tinumbas arta
Dudu bandha dudu rupa
Amung ati pawitane
Luput pisan kena pisan
Lamun gampang luwih gampang
Lamun angel, angel kalangkung
Tan kena tinumbas arta
Sebait asmaradana begitu indah dinyanyikan. Penonton bertepuk
tangan. Sundari begitu kagum melihat penampilan terakhir itu. Entah kagum
karena keindahan tembang asmaradana, atau kagum oleh pemuda yang
menembangkannya. Atau karena kedua-duanya. Perasaan kagum yang begitu dalam,
yang belum pernah dirasakannya selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar