Minggu, 02 Februari 2014

Asmaradana Terlarang (4)

Lihat, sudah berapa jauh
kaki telah melangkah. Perhatikan
jejak yang tercipta dan juga
tujuan yang masih harus dicapai.

Lihat, di manakah kaki berdiri. Perhatikan
apakah diri ini telah berada di tempat
yang semestinya harus berada.

Tersenyumlah bila sejauh ini
telah terjalani semua yang baik,
teraih semua yang teringini,
terwujud semua yang diimpikan.

Tapi bila ternyata langkah telah salah arah
dan kujur raga begitu lelah sia-sia.
Dan sebelum nanti semakin tersesat, berhentilah sesaat.
Perbaiki diri dan ajaklah nurani untuk
kembali ke titik nol


Sundari membaca kembali sebuah sajak yang pernah ditulis di buku harian miliknya beberapa tahun lalu. Sajak yang dulu dibuatnya ketika dirinya merasa letih dan hampir putus asa menjalani kehidupan yang tak pernah berpihak padanya. Dan sajak itu dibuatnya untuk membangkitkan semangatnya untuk kembali meneruskan hidup di depannya, meski pun selama ini ia merasa bahwa hidup yang telah dilaluinya tak pernah memberinya kegembiraan.

Sebuah panggilan masuk membuat ponsel di atas meja bergetar-getar. Dilihatnya siapa yang menelepon malam itu. Nomor yang asing, dan kayaknya dari luar kota.

                “Sugeng ndalu, Mbak Ndari. Ini Tari, adikmu,” sapa seseorang di telepon.

                “Eeeeh, sugeng ndalu. Selamat malam Dik Tari. Piye kabare? Lha ini kok nomornya lain.”

                “Apik, Mbak. Iya ini sudah ganti nomor baru. Mbak Ndari baik-baik juga kan di Tangerang?”

                “Iya, aku baik-baik saja. Keadaan Pak’e di Pati juga sehat kan?”

***


Dua sepeda motor berhenti di parkiran Sumarecon Mall Serpong. Lalu kedua pengendaranya berjalan menuju down town. Setelah mencari-cari, akhirnya keduanya menemukan meja yang kosong.

                “Eh, pesan makan dulu Rud.”

Seorang pelayan mendekat. Rudi dan Satriyo pun memesan makanan. Suasana malam itu cukup ramai, nyaris tak ada meja yang kosong. Di area tengah, sekelompok anak muda sedang berada di panggung untuk menghibur .


Oh, you know it'll all turn out
And you'll make me work so we can work to work it out
And I promise you kid to give so much more than I get
Yeah, I just haven't met you yet


Pengunjung pun ikut bernyanyi dari tempat duduknya, terutama pada bagian chorus lagu Haven’t Met You Yet itu.


                “Wah, ini lagu favorit gue. Cakep banget syairnya, Yo. Gue emang suka banget ama Michael Buble. Lagu-lagunya keren abis.”

                “Hmmm..”

                “Kok lu cuma bergumam gitu sih Yo?”

                “Lah, gue harus gimana Rud? Emangnya gue harus bilang wow gitu?

                “Hahaha, dasar lu!!”

Makanan yang dipesan pun datang. Satriyo dan Rudi pun mulai menikmati makanan di depannya.

***


                “Mbak Ndari kapan balik? Pak’e nanya terus, kangen katanya.”

                “Belum tau, Dik. Susah cari waktu libur agak lama buat pulang.”

                “Tapi kan sudah sepuluh tahun, masa ndak mau pulang nengok Pak’e.”

                “Iya mau gimana lagi, namanya kerja jadi buruh kan ndak bisa punya libur lama-lama.”

                “Anu Mbak. Gimana kabar anaknya Mbak? Sudah lama juga aku ndak lihat ponakanku itu.”

                “Satriyo baik. Sudah lulus kuliah dan kerja sekarang.”

                “Wah, sudah gede ya. Mbok ya sekali-kali diajak ke Pati gitu lho Mbak. Biar bisa tahu kakeknya, tahu sanak-saudaranya yang ada di sini. Biar nanti ndak putus hubungan keluarga.”

                “Nanti biar aku bicarakan dulu sama Satriyo, kapan bisa punya waktunya. Oya, gimana keadaan kios punya Pak’e di pasar, Siapa yang ngurusi sekarang?”

                “Aku yang jualan di pasar sekarang. Sudah lama Pak’e ndak ngurusi, sudah sepuh. Jadi biar istirahat saja di rumah.”

                “Oooo...”

                “Ya gitu, aku repot banget sekarang. Pagi di pasar, siangnya pulang ngurusin rumah Pak’e dan rumahku.”

                “Lha apa ndak ada yang bantu?”

                “Ndak ada. Anakku Bagus juga kayaknya ndak mau bantu jualan di pasar. Sebentar lagi lulus SMU dan katanya dia pengen kuliah ke luar kota.”

***


Lagu-lagu yang pernah dipopulerkan Michael Buble pun dinyanyikan di panggung. EverythingL.O.V.E, atau What A Wonderful World. Hingga akhirnya Home menjadi penutup. Namun suasana mall tidak menyepi, karena sebentar lagi akan tampil Ireng Maulana yang hampir tiap minggu malam perform disitu. Dan inilah yang ditunggu-tunggu oleh pengunjung yang hampir separonya adalah orang-orang yang sudah berusia empat puluh lebih.

                “O ya, Yo. Gimana soal cerita kamu yang diterima kerja di luar kota?”

                “Wah, kayaknya nggak gue ambil. Gue pilih bertahan dulu di kerjaan yang sekarang aja”

                “Sudah diomongin ama nyokap lu?”

                “Sudah, kemarin malam. Nyokap sih nyerahin keputusannya ama gue.”

Suasana downtown semakin memanas. Ireng dan bandnya begitu apik menampilkan lagu-lagu era 70-an dan 80-an. Ada My Way-nya Frank Sinatra, juga How Deep Is Your Love dan I Started A Joke milik Bee Gees, sampai Hey Jude-nya The Beatles yang populer itu. Lagu-lagu evergreen yang membuat penonton ikut juga bernyanyi.


                “Gue ngga jadi ambil, kasian nyokap sendirian di rumah nantinya.”

                “Ato mungkin lu nggak mau berpisah jauh dari gue.”

                “Preettt. Ngaco lu! Hahaha..”

                “Hahahaha ... Eh, pulang yuk”


Satriyo dan Rudi pun meninggalkan meja. Sementara suasana malam semakin memanas saat lagu-lagu country dinyanyikan. Bahkan beberapa pengunjung keluar dari mejanya menuju area depan panggung untuk menari ketika lagu Cotton Field Back Home dinyanyikan.

***


                “O ya, Mbak. Kalo Mbak mau, biar Satriyo saja yang melanjutkan usaha di pasar. Aku sudah bicara dengan Pak’e, dan Pak’e ndak keberatan.”

                “Satriyo? Ah, dia kan belum punya pengalaman berjualan di pasar. Apa ndak malah bangkrut nanti.”

                “Ya nanti Satriyo bantu-bantu aku dulu. Kalau sudah bisa dilepas, biar dia yang urus sendiri nanti.”

                “Mmm... Nanti aku ngomong dulu ke Satriyo soal itu ya Dik.”

                “Iya, Mbak. Eh, sudah dulu ya nelponnya, kapan-kapan disambung lagi. Sugeng ndalu, Mbak Ndari.

                “Sugeng ndalu, Dik.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar