Minggu, 02 Februari 2014

Asmaradana Terlarang (9)

Sebuah rumah berdinding bata dengan halaman tak seberapa luas dengan balai-balai bambu di depan rumah tersebut. Sundari dan Sutari, seperti pagi-pagi sebelumnya, menyapu halaman tersebut. Daun-daun jambu dan waru yang mengering tampak berserakan gugur dari pohonnya bersatu dengan debu-debu tanah yang mulai beterbangan ketika helai-helai lidi dari sapu yang dipegang kedua kakak beradik tersebut menyentuhnya.


“Nduk,” terdengar suara dari dalam rumah memanggil. “Bapakmu sudah berangkat ke pasar apa belum ya?”

“Sudah dari tadi,” jawab Sutari. “Ada apa to, Mak’e?”

“Lha ini rantang nasinya kok masih ada di rumah. Bapakmu lupa membawanya.”

“Ya sudah, biar saya yang mengantarnya ke pasar,” Kata Sundari.

Sundari pun meletakkan sapunya ke pojok rumah, lalu masuk ke dalam rumah. Tak lama ia pun keluar dan menenteng sebuah rantang nasi. Ditaruhnya rantang tersebut pada setang sepeda dan Sundari pun bersiap-siap berangkat ke pasar.

“Saya ke pasar dulu.”

Sundari pun mengayuh sepedanya meninggalkan Sutari dan ibunya. Sepeda meninggalkan halaman rumah, mulai menyusuri jalan desa. Begitu sampai di perempatan pos ronda, Sundari pun berbelok ke kanan. Namun tiba-tiba saja sebuah sepeda motor muncul dan hampir menabraknya.

“Eh, maaf. Saya ndak lihat,” kata Sundari kepada pengendara sepeda motor itu.

“Oh, saya yang harusnya minta maaf agak ngebut tadi,” balas seorang pemuda pengendara motor itu. “Oh, Sundari. Mau kemana pagi-pagi begini. Kok kelihatannya terburu-buru.”

“Mmm ... Eh, mas Krisno. Ini, saya mau ke pasar mengantarkan rantang nasi buat Bapak. Tadi Bapak lupa bawa. Untung saja rantangnya ndak jatuh tadi,” jawab Sundari kepada Krisno, anak laki-laki Pak Kades.

“Ooo ... Mau saya antar ke pasar?”

“Anu, ndak usah Mas Krisno. Repot nanti.”

“Ndak apa-apa. Kan biar lebih cepat kalau pakai motor. Sepedanya dititipkan saja di kantor desa situ, terus nanti kamu bonceng motorku.”

“Ndak usah repot-repot, Mas. Biar saya naik sepeda saja.”

“Bener ndak mau aku antar? Ndak kuatir kecapekan atau kena panas. Apa ndak sayang kalau nanti kulitmu jadi hitam dan ngurangi kecantikanmu?”

“Ah, Mas Krisno ini,” kata Sundari sedikit tersipu malu. “Ndak apa-apa, biar Sundari nik sepeda saja. Lagi pula masih pagi dan ndak terlalu panas ini.”

“O ya sudah kalau begitu.”

“Iya, Mas. Saya pamit dulu.”

“Hati-hati di jalan, Ndari.”

Sundari pun kembali menaiki sadel sepeda. Dan dikayuhnya sepeda itu menyusuri jalan Desa Kemiri. Sesekali ia menyapa satu dua orang yang ditemuinya.

Baru saja beberapa menit, sepeda yang dinaiki Sundari itu terasa agak berat jalannya. Sundari pun segera menepi dan menghentikan laju sepedanya. Diperiksanya kondisi sepeda. Ah, ternyata ban belakangnya kempes.

“Wah, sepedanya kenapa?”

Sundari agak terkejut mendengar suara seorang pria yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depannya.

“Aduh, kaget saya. Eh, Mas Baskoro. Mmm ... ini bannya sedikit kempes.”

“Coba saya periksa sebentar.” Baskoro pun langsung memeriksa ban belakang. “Ini cuma kurang angin saja. Saya bantu pompa sebentar ya.”

Baskoro mengambil pompa angin yang terletak di rangka sepeda. Dipasangnya ujung pipa pompa ke lubang pada bagian pentil ban. Kemudian dipompanya ban itu beberapa kali.

“Nah, sudah selesai,” kata Baskoro sambil memencet ban, memastikan udaranya cukup kencang. “O, ya. Kamu yang kemarin malam menari Gambyong itu kan?”

“Iya, Mas.”

“Kayaknya aku belum tahu namamu,” kata Baskoro sambil mengembalikan pompa pada tempatnya semula. Dia pun mengulurkan tangannya, mengajak Sundari berjabat tangan. “Boleh tahu nama kamu?”

“Sundari. Nama saya Sundari,” jawab Sundari sambil menjabat tangan Baskoro. Dilihatnya laki-laki yang berparas tenang dengan senyum manisnya itu. Laki-laki dengan sepasang mata lebar dan juga hidung bangir, serta kulitnya yang berwarna sawo matang. Agak lama Sundari terdiam kaku.

“Eh, maaf,” kata Sundari sambil menarik tangannya dari jabatan tangan Baskoro. Sundari pun tertunduk, dan rona kemerahan pun nampak di wajahnya.

“Mau kemana?”

“Anu. Ini mau ke pasar. Mmm ... Saya permisi, Mas Bas. Terima kasih sudah dibantu..”
Sundari buru-buru menaiki sepedanya dan segera meninggalkan Baskoro yang masih berdiri seorang diri di tepi jalan desa itu. Mata Baskoro terus mengawasi sepeda dan penumpangnya itu, yang makin lama makin mengecil dari pandangannya.

Dari arah lain di belakang Baskoro, suara sepeda motor terdengar semakin mendekat. Dan begitu berada di depannya, sepeda motor itu pun berhenti.

“Hei, kamu!” kata pengendara motor itu dengan nada agak keras. “Jangan macam-macam dengan Sundari ya!”

“Oh, ada apa?” tanya Baskoro tidak mengerti apa maksud pria itu.

“Saya tidak suka lihat kamu tadi ngobrol-ngobrol sama Sundari sambil memegang tangannya.”

“Maaf, kamu siapa?”

“Krisno, aku Krisno. Semua orang di desa ini tahu siapa aku!”

Krisno pun menstarter motornya.

“Kamu jangan dekati Sundari lagi!!” bentak Krisno. “Apalagi kamu bukan orang desa sini. Jaga sopan santunmu!!”

Dan Krisno pun meninggalkan Baskoro yang masih berdiri terheran-heran di tepi jalan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar