Sebuah rumah berdinding bata dengan
halaman tak seberapa luas dengan balai-balai bambu di depan rumah tersebut.
Sundari dan Sutari, seperti pagi-pagi sebelumnya, menyapu halaman tersebut.
Daun-daun jambu dan waru yang mengering tampak berserakan gugur dari pohonnya
bersatu dengan debu-debu tanah yang mulai beterbangan ketika helai-helai lidi
dari sapu yang dipegang kedua kakak beradik tersebut menyentuhnya.
“Nduk,”
terdengar suara dari dalam rumah memanggil. “Bapakmu sudah berangkat ke pasar
apa belum ya?”
“Sudah
dari tadi,” jawab Sutari. “Ada apa to, Mak’e?”
“Lha ini
rantang nasinya kok masih ada di rumah. Bapakmu lupa membawanya.”
“Ya sudah,
biar saya yang mengantarnya ke pasar,” Kata Sundari.
Sundari pun meletakkan sapunya ke
pojok rumah, lalu masuk ke dalam rumah. Tak lama ia pun keluar dan menenteng
sebuah rantang nasi. Ditaruhnya rantang tersebut pada setang sepeda dan Sundari
pun bersiap-siap berangkat ke pasar.
“Saya ke
pasar dulu.”
Sundari pun mengayuh sepedanya
meninggalkan Sutari dan ibunya. Sepeda meninggalkan halaman rumah, mulai
menyusuri jalan desa. Begitu sampai di perempatan pos ronda, Sundari pun
berbelok ke kanan. Namun tiba-tiba saja sebuah sepeda motor muncul dan hampir
menabraknya.
“Eh, maaf.
Saya ndak lihat,” kata Sundari kepada pengendara sepeda motor itu.
“Oh, saya
yang harusnya minta maaf agak ngebut tadi,” balas seorang pemuda pengendara
motor itu. “Oh, Sundari. Mau kemana pagi-pagi begini. Kok kelihatannya
terburu-buru.”
“Mmm ...
Eh, mas Krisno. Ini, saya mau ke pasar mengantarkan rantang nasi buat Bapak.
Tadi Bapak lupa bawa. Untung saja rantangnya ndak jatuh tadi,” jawab Sundari
kepada Krisno, anak laki-laki Pak Kades.
“Ooo ...
Mau saya antar ke pasar?”
“Anu, ndak
usah Mas Krisno. Repot nanti.”
“Ndak
apa-apa. Kan biar lebih cepat kalau pakai motor. Sepedanya dititipkan saja di
kantor desa situ, terus nanti kamu bonceng motorku.”
“Ndak usah
repot-repot, Mas. Biar saya naik sepeda saja.”
“Bener
ndak mau aku antar? Ndak kuatir kecapekan atau kena panas. Apa ndak sayang
kalau nanti kulitmu jadi hitam dan ngurangi kecantikanmu?”
“Ah, Mas
Krisno ini,” kata Sundari sedikit tersipu malu. “Ndak apa-apa, biar Sundari nik
sepeda saja. Lagi pula masih pagi dan ndak terlalu panas ini.”
“O ya
sudah kalau begitu.”
“Iya, Mas.
Saya pamit dulu.”
“Hati-hati
di jalan, Ndari.”
Sundari pun kembali menaiki sadel
sepeda. Dan dikayuhnya sepeda itu menyusuri jalan Desa Kemiri. Sesekali ia menyapa
satu dua orang yang ditemuinya.
Baru saja beberapa menit, sepeda yang
dinaiki Sundari itu terasa agak berat jalannya. Sundari pun segera menepi dan
menghentikan laju sepedanya. Diperiksanya kondisi sepeda. Ah, ternyata ban
belakangnya kempes.
“Wah,
sepedanya kenapa?”
Sundari agak terkejut mendengar suara
seorang pria yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depannya.
“Aduh,
kaget saya. Eh, Mas Baskoro. Mmm ... ini bannya sedikit kempes.”
“Coba saya
periksa sebentar.” Baskoro pun langsung memeriksa ban belakang. “Ini cuma
kurang angin saja. Saya bantu pompa sebentar ya.”
Baskoro mengambil pompa angin yang
terletak di rangka sepeda. Dipasangnya ujung pipa pompa ke lubang pada bagian
pentil ban. Kemudian dipompanya ban itu beberapa kali.
“Nah,
sudah selesai,” kata Baskoro sambil memencet ban, memastikan udaranya cukup
kencang. “O, ya. Kamu yang kemarin malam menari Gambyong itu kan?”
“Iya,
Mas.”
“Kayaknya
aku belum tahu namamu,” kata Baskoro sambil mengembalikan pompa pada tempatnya
semula. Dia pun mengulurkan tangannya, mengajak Sundari berjabat tangan. “Boleh
tahu nama kamu?”
“Sundari.
Nama saya Sundari,” jawab Sundari sambil menjabat tangan Baskoro. Dilihatnya
laki-laki yang berparas tenang dengan senyum manisnya itu. Laki-laki dengan
sepasang mata lebar dan juga hidung bangir, serta kulitnya yang berwarna sawo
matang. Agak lama Sundari terdiam kaku.
“Eh,
maaf,” kata Sundari sambil menarik tangannya dari jabatan tangan Baskoro.
Sundari pun tertunduk, dan rona kemerahan pun nampak di wajahnya.
“Mau
kemana?”
“Anu. Ini
mau ke pasar. Mmm ... Saya permisi, Mas Bas. Terima kasih sudah dibantu..”
Sundari buru-buru menaiki sepedanya
dan segera meninggalkan Baskoro yang masih berdiri seorang diri di tepi jalan
desa itu. Mata Baskoro terus mengawasi sepeda dan penumpangnya itu, yang makin
lama makin mengecil dari pandangannya.
Dari arah lain di belakang Baskoro,
suara sepeda motor terdengar semakin mendekat. Dan begitu berada di depannya,
sepeda motor itu pun berhenti.
“Hei,
kamu!” kata pengendara motor itu dengan nada agak keras. “Jangan macam-macam
dengan Sundari ya!”
“Oh, ada
apa?” tanya Baskoro tidak mengerti apa maksud pria itu.
“Saya
tidak suka lihat kamu tadi ngobrol-ngobrol sama Sundari sambil memegang
tangannya.”
“Maaf,
kamu siapa?”
“Krisno,
aku Krisno. Semua orang di desa ini tahu siapa aku!”
Krisno pun menstarter motornya.
“Kamu
jangan dekati Sundari lagi!!” bentak Krisno. “Apalagi kamu bukan orang desa
sini. Jaga sopan santunmu!!”
Dan Krisno pun meninggalkan Baskoro
yang masih berdiri terheran-heran di tepi jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar