Minggu, 02 Februari 2014

Asmaradana Terlarang (10)

                “Nduk Ndari, sini sebentar.”

                “Iya, Pak’e. Ada apa?”

                “Coba duduk sini sebentar. Aku dan ibumu mau ngomong.”

Sundari pun datang menghampiri bapak dan ibunya yang tengah duduk di ruang tamu. Dari celah-celah jendela, sinar matahari sore lembut menyusup masuk ke ruangan itu. Sundari pun segera duduk di salah satu kursi yang ada di dekat kedua orang tuanya itu.


                “Begini. Umurmu kan sudah hampir dua puluh tahun,” Kata Pak’e membuka percakapan sore itu. Lelaki tua itu pun menghentikan sebentar perkataannya. Diambilnya cangkir kopi yang ada di hadapannya dan direguknya kopi yang tinggal setengah di dalamnya.

                “Iya Pak’e. Memang kenapa?” tanya Sundari.

                “Begini, Nduk. Melihat umurmu yang sudah cukup, kamu perlu mulai memikirkan masa depanmu.”

                “Masa depan bagaimana maksudnya, Pak’e?”

                “Sudah saatnya kami harus memikirkan siapa lelaki yang akan menjadi suamimu.”

                “Nikah maksudnya? Wah, kalau soal itu Ndari belum kepikiran.”

                “Makanya harus mulai kamu pikirkan. Apa mungkin sudah ada pria yang nyantol di hati kamu?”

                “Belum ada, Pak’e”

Suasana hening sejenak. Pak’e kembali meminum kopi di depannya. Mak’e masih diam saja mendengarkan perbincangn suami dan anaknya. Sementara Sundari sedikit menundukkan kepalanya sambil menunggu kata-kata selanjutnya dari bapaknya.

                “Aku perhatikan akhir-akhir ini kamu agak dekat dengan pemain kethoprak itu. Mmm ... Siapa namanya...?”

                “Oh, Mas Baskoro.”

                “Iya, dia. Apa kamu sudah ada rasa sama Baskoro itu?”

                “Rasa apa to, Pak’e? Ya ndak ada apa-apa. Lha orang aku ngobrol biasa-biasa saja sama Mas Baskoro. Seperti kalau aku lagi ngobrol sama teman-teman lainnya.”

                “Ya, aku kan hanya memastikan saja.”

                “Benar kok, Pak’e. Nggak ada apa-apa. Mas Baskoro itu memang orangnya baik dan ramah. Jadi enak kalau diajak ngobrol.”

                “Ya sudah, kalau memang gitu. Aku cuma mau mengingatkan supaya kamu juga bisa jaga diri, bisa ngerti batas-batas sopan santun kalau lagi ngobrol dengan lelaki. Ndak boleh sembarangan ngobrol, apalagi dengan lelaki yang bukan dari desa kita yang kamu belum tahu dengan jelas latar belakangnya.”

                “Iya, Pak’e. Tapi menurut saya Mas Baskoro itu orang baik-baik kok.”

                “Ini ibumu kok diam saja dari tadi. Mbok ya ngomong gitu, beri nasihat buat anakmu ini.”

Mak’e yang dari tadi tanpa suara, mau tak mau ikut angkat bicara.

                “Lha mau aku, atau mau Pak’e yang bicara kan sama saja,” jawab Mak’e. “Bener apa kata bapakmu, Nduk. Sebagai wong wedhok memang kamu harus lebih hati-hati.”

                “Iya, Mak’e.”

Pembicaraan antara ketiga orang tersebut terhenti, ketika seseorang datang dan mengucapkan salam dari depan pintu.

                “Kulo nuwun.”

                “Monggo,” sahut Pak’e dari dalam. “Eh, Pak Kades. Mari masuk. Silakan duduk”


Pak Kades pun masuk masuk dan duduk di ruang tamu itu. Sundari dan ibunya pun ke belakang meninggalkan ruang tamu.
               

                “Kadingaren, tumben Pak Kades ke sini. Ada apa ini?”

                “Ooo... ndak ono opo-opo. Kebetulan aku lagi keliling desa dan lewat jalan depan situ. Jadi sekalian mampir ke sini. Lagipula aku kayaknya sudah agak lama ndak ketemu ngobrol sama kamu. Lagi ndak sibuk atau mau ada acara pergi keluar kan?”

                “Ndak ada. Ini tadi juga lagi nyantai.”

                “Piye kabarmu, sehat kan?

                “Sehat Pak. Lha Pak Kades juga sehat-sehat saja kan?

                “Iya. Sehat, sehat. Kalo ndak sehat ya ndak mungkin bisa jalan-jalan sampai sini, iya tho?”

Kedua lelaki itu pun tertawa bersama. Kemudian keduanya terlibat pembicaraan dalam suasana santai. Tak lama, masuklah Sundari ke ruang tamu tersebut sambil membawakan segelas teh.


                “Monggo. Silakan diminum, Pak Kades.”

                “O iyo, Nduk. Wis, ndak usah repot-repot.”

                “Ndak repot kok Pak. Lha wong cuma teh saja.”

Sundari pun kembali ke belakang, meninggalkan ruang tamu tersebut.

                “Wah, anakmu sudah gede sekarang. Sudah perawan dan juga cantik. Siapa namanya, aku kok lupa?”

                “Sundari.”

                “O iyo, Sundari,” kata Pak Kades sembari mengambil gelas dan meminum teh yang ada di dalamnya. “Umur berapa sekarang dia?”

                “Sebentar lagi mau dua puluh. Lha kalau ndak salah seumuran sama anaknya Pak Kades tho?”

                “O iyo, iyo. Wah, sudah mulai pikun aku ini. Dulu waktu kecil Krisno juga sering main dengan Sundari.”

Keduanya pun kembali tertawa.


                “Begini, aku mau ngomong sama kamu.”

                “Iya, Pak Kades.”

                “Anakku Krisno kan sudah dewasa, sudah waktunya berumah tangga. Dan waktu aku tanya kemarin apa sudah ada yang ditaksir atau belum, Krisno bilang kalau dia ada rasa sama Sundari.”

                “Oohh..”

                “Jadi maksud kedatanganku ini mau nanyain, apa kamu setuju kalau Krisno dan Sundari kita kawinkan saja. Toh dua-duanya sudah sama-sama dewasa dan aku juga sudah kenal baik sama kamu.”

                “Eh, anu. Apa saya ndak salah dengar ini Pak Kades?”

                “Ya ndak. Ini beneran. Coba kamu pertimbangkan ini, siapa tahu kita bisa menjadi besan.”

                “Mmmm...”

                “Kok malah bingung gitu. Yo wis, aku pamit dulu. Kamu pikir masak-masak ya.”

Kedua lelaki itu pun bersalaman. Dan Pak Kades pergi meninggalkan rumah itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar