Pagi yang baru. Matahari masih rebah rendah di langit timur.
Cahaya kuning keemasannya masih malu-malu untuk menyusup daun-daun mangga.
“Pak’e, ini kopinya. Ini singkong
gorengnya. Monggo, silakan.”
“Ya, nduk.”
Pak’e pun menyeruput kopi hitam yang dihidangkan Sutari.
Dilanjutkan dengan menikmati singkong
goreng yang masih mengepul uapnya.
“Jam piro sekarang, Nduk?”
“Jam setengah enam.”
“Hari ini kan Satriyo mau datang.
Sudah ada yang menjemput belum?”
“Sudah, Pak’e. Si Bagus baru saja
berangkat menjemput kakaknya itu. Paling-paling satu jam lagi juga sudah datang
bisnya.”
“O, yo wis kalau begitu. “
***
Setengah tujuh pagi. Sebuah bus antar kota itu berhenti, lalu
turunlah Satriyo. Tampak matanya masih kemerahan karena baru saja terbangun.
Sebuah sepedaa motor datang menghampiri Satriyo. Pengendaranya
seorang laki-laki yang masih remaja.
“Maaf, Mas Satriyo ya?”
“Iya. Siapa ya?”
“Oh, saya Bagus.”
“Oooo, Bagus. Wah, nggak kenal aku.”
“Ayo naik, Mas!”
Satriyo pun segera membonceng di belakang Bagus.
“Kita cari makan dulu ya, Mas. Pasti
Mas Satriyo sudah lapar kan?”
“Iya. Tapi mau makan dimana pagi-pagi
begini?”
“Pernah nyoba makan nasi gandul?”
“Belum.”
“Ya sudah. Yuk kita cari nasi gandul
dulu. Dijamin Mas Satriyo bakalan suka. Apalagi makannya pagi-pagi gini, cocok
banget.”
***
“Pak’e. Sudah dengar belum soal pohon
beringin yang ada di kantor desa?”
“Belum. Ada apa dengan beringin itu?”
“Kemarin sore katanya dahannya ada
yang patah. Padahal sedang ndak ada angin.”
“Beneran itu?”
Pak’e tampak gusar.
Lelaki tua itu pun memperbaiki posisi duduknya.
Lelaki tua itu pun memperbaiki posisi duduknya.
“Katanya begitu, Pak’e. Semalam saja
di pos ronda depan rumah orang-orang pada ngomong soal itu.”
“Mudah-mudahan ndak terjadi apa-apa
dengan desa ini.”
“Lha memang kenapa, Pak’e?”
“Begini. Kamu tahu soal dua pohon
beringin yang umurnya lebih tua dari umurku itu?”
“Iya, tapi ada apa dengan beringin
itu, Pak’e?”
Dua buah pohon beringin yang tumbuh di belakang kantor desa Kemiri
memang sudah berusia tua. Diameter pohonnya besar. Mungkin perlu sepuluh tangan
orang dewasa untuk dapat merangkulnya.
“Kalau ada dahan beringin yang patah,
pertanda akan ada bencana yang melanda desa ini.”
“Mbok ya jangan nakut-nakuti gitu tho,
Pak’e”
“Aku ndak nakut-nakuti. Waktu aku
masih kecil dulu, salah satu pohon beringin ini juga pernah patah dahannya. Dan
dalam satu bulan, hampir tiap hari ada penduduk desa yang meninggal dunia. Ada
yang meninggal waktu sedang istirahat sambil duduk leyeh-leyeh setelah ngarit.
Ada yang meninggal waktu tidur siang. Tapi memang ada juga yang sedang sakit,
lalu akhirnya meninggal.”
“Ya mungkin itu kebetulan saja, Pak’e.
Memang sudah waktunya untuk dipanggil oleh Sing
Nggawe Urip.”
“Ya, entah kebetulan atau ndak. Tapi
kalau tiap hari ada penduduk desa yang meninggal, itu juga ndak wajar.”
“Oo...”
***
“Wah,
ternyata enak banget nasi gandulnya ya, Dik Bagus.”
“Haha..,
kan sudah saya bilang tadi. Mas Satriyo pasti bakal ketagihan.”
“Ho oh.
Tadi sampai nambah dua kali aku.”
Sepeda motor yang ditumpangi oleh
kedua laki-laki itu pun mulai memasuki jalan desa.
“Aku mau
nanya, kok bisa dinamakan nasi gandul?”
“Ya, mana
saya tahu. Orang saya lahir juga namanya sudah begitu.”
“Iya, tapi
nama yang aneh kedengarannya.”
“Dulu,
katanya sih yang jual pertama kali pake pikulan. Jadi kalau penjualnya lagi
jalan, ya pikulannya gondal-gandul, bergoyang-goyang gitu. Lalu disebutlah nasi
gandul. Tapi benar apa tidak, saya juga ndak terlalu tahu.”
“Ooo,
gitu.”
“Ya gitu
lah. Tapi kalau kata Shakespeare, apalah arti sebuah nama. Yang penting kan
enak rasanya kan, Mas?”
“Iya, haha
...”
Tiba-tiba motor direm mendadak.
Seorang pria paruh baya dengan pakaian dan rambut tak terawat melintas begitu
saja di depan mereka, hampir saja ia tertabrak.
“Ati-ati
kalau naik motor! Kamu mau membunuh saya? Kamu mau membunuh saya?”
Pria itu marah. Tubuhnya tampak kotor
dan juga bau.
“Hati-hati,
Dik Bagus.”
“Iya Mas.
Tenang saja, dia memang orang gila kok.”
Pria itu masih berdiri di depan motor
menghalangi Bagus dan Satriyo meneruskan perjalanannya. Dan ketika ia melihat
Satriyo, ia meracau kembali.
“Hei
kamu!!”
Satriyo terkejut ketika pria itu
menunjukkan tangan kepadanya.
“Sarkoro!
Mau apa kamu datang kesini?”
Bagus dan Satriyo bingung. Entah siapa
yang dimaksud dengan Sarkoro oleh pria itu.
“Hei, Sarkoro! Kamu hanya membawa sial saja bagi desa ini! Mau
berapa orang lagi yang akan mati karena kamu, Sarkoro? Berapa banyak darah lagi
yang akan tumpah karena kamu, Sarkoro? Pergi dari desa ini, pergi!!”
Pria itu berjongkok dan mengambil sebuah batu kecil di tanah.
Bagus pun buru-buru menarik gas sepeda motor sebelum orang gila itu melempari
mereka dengan batu.
“Pergi sana, Sarkoro!! Pergi!!!”
Untung saja batu yang dilemparkan orang gila itu tidak mengenai
Bagus dan Satriyo.
“Dasar orang gila!” umpat Bagus.
“Siapa itu Sarkoro, Dik?”
“Mana saya tahu, Mas. Dasar orang
gila!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar