Kamis, 27 Februari 2014

Valentine Sudah Lewat

Februari. Wah, ini bulan yang istimewa. Sebenarnya sih bagi kami Februari sama saja dengan sebelas bulan lainnya. Manusia saja yang menjadikan kami, buah-buah apel, lebih istimewa di bulan pendek ini. Tapi sayangnya keistimewaan itu hanya terjadi di pertengahan bulan. Valentine’s Day, itu menurut para manusia. Kalau sudah lewat ke akhir bulan seperti sekarang, ya tidak istimewa lagi.

Saat ini umurku sudah cukup matang. Penampilanku ranum dan merah menyala, rasa buahku pun sudah manis segar. Namun sayang, harapanku agar aku bisa terpilih oleh manusia untuk dijadikan sesuatu yang istimewa di Valentine’s Day yang lalu tidak terjadi. Aku masih terpajang manis di toko buah saat ini, menunggu pembeli. Tapi sudahlah, toh ada apel-apel lainnya yang juga mengalami ketidakberuntungan ini.

Setidaknya kami masih bisa saling bercanda satu dengan lainnya, atau berbagi cerita turun-temurun sejak masa nenek moyang kami dulu. Kalau sudah lelah mengobrol, ya paling-paling kami cukup berdiam diri sambil melihat apa yang terjadi di sekitar kami: pemilik toko buah yang sudah nenek-nenek dan berkacamata tebal itu, orang-orang yang lalu-lalang di depan toko, atau pria berambut ikal di seberang jalan yang sering ketiduran di toko kelontong yang dijaganya.

***

Lincolnshire, 1666. Untuk kesekian kalinya pria berambut ikal itu ketiduran di halaman belakang rumah keluarga besarnya. Kadang tertidur di kursi malas yang ada di beranda belakang, juga kadang tertidur sambil duduk di lantai dengan bersandar tembok.

“Eh, lihat manusia yang tidur di sana itu,” kata salah satu buah apel yang bertengger di dahan pohon.

“Iya, memang kenapa?” timpal apel lainnya yang ada di dekatnya.

“Aku kok sebel melihatnya.”

“Lho?”

“Iya sebel saja. Anak muda kok sering ketiduran. Rasanya mau ku jitak saja.”

“Tenang, tenang. Kita beri pelajaran saja kalo begitu. Aku punya ide… “

Uups… Pria muda itu terbangun. Menguap. Menggeliat meregangkan kedua tangan. Lalu mulai berdiri dan berjalan berkeliling halaman rumah sambil membawa selembar kertas dan sebatang pena. Matanya masih terlihat merah.

Siang itu lumayan terik, beruntung angin sepoi cukup memberi kesegaran. Tak hanya itu, tentunya juga mendatangkan kantuk bagi pria berambut ikal itu. Dan… benar saja, begitu ia menemukan tempat yang cocok, ia pun mulai duduk dan tak bisa menahan kantuknya.

“Aha, dia ada di bawah pohon apel! Berarti kita bisa melancarkan aksi.”

Apel itu mulai menggoyang-goyangkan badannya, hingga akhirnya ia terlepas dari dahan dan melayang bebas ke bawah.

PLAKK!!

Apel itu jatuh mengenai kepala manusia yang tertidur di bawahnya. Jelas saja pria itu terbangun kaget. Di pegangnya apel yang jatuh itu sambil mengelus-elus kepalanya yang terasa sakit.

Sekian detik pria itu terdiam, entah apa yang dipikirnya. Tapi di detik berikutnya ia mengambil kertas dan menerakan tulisan di atasnya:

Energi potensial berbanding lurus dengan massa benda, ketinggian benda dan juga gaya gravitasi.
Tak lupa ia menggoreskan sebuah nama di bawah tulisan tadi: Isaac Newton

***

“Valentine sudah lewat,” aku bergumam pelan.

“Apa kau bilang barusan?” tanya temanku.

“Oh, iya. Valentine sudah lewat,” jawabku. “Kita sudah tidak istimewa lagi. Apel biasa-biasa saja… “

Pembicaraan kami terpotong ketika seorang pria bertubuh kurus masuk ke toko buah. Mudah-mudahan saja dia mengambil diriku sehingga aku bisa menikmati suasana yang baru.

Setelah berbincang singkat dengan nenek tua pemilik toko, pria kurus itu mulai memilih-milih apel. Dan, akhirnya aku dan tiga apel lainnya berpindah dari kotak buah menuju kantong plastik.

Selesai membayarnya, pria kurus itu menenteng kantong plastik dan berjalan menyusuri jalan. Dari dalam kantong yang transparan, aku bisa melihat orang-orang dan kendaraan yang lalu-lalang.

Di ujung sana, aku lihat seorang pria berlari tunggang-langgang. Sekian belas meter di belakangnya, beberapa orang berusaha mengejarnya. Maling?

***

Los Altos, 1976. Suasana kota kecil yang biasanya tenang, mendadak heboh siang itu.

“Maliiing!!! Maliiiinggg!!!”

Terdengar teriakan seorang wanita muda di sebuah kios buah segar miliknya. Sayang si pencuri cilik terlanjur kabur jauh. Orang-orang berdatangan, mengerumuni wanita itu. Beberapa juru warta juga ada.

“Mana malingnya?”

“Barang apa yang hilang?”

“Dasar maling kurang ajar!”

Wanita muda itu tak menghiraukan perkataan orang-orang di sekitarnya. Ia sibuk memeriksa barang dagangannya. Lengkap, sepertinya maling cilik itu tak berhasil menggondol satu barang pun. Kecuali …

“Beruntung tak ada yang hilang. Maling lapar itu bahkan tak berhasil menyelesaikan makan siangnya,” kata wanita itu sambil memegang sebuah apel yang tergigit secuil.

Kilatan kamera juru warta pun menyambar, mengabadikan si wanita dan apel di tangannya. Foto itu muncul di surat kabar lokal esok harinya, foto yang akhirnya menginspirasi seorang anak muda untuk memakai apel somplak menjadi logo perusahaan komputernya.

***

Sudah tiga hari aku berada di kamar si pria kurus itu. Kami yang semula berempat, kini tersisa dua di atas meja kecil di samping ranjang si kurus itu. Yang dua lagi ‘pergi’ dari meja ini, namun bukan karena dimakan.

Tiga hari ini si kurus nampak tak sehat, dan mengurung diri di kamar. Sudah dua kali orang tuanya mengundang dokter untuk memeriksa penyakitnya. Namun baru saja si dokter berada di ambang pintu kamar, si kurus sudah berteriak ketakutan dan melempar dengan apel. Begitulah nasib kedua temanku, hanya sebagai apel buangan untuk mengusir dokter kemarin dan kemarinnya lagi.

“Valentine sudah lewat… “

Aku menggumamkan kalimat itu lagi. Kali ini mungkin lebih terdengar sebagai sebuah keluhan karena aku sudah kehilangan kesempatan untuk menjadi apel yang istimewa untuk manusia. Bahkan aku terancam menjadi apel buangan, seperti temanku kemarin.

TOK TOK TOK

Tiga ketukan di pintu.

“Siapa?” tanya si kurus.

“Nak, sudah tiga hari kamu sakit,” suara seorang wanita di ambang pintu. “Kamu harus diperiksa dokter.”

“Tidak, aku tidak mau dokter!!”

Seorang pria berbaju putih muncul di samping wanita itu.

“Nggak usah takut. Cuma sebentar saja,” kata si baju putih sambil tersenyum ramah.

Dan seperti yang sudah-sudah, si kurus berteriak ketakutan. Di ambilnya temanku, lalu dilemparkannya ke arah si baju putih. Hampir saja apel itu mengenai muka si baju putih, jika ia tak mengelak. Wajah ramahnya berubah merah. Tanpa berkata sepatah pun, si baju putih langsung meninggalkan kamar itu diikuti si wanita yang berkali-kali meminta maaf.

Si kurus membuka laci meja. Sebuah buku kecil dan pulpen diambilnya. Sambil tersenyum puas, sebuah tulisan diterakannya di buku itu:
An apple a day keeps the doctor away
Kini tinggallah aku sendiri. Apel terakhir di kamar ini.
Entah apa yang akan terjadi denganku selanjutnya.

Minggu, 09 Februari 2014

Asmaradana Terlarang (19)

Matahari sudah mulai meninggi dan menghangatkan kota Pati. Sebuah kantor polisi yang berada beberapa puluh meter di timur alun-alun terlihat ramai seperti hari-hari sebelumnya. Beberapa petugas sedang berjaga di pos bagian depan.

Di ruangan lain, dua orang pria duduk di lantai yang disemen. Sebuah terali besi memisahkan kedua pria itu.

                “Sejak kapan kamu pakai tato?” tanya Aji. Lelaki paruh baya itu tak dapat menyembunyikan kemarahannya kepada Baskoro.

                “Eh.. anu,” Baskoro gelagapan mendapat pertanyaan itu. “Sudah tahun lalu, Pak Lik.”

                “Siapa yang membuatnya?”

                “Teman-teman kethoprak.”

                “Jadi teman-teman kamu juga  tatoan seperti kamu?”

                “Tidak, Pak Lik. Cuma saya yang pakai tato. Ini juga untuk iseng saja.”
               
***

Di ruang lain, Suprapto tengah duduk dan membaca beberapa berkas yang ada di meja. Sebuah gelas berisi kopi yang berada di depannya tinggal berisi setengahnya.

                “Selamat pagi, Ndan,” sapa seorang petugas di depan pintu. “Ada yang mau ketemu.”

                “Pagi. O, ya. Lima menit lagi suruh masuk,” jawab Suprapto. Ia kemudian mengambil gelas kopi dan mereguk isinya, lalu melanjutkan membaca berkas.

Sebuah ketukan di pintu terdengar. Seorang lelaki masuk setelah sebelumnya mengucapkan salam singkat.


                “Selamat pagi,” kata Suprapto. “Silakan duduk Nak Krisno.”

                “Matur nuwun, Pak,” jawab lelaki yang bernama Krisno itu.

***

                “Aku tidak habis pikir, kanapa kamu bisa melakukan tindakan bodoh seperti itu,” Aji masih belum bisa meredam kemarahannya. Sementara Baskoro terdiam tidak tahu harus menjawab apa. “Apa kamu tidak tahu kalo tato itu bisa mendatangkan bencana bagi kamu? Banyak preman dan gali yang sekarang ketakutan dan berusaha menyembunyikan dan menghapus tato di tubuhnya. Eh, kamu kok malah tatoan. Mau bunuh diri?”

                “Maaf, Pak Lik.”

   “Apa kamu tidak dengar kalo tahun ini banyak gali yang tiba-tiba menghilang secara misterius. Gali-gali banyak ditangkap orang tak terkenal. Lalu tahu-tahu sudah ditemukan di tepi jalan, hutan atau di mana saja dalam keadaan meninggal dengan luka tembak atau terkena senjata tajam di seluruh tubuhnya?”

Baskoro gemetaran mendengar perkataan Aji. Sungguh ia tidak bakal mengira bahwa gambar yang terukir di pinggangnya itu akan menyeretnya masuk ke dalam bui. Bahkan ia tak pernah berpikir bahwa kini nyawanya juga berada di ujung tanduk.

Baskoro sangat ketakutan dan khawatir. Khawatir bukan hanya terhadap dirinya, tetapi juga terhadap nasib istrinya. Apalagi saat ini Sundari dalam keadaan mengandung dua bulan.

***

“Aku tidak menemukan catatan kejahatan yang pernah dilakukan oleh Baskoro. Dia bersih,” kata Suprapto.

“Bagaimana dengan tato itu?” tanya Krisno. “Bukankah itu perlu dicurigai?”

“Aku sedang memeriksanya. Nanti akan tahu apakah Baskoro bersih atau tidak.”

“Saya mohon Bapak tidak berlambat-lambat. Saya khawatir nanti akan terjadi hal-hal yang tidak baik di masyarakat.”

“Aku sudah meminta kesaksian dari warga soal Baskoro. Semuanya bilang tidak ada masalah. Baskoro pemuda yang baik dan sopan. Dan aku tidak akan gegabah dalam menangani hal ini.”

“Tapi Pak, bukankah sudah seharusnya gali-gali bertato dilenyapkan saja dari masyarakat? Ini demi keamanan, Pak.”

“Kalo memang benar gali, tentu Baskoro akan ditindak. Aku kebetulan sangat mengenal baik pemimpin  kethoprak tempat Baskoro main. Dan aku percaya Pak Aji bisa menjaga Baskoro dan anak buahnya yang lain tetap berlaku baik di masyarakat.”

“Jadi, gimana kelanjutan laporan saya Pak? Apa Baskoro akan bebas begitu saja?”

“Tenang saja, Dik Krisno. Pemeriksaan masih terus dilanjutkan.”

Suprapto mengakhiri pembicaraan itu dan meminta Krisno untuk meninggalkan ruangan. Polisi itu melihat ada sesuatu di mata Krisno. Semacam kebencian, atau dendam pribadi di sorot mata pemuda Desa Kemiri itu. Tak sukar bagi seorang reserse seperti Suprapto untuk bisa menangkap hal-hal seperti itu.

***


                “Jadi, gimana Lik. Apa Pak Lik bisa membantuku?” tanya Baskoro.

                “Hhhh... baik, aku akan mencoba bicara dengan Suprapto. Mudah-mudahan dia bisa membebaskan kamu, jawab Aji.

                “Matur nuwin, Lik.”

                “Baik, aku akan menghadap Suprapto. Mudah-mudahan ia ada di ruangannya.”

Aji pun meninggalkan Baskoro. Dari ruangan itu, pandangan Baskoro terus mengikuti Aji hingga akhirnya menghilang di belokan ruangan.
Tapi, hei, Baskoro melihat seseorang yang sedang berjalan di kejauhan sana. Meski hanya sebentar melihatnya, Baskoro sangat mengenal sosok itu.

                “Krisno? Mengapa dia ada di sini?”

                

Senin, 03 Februari 2014

Asmaradana Terlarang (18)

Hawa gerah menyelimuti ruangan kecil itu. Beberapa kali Baskoro menyeka keringat yang mengalir di wajahnya. Entah mimpi apa semalam, tiba-tiba saja ia harus mengalami kejadian yang tak dimengertinya sore tadi.

Tiba-tiba di tengah perjalanan pulang, ia dihentikan oleh seorang polisi. Setelah melalui tanya jawab singkat yang tak juga memberikan kejelasan mengenai kesalahan apa yang telah dilakukan Baskoro, ia akhirnya dibawa ke kantor polisi.

Hari mulai malam di bulan Agustus yang gerah itu. Sugiri dan Aji datang ke kantor polisi untuk menjenguk Baskoro. 


                “Jadi sampai sekarang kamu belum tahu salahmu apa?” tanya Sugiri.

                “Iya Pak’e. Polisi yang menangkapku tadi cuma ngomong kalo ada laporan yang mencurigai saya terlibat kelompok kejaharan. Kejahatannya apa, tadi tidak dijelaskannya. Saya diminta ikut dulu ke kantor untuk diperiksa,” jawab Baskoro.

                “Lha kok aneh sekali.”

                “Iya aneh. Sampai sekarang masih belum juga ada petugas yang datang untuk menjelaskan hal itu.”

Aji yang dari tadi diam, akhirnya ikut bergabung berbicara dengan anak dan mertua itu.


                “Ini sudah malam. Sebaiknya kamu pulang dulu, Giri. Biar istri dan kedua anakmu di rumah tidak khawatir. Jelaskan saja Baskoro baik-baik saja. Aku disini yang nanti ngurusi masalah Baskoro,“ kata Aji.

                “Nanti saja, Ji. Biar aku tahu permasalahannya dulu, baru aku akan pulang,” jawab Sugiri.

                “Tapi ini sudah malam, dan sampai sekarang juga belum ada kejelasannya. Kasihan keluargamu di rumah, sebaiknya kamu pulang dulu dan bisa kembali besok pagi.”

“Ya sudah kalo begitu. Semoga kedaannya baik-baik saja. Aku pamit dulu.”

Sugiri pun meninggalkan ruangan itu dan tinggallah Aji dan Baskoro. Tak lama, datanglah seorang petugas bertubuh ramping dan berpakaian seragam.

                “Selamat malam,” sapa pria berseragam itu.

                “Selamat malam,” jawab Aji dan Baskoro hampir bersamaan.

                “ Baskoro..., “ lanjut petugas.

                “Saya, Pak,” jawab Baskoro. “Mohon penjelasannya mengenai permasalahan ini, Pak. Saya melakukan kesalahan apa?”

                “ Sabar dulu. Saya akan menanyai dan menulis data-data pribadi. Nanti ada petugas yang akan menjelaskan apa yang Baskoro tanyakan tadi.”

Pria berseragam itu pun mengajukan sejumlah pertanyaan dan menulis jawaban yang dikatakan Baskoro pada selembar kertas.

Beberapa menit kemudian datang pria berseragam lainnya. Tubuhnya lebih berisi dan wajahnya lebih berumur dibanding petugas yang datang sebelumnya.

                “Selamat malam Ndan,” kata petugas pertama sambil memberikan hormat.

                “Malam. Sudah selesai data-datanya?”

                “Sudah, Ndan.”

Petugas yang lebih muda itu pun menyerahkan kertas di tangannya, lalu keluar meninggalkan ruangan. Dan tugas berikutnya dilanjutkan oleh petugas kedua itu.


                “Selamat malam. Aji?” kata petugas itu.

                “Selamat malam. Eh..., “ jawab Aji sedikit kebingungan mendengar namanya disebut.

Petugas itu melepas topi seragamnya, dan kelihatanlah seluruh wajahnya.

                “Oh, Suprapto ya?” tanya Aji. Keduanya pun saling berjabat tangan dan tertawa hangat. Seperti dua orang sahabat lama yang baru saja bertemu setelah sekian lama tidak berjumpa.

                “Piye kabare, Ji? Masih manggung kethoprak?”

                “Apik. Iya, masih main. Lha keahlianku kan cuma kethoprak,” jawab Aji sambil tertawa. “Eh, anu. Ini Baskoro, ponakanku yang juga main kethoprak.”

                “Ponakanmu?”

                “Oh, memang bukan ponakan asli. Tapi aku memang sudah menganggap anak-anak muda di kelompok kethoprak sebagai ponakanku sendiri. O ya, aku mau tanya soal Baskoro. Kenapa bisa ditangkap?”

Sesaat petugas yang bernama Suprapto itu terdiam.

                “Begini. Kamu kan tahu keadaan saat ini. Hampir di semua wilayah di Jawa saat ini sedang gencar-gencarnya ditingkatkan pengamanan.”

Kembali susana hening. Suprapto mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Tak lama sekepul asap meluncur keluar dari hembusan mulutnya.

                “Negara sedang melindungi rakyatnya dari ancaman kejahatan. Rampok, begal, gali, preman, semua yang dicurigai sebagai pelaku kejahatan akan dibersihkan. Semua demi kemananan masyarakat.”

                “Tapi apa hubungannya dengan penangkapan Baskoro? Dia bukan rampok, begal, gali atau preman kayak yang kamu katakan itu. Dia orang baik”

Suprapto tersenyum singkat. Ia tidak langsung menjawab pertanyaan yang diajukan Aji.

                “Sekali lagi aku katakan bahwa keamanan masyarakat sedang menjadi perhatian polisi. Kamu pasti sudah mendengar berita soal preman-preman yang tiba-tiba menghilang. Mereka yang kerap mabuk, bertato atau yang sering meresahkan masyarakat, jangan berharap akan dapat tingggal tenang. Status Baskoro masih diperiksa. Dan karena itulah ia ada disini.”

                “Diperiksa? Karena apa?”

Suprapto kembali menghembuskan asap rokok.

                “Baskoro,” kata polisi itu. “Coba buka kaosmu.”

Baskoro menuruti perintah polisi itu. Ia pun melepaskan kaos yang dikenakannya. Tubuhnya yang ramping pun terlihat.

                “Coba kamu hadap ke kanan,” lanjut Suprapto.

Baskoro pun menghadap ke kanan menuruti perintahnya.

                “Apa yang ada di pinggangmu itu?” tanya Suprapto. “Mengapa ada tato di situ?”

Baskoro kebingungan dengan pertanyaan itu. Sementara Aji terlihat terkejut melihat tato kecil yang terdapat di pinggang Baskoro.


                “Baik, aku keluar dulu. Besok pagi pemeriksaan dilanjutkan,” kata sang polisi.

Asmaradana Terlarang (17)

Beberapa potong pakaian sudah dimasukkan Sundari ke dalam tas hingga membuat tas itu hampir penuh. Namun masih saja ada beberapa pakaian lagi yang masih ada di luar dan perlu dimasukkan. Juga beberapa benda lain miliknya yang nampaknya bakal membuat tas itu penuh sesak.

Besok sore Sundari akan ke Pati, menyusul Satriyo yang sudah duluan di sana. Sudah cukup lama Sundari tidak pulang ke kampung halamannya itu. Pulang kampung bukanlah sesuatu yang menggembirakan bagi Sundari, seperti yang dirasakan oleh kebanyakan orang. Ada rasa cemas yang selalu membayanginya setiap kali ia pulang. Rasa cemas yang entah sampai kapan bisa dilepaskannya.

Rasa cemas ketika ia harus bertemu dengan orang-orang di desanya. Atau ketika ia menghadapi pikirannya sendiri yang masih saja belum bisa lepas dari bayang-bayang masa lalunya. Rasa cemas yang kadang berubah menjadi rasa takut yang teramat luar biasa bagi Sundari.

Semua pakaian dan beberapa barang lain masuk juga ke dalam tas. Tapi Sundari teringat masih ada satu barang yang belum dimasukkannya. Ia pun membuka lemari. Diambilnya sebuah buku harian miliknya. Namun ia sejenak ragu, apakah barang itu perlu dibawanya atau tidak.

Dan buku itu diletakkannya saja di atas meja yang ada di dekat lemari. Sundari pun duduk di tepi ranjangnya. Dinyalakannya radio dan sebuah lagu era 90-an mengalun lembut, suara alto yang merdu mengalir dari pita suara Iga Mawarni.

Entah mengapa hatiku
Kini ku ingin sendiri
Tak ingin aku berkawan lagi
Selain denganmu

Sejak pertama bertemu
Hatiku mulai resah
Gelisah menyapa
Rindu yang menggoda
Di hatiku ini

***

Matahari berada di sisi barat langit Desa Kemiri, panasnya sudah mulai berkurang. Angin sore perlahan bertiup. Dua wanita kakak beradik masing-masing menggenggam sapu lidi,  membersihkan halaman depan sebuah rumah. Daun-daun kering yang  berserakan mulai terkumpul di pojok halaman.

                “Akhirnya selesai juga nyapunya,” kata Sutari sambil menyeka keringat yang melumuri dahinya.

               “Sekalian ambil korek di dapur, Dik. Biar sampahnya langsung dibakar sekarang,” timpal Sundari. Tanpa berkomentar, Sutari bergegas menuju ke dapur mengambil korek api. Sementara Sundari berjalan menuju bangku panjang yang ada di depan rumah, lalu duduk melepas lelah di sana menikmati angin sore yang cukup segar dan menghilangkan hawa gerah di tubuh.

Dari dalam rumah, Sutari keluar menuju pojok halaman. Dibakarnya tumpukan daun kering. Asap tipis mulai mengepul. Lalu ia berjalan menuju bangku dan duduk di samping kakaknya sambil tetap mengawasi sampah yang sedang dibakarnya.

***

Ataukah semua ini
Karena aku kasmaran
Bagaimanakah cara aku untuk menghindarinya
Ataukah mungkin aku telah jatuh cinta

Refrein lagu Kasmaran baru saja berakhir. Lagu-lagu nostalgia terus terdengar dari radio, dan sepertinya mampu membawa angan Sundari ke masa-masa lalunya.

Masa lalu. Dua buah kata yang jika bisa Sundari ingin hapuskan dari ingatannya, walau ia tahu pasti itu sukar bahkan mustahil. Jejak yang ditinggalkan oleh masa lalu itu begitu perih dan membekas di hatinya.

Waktu terus beranjak. Malam terus menggelap. Sundari mematikan radionya, dan membaringkan tubuh lelahnya di atas ranjang. Tubuh yang semakin menua dan lelah oleh beratnya beban hidup. Kehadiran Satriyo mungkin satu-satunya hal yang bisa sedikit mengurangi beban itu. Ah, sudahlah. Sundari  segera memejamkan mata, walau tidak bisa langsung terlelap.

***


“Jam berapa sekarang?” tanya Sundari.

“Lima lebih. Hampir setengah enam,” jawab Sutari.

“Kok Mas Bas belum pulang ya.”

“Wah, saya juga mau nanya itu. Mmm ... tadi Mas Bas apa bilang mau pulang telat atau gimana Mbak?”

“Nggak bilang apa-apa. Lha memang siang tadi Mas Bas mau pergi ke rumah Pak Lik Aji. Tapi katanya cuma sebentar saja, terus langsung pulang.”

“Apa mungkin dari sana Mas Bas latihan dulu sama kelompok kethopraknya?”

“Ndak tau kalo itu. Tapi kayaknya sih ndak ke sana, soalnya minggu-minggu ke depan masih belum ada kegiatan manggung. Mmm ... Kok perasaanku agak ndak enak ya.”

Sementara kakak beradik Sundari dan Sutari masih berbincang, dari jauh nampak ayah mereka datang dengan sepeda. Tak seperti biasanya, kali ini lelaki itu juga agak telat pulang dari berjualan di pasar.

“Tumben telat, Pak’e?”

“Eh, anu. Mmm...  Emak kalian dimana?”

“Ada di dalam.”

Emak muncul dari dalam rumah, bergabung dengan ketiga orang.

                “Ada apa, Pak? Kok kelihatan gugup begitu.”
            
             “Ini. Tadi sepulang dari pasar aku lihat ada ramai-ramai di balai desa.”

“Ramai-ramai apa, Pak’e?

“Aku tanya sama orang-orang di situ. Katanya baru saja Baskoro dibawa ke kantor polisi. Entah ada masalah apa ...”


“Mas Bas ditangkap polisi? Ada apa Pak’e?” tanya Sundari terkejut mendengar kabar tentang suaminya itu.

Minggu, 02 Februari 2014

Asmaradana Terlarang (16)


Sebuah perahu kayu yang berukuran tidak terlalu besar tampak di kejauhan sana bergerak perlahan menuju bibir pantai. Sayup terdengar suara mesin perahu yang berbaur dengan suara ombak. Tampak tiga orang ada di atas perahu tersebut, satu di antaranya adalah wanita. Matahari sudah berada di langit barat, dan sepertinya tak lama lagi akan segera tenggelam.

Dan tak berapa lama kemudian perahu itu pun tiba di tepi pantai.

“Sekarang kita sudah sampai. Ini yang namanya pulau karimun jawa,” kata salah seorang pria yang umurnya sekitar empat puluhan.

“Wah, bagus sekali. Rasanya seperti mimpi saja, “ucap Sundari.

“Nah, kalian silakan turun. Boleh jalan-jalan sebentar di sekitar sini, tapi jangan jauh-jauh. Aku langsung ke rumah yang itu buat beres-beres dulu.”

“Baik, Pak Slamet. Aku dan Sundari mau menikmati suasana sore di pantai ini. Nanti kami segera menyusul, “jawab Baskoro.

Dan pria yang bernama Pak Slamet itu pun bergegas meninggalkan Baskoro dan Sundari, dua sejoli yang baru saja menjadi pengantin beberapa hari yang lalu tersebut.

“Benar-benar indah pulaunya, Mas Bas!”

“Aku juga ndak menyangka ada tempat seindah ini. Seharian di atas perahu, rasa lelahnya kayaknya langsung hilang begitu sampai disini.”

“Iya .... Tapi kok Mas Bas bisa punya rencana datang ke sini?”

“Aku? Hahaha ... Wah, ini bukan rencanaku. Lik Aji yang mempersiapkan semua acara bulan madu kita di pulau ini. Sebenarnya aku sudah menolak, tapi Lik Aji memaksa. Dan kalau dia sudah memaksa kayak gitu, aku ndak berani membantahnya.”

“Ooo ... “

“Yo wis, yuk kita duduk di bawah pohon kelapa itu!”

Keduanya pun berjalan beriringan, bergandengan tangan menuju salah satu pohon kelapa yang ada di pantai itu. Kedua pasang kaki mereka pun melangkah dan meninggalkan jejak di pasir-pasir berwarna putih dan lembut. Baskoro kemudian duduk bersandar pada batang pohon. Sementara istrinya duduk merapat di sampingnya sambil menyandarkan kepalanya di pundak pemuda berambut gondrong itu.

Angin senja bertiup perlahan, menyibak daun-daun kelapa yang kemudian saling bergesek dan berdesik. Camar-camar laut sesekali masih terlihat terbang berputar-putar di atas laut, bersuit bersahutan dan sesekali menukik tajam ke air menangkap ikan buruannya. Sementara gulung demi gulung ombak susul-menyusul berkejaran menghampiri tepian pulau karimun.


“Lihat matahari di sana, Ndari!” tanya Baskoro sambil membelai rambut Sundari.

“Iya, Mas. Ada Apa dengan mataharinya?”

“Apa yang akan kamu katakan tentang matahari itu?”

“Hmmm ... apa ya? Bulat ...”

“Sebulat cintaku padamu!”

Sundari tersenyum mendengar perkataan suaminya yang tiba-tiba itu.

“Iya bulat. Selain bulat juga merah, Mas!”

“Semerah tekadku juga untuk membahagiakanmu!”
Sundari tertawa kecil.

“Benar itu Mas?”

“Lho, kamu ndak percaya...”

“Percaya kok, Mas Bas. Percaya .... Mmm, ... aku suka warna langitnya. Kuning keemasan, bercampur merah, jingga. Cantik, pokonya cantik sekali!”

“Sama seperti kamu. Cantik sekali,” sahut Baskoro sambil mendaratkan sebuah kecupan di kening Sundari.

Sundari yang tidak menyangka akan mendapatkan perlakuan itu, serta-merta langsung terkejut. Dan wajahnya pun sontak merona merah.

“Ah, Mas Bas. Jadi malu ah ...”

“Malu? Malu sama siapa? Lha wong ndak ada orang dari tadi. Cuma kita berdua saja di sini.”

“Lha nanti kalo dilihat Pak Slamet, apa ndak malu?”

“Memang kenapa kok malu? Pak Slamet pasti bisa memaklumi. Lha wong dia juga tentunya pernah muda, sama seperti kita”

Keduanya terus berbincang sambil menikmati indahnya pantai karimun jawa. Matahari sudah separo lingkaran tenggelam di laut sebelah barat. Perlahan semakin turun, hingga akhirnya menghilang di balik cakrawala. Hanya sisa-sisa cahaya merah jingga yang masih menghiasi langit.

Dan tak jauh dari tempat mereka bercakap-cakap itu, nampaklah sinar lampu minyak yang menerobos keluar dari jendela sebuah rumah. Rumah yang terbuat dari kayu yang tak seberapa besar ukurannya. Beberapa saat kemudian seorang lelaki empat puluhan keluar dari pintu rumah.

“Baskoro, Sundari. Ayo masuk sini! Hari sudah mulai gelap ini ...”

“Iya Pak Slamet,” jawab Baskoro dan Sundari hampir bersamaan.

Lalu keduanya berjalan menuju rumah itu.


Asmaradana Terlarang (15)


“Halo, sugeng ndalu. Selamat malam, Mbak Ndari. Apa kabarnya, Mbak?”

“Kabar baik. Dik Tari juga baik kan?”

“Iya, baik. Pak’e juga baik.”

“Yo syukur kalau begitu. Satriyo bagaimana, ndak ngrepoti kan?”

“Ndak kok, Mbak. Lha aku malah seneng ada Satriyo di sini, bisa buat teman ngobrolnya Bagus. Kalau ndak, wah, tiap hari Bagus pasti keluyuran ndak jelas sama teman-temannya.

“Ya apik kalau gitu...”

“O iya, kapan Mbak Ndari bisa ke sini? Jangan terlalu sibuk kerja, terus lupa sama keluarga disini.”

“Kayaknya minggu depan ke Pati. Kebetulan lagi sepi order, jadi atasanku ngasih cuti.

“O, yo syukur. Nanti aku mau ngabari Pak’e, pasti seneng.”

“Yo wis, Dik Tari. Sudah dulu ya. Sampai ketemu minggu depan. Selamat malam ...”

“Selamat malam.”

Sundari mengakhiri pembicaraan telepon dengan adik perempuannya. Lalu dilanjutkannya kembali membuka album foto yang sudah sekian tahun jarang dilihatnya. Matanya terpaku pada sebuah foto yang gambarnya sudah meluntur. Foto pernikahannya dulu, yang membuat perasaannya campur aduk antara gembira dan juga sedih.  Ah, masa-masa itu ...

***

Suara musik jawa mengalun lembut. Sebuah halaman yang cukup luas, dihiasi pernik-pernik khas dengan beraneka bunga dan janur. Dua tenda besar yang ada sepertinya tak pernah sepi oleh para tamu yang datang di pesta pernikahan itu. Sepasang muda-mudi yang duduk di pelaminan dengan pakaian pengantin adat jawa yang terbuka pada bagian atasnya tak henti-hentinya tersenyum lebar menerima ucapan selamat dari tamu-tamu tersebut.

“Wah, yang pria ngganteng. Yang wanitanya juga ayu,” kata salah seorang tamu.

“Terima kasih, Mbakyu” jawab Sundari dan Baskoro hampir bersamaan.

“Iya, kalian serasi banget. Sudah mirip raja dan ratu saja. Pokoknya klop,” lanjut tamu tersebut.

“Ah, bisa saja Mbakyu ini,” kata Sundari.

“Coba kalau aku belum kawin, pasti aku yang pertama ngantri jadi istrinya Baskoro.”

“Haha... “ Sundari cuma bisa tertawa. Sementara Baskoro  tersenyum malu dibuatnya.

Alunan musik jawa terus terdengar. Para tamu terus datang silih berganti di malam yang penuh dengan sukacita itu. Para laden begitu sibuk membawa baki yang berisi bermacam hidangan atau mengambil piring dan gelas yang kosong dari meja-meja.

Dan sejenak suasana sedikit riuh ketika Pak Kades dan istri datang. Para penyambut tamu pun segera berdiri dan memberi jabatan tangan kepada sepasang tamu kehormatan tersebut.

“Sugeng rawuh, Pak!”

Pak Kades dan istrinya memberikan senyum  kepada orang-orang yang menyambutnya. Lalu keduanya berjalan menuju pelaminan.

“Sugeng rawuh, Pak!” sambut Sugiri dengan senyum lebarnya.

“Wah, selamat ya. Selamat!” kata Pak Kades menjabat tangan Sugiri dan istrinya. Bu Kades pun mengikuti menjabat tangan kedua orang tua Sundari itu.

“Matur nuwun Pak. Monggo dinikmati hidangan ala kadarnya,” Sugiri menjawab dengan sumringah.

“Wis, tenang saja. Boleh bungkus apa tidak ini?” gurau Pak Kades.

“Boleh-boleh. Haha ... Tapi tunggu, biar difoto dulu ya Pak!”

Pak Kades dan istrinya kemudian mengambil posisi. Sejurus kemudian juru potret mengabadikan peristiwa itu. Setelah difoto, Pak Kades dan istri bergerak menyalami Baskoro dan Sundari. Dan terakhir menyalami sepasang pria-wanita paruh baya yang berada di paling ujung.

“Selamat ya! Ini ibu bapaknya Baskoro ya?” tanya Pak Kades.

“Iya, saya ibunya Baskoro.“

“Kalau saya pamannya. Baskoro sudah ditinggal bapaknya sejak kecil.”

“Oh, maaf ... “ Pak Kades berkata lirih.

“Ndak apa-apa, Pak.”

***

Semakin malam, keriuhan mulai berkurang. Kesibukan tak terlalu terlihat seperti beberapa jam sebelumnya.  Di pelaminan, tingggal Sundari dan Baskoro berdua saja. Kedua orang tua Sundari, ibu dan paman Baskoro sedang masuk sebentar ke dalam rumah.

Hampir jam sembilan ketika di depan sana datang empat pemuda datang ke pernikahan itu. Pemuda-pemuda desa seumuran kedua mempelai, yang sudah sangat dikenal oleh Sundari. Setelah bersalaman dengan para penyambut yang sudah tampak kelelahan, para pemuda itu pun mendekat ke pengantin.

Keempatnya mulai mengulurkan tangan untuk memberikan selamat kepada mempelai. Tiga orang pertama tampak dengan cepat menjabat tangan Sundari dan Baskoro. Namun pemuda terakhir agak sedikit kikuk berdiri di hadapan Sundari dan Baskoro.

“Kok datangnya agak malam, Mas Krisno?” tanya Sundari.

“Oh, iya ... tadi ada perlu ....” jawab Krisno kikuk. Sesekali ia memandang wajah Sundari, sesekali menunduk.

“Oooh begitu”

“Iya... Eh, selamat ya ... “ Krisno pun mengulurkan tangannya. Sundari pun menyambut tangan Krisno dan menjabatnya.

“Terima kasih, Mas”

Dan Krisno pun bergerak ke arah Baskoro. Kali ini ia malah tidak berani memandang mata Baskoro. Diulurkannya tangannya dengan kaku.

“Selamat,” kata Krisno dingin.

“Terima kasih,” jawab Baskoro.

Lalu dilepaskannya jabat tangan itu. Krisno masih saja tidak mau memandang Baskoro secara langsung. Sedari tadi ia hanya melihat bagian leher ke bawah saja. Baskoro terheran-heran melihat sikap anak petinggi desa itu.

Krisno hendak bergerak meninggalkan pelaminan, menyusul ketiga temannya yang sudah meinkmati hidangan di meja yang berada tak jauh dari situ. Namun tiba-tiba saja Krisno terkejut ketika melihat suatu tanda yang hampir saja tidak terlihat olehnya. Tanda pada pinggang kanan Baskoro yang nyaris tak nampak karena tertutup pakaian pengantin.

“Tato?”


Asmaradana Terlarang (14)


“Krisno!”

“Nggih, Pak. Ada apa?”

Krisno pun datang menghampiri. Kemudian duduk di samping bapaknya itu.

“Aku menerima ini. Satu lagi buat kamu,” kata petinggi desa itu sambil menunjukkan  dua lembar kertas yang agak tebal.

“Undangan? Dari siapa, Pak? Siapa yang mau menikah?”

“Coba kamu baca sendiri.”

Krisno pun membuka surat undangan itu. Begitu membaca nama yang tertulis di atas kertas berwarna putih itu, mendadak air mukanya menjadi muram.

“Ndari?” kata Krisno pelan, entah ia bertanya kepada Bapaknya atau kepada dirinya sendiri.

“Jadi sekarang Sundari sudah menentukan plihannya. Dia sudah memilih siapakah pria yang akan menjadi suaminya.”

“Eh... iya”

Sejurus kemudian, perbincangan antara kedua laki-laki itu berubah hening.

“Aku mau tanya ke kamu. Kenapa kamu tidak bisa mengambil hati Sundari? Padahal aku berharap dia bisa jadi mantuku.”

“Emm, entahlah Pak. Krisno sendiri sebenarnya sudah berusaha mendekati dia. Tapi Sundari selalu menghindar dan rupanya lebih memilih yang lain, pemain kethoprak keparat itu!”

“Apa kamu bilang??!!” tanya Pak Kades sedikit kaget. “Kata-kata apa yang keluar dari mulutmu itu??!!”

“Oh maaf, Pak. Tapi memang sejak dari awal Baskoro selalu menjadi penghalang untuk aku bisa mendapatkan Sundari. Dan ini yang membuatku jengkel.”  Kemarahan terlihat dari raut wajah Krisno.

“Kamu boleh merasa jengkel. Tapi tak sepantasnya kamu menyalahkan siapa pun! Dan tak sepantasnya juga aku mendengar kata-kata yang tidak terhormat yang baru saja kamu ucapkan!”

“Maaf, Pak ...”

“Sudahlah, kamu jangan bersikap sebodoh itu. Mulai sekarang sebaiknya kamu mencari wanita lainnya untuk jadi istrimu.”

“Baik, Pak ...”

“Aku juga kecewa kamu tidak bisa mendapat Ndari, tapi sudahlah. Masih banyak wanita di desa ini yang cantik dan pintar, meski tak seistimewa Ndari.”

“Hhhh...,” Krisno menghela nafas dalam-dalam. “Baik, Pak”

“Sekali lagi aku ingatkan agar kamu bisa menjaga kehormatan keluarga kita. Bapak tidak ingin kamu bersikap atau bertindak yang bukan-bukan dan sembrono.”


***

“Dik Tari, kalau sayurnya sudah matang jangan lupa kompornya dikecilkan saja.”

“Iya, iya Mbak Ndari. Jangan kuatir! Biar begini, adikmu ini juga lebih pintar masak kalau dibanding Mbak!”

“Ee halah, jangan sok ya. Biar aku jarang masak, tapi jangan anggap aku ndak bisa buat masakan yang enak. Coba lihat, bandeng goreng yang lagi aku buat ini pasti lebih enak dibanding buatanmu.”

“Hihihi... Nah itu Mbak Ndari ngaku sendiri kalau jarang masak. Kalau cuma nggoreng bandeng, semua orang juga bisa. Eh, ati-ati gosong bandengnya!”

“Tenang, ndak bakal gosong.”

“Makanya Mbak, dari dulu kalau diminta tolong bantu-bantu masak, jangan menolak. Alasan lagi sibuk lah, mau berangkat nari lah. Nah, sekarang giliran mau kawin, baru sibuk belajar masak. Hihihi...”

“Kamu kok malah meledek gitu.”

“Bukan bermaksud gitu, Mbak. Sepintar apa pun seorang wanita, mau pintar sekolahnya, mau pintar nari, pintar ini itu, tapi kalau ndak bisa masak ya percuma saja.”

“Halaaaah, sok tau ah kamu. Ndak usah diajari aku juga tahu. Lha kamu, selain masak bisanya apa?”

“Bisa apa ya? Mmmm ... Nyanyi juga bisa”
“Nyanyi? Coba aku mau dengar!”
“Coba ya...”

Sutari mematikan kompor, sayur yang dibuatnya sudah matang. Lalu ia menegakkan badannya dan menyanyi

Gegaraning wong akrami
Dudu bandha dudu rupa
Amung ati pawitane
Luput pisan kena pisan
....

Belum selesai lagu itu dinyanyikan, Sundari sudah menyelanya

“Eh, kamu ndak boleh nyanyi lagu ini.”

“Lho, kok ndak boleh?”

“Cuma Mas Baskoro yang boleh. Cuma dia yang cocok nyanyi lagu ini. Kalau kamu yang nyanyi, ndak pas. Suaramu mblero. Wagu, jelek. Hahaha..”

Perbincangan antara dua kakak beradik itu terpaksa terpotong sebentar, begitu ibu mereka masuk ke ruang dapur itu.

“Ini kok dari tadi ribut-ribut di dapur, ada apa tho?”

“Ndak ada apa-apa, Mak’e. Biasa, cuma bercanda saja,” jawab Sutari.

“Iya, ndak ada-apa Mak’e,” timpal Sundari

“Sudah selesai masaknya?”

“Sudah,” jawab Sundari dan Sutari hampir bersamaan.

“Kalau sudah, cepet dibawa ke meja makan. Bapakmu sudah nunggu dari tadi

Mak’e keluar meninggalkan dapur. Sundari dan Sutari saling berpandangan sebentar, sejurus kemudian keduanya tertawa kecil. Lalu mereka keluar membawa piring berisi ikan bandeng goreng dan mangkuk berisi sayur bayam menuju meja makan. Dan di sana, kedua orang tuanya sudah menunggu mereka.


Asmaradana Terlarang (13)


“Ndari, tunggu!!”

Suara yang tak asing bagi Sundari memanggilnya. Terpaksa Sundari menghentikan laju sepeda yang tengah dikendarainya.


“Oh, Mas Krisno.”

“Mau kemana? Bisa minta waktu sebentar?”

“Ini, mau ke pasar. Ada apa, Mas?”

“Aku mau nanya. Boleh?”

“Iya, mau nanya apa? Kok kelihatan bingung begitu?”

Krisno sedikit gugup, entah mau dari mana ia akan memulai pertanyaannya.


“Bener berita itu?”

“Berita apa maksudnya? Mbok yang jelas dan lengkap kalau nanya.”

“Itu, aku dengar kemarin kamu dilamar sama pemain kethoprak itu. Bener?”

“Oh, soal itu. Kemarin Mas Baskoro memang datang ke rumah.”

“Dan...?

“Ya bertamu dan ngobrol sama Bapak. Kalau soal lamaran, belum.”

“Belum? Jadi nantinya Baskoro bakal melamar kamu? Kapan?

Sundari tersenyum kecut dan merasa tidak nyaman mendengar pertanyaan yang diucapkan oleh Krisno.


“Soal kapannya saya belum tahu pasti. Memang kenapa kok nanya soal ini, Mas Kris?”

“Iya, tapi Baskoro baru beberapa minggu di desa ini. Apa kamu sudah mengenal betul?”

“Mas Baskoro memang belum lama di desa kita. Tapi orangnya baik.”

“Aku belum tahu apa dia baik atau ndak. Tapi kamu kan tahu, dia bukan warga desa ini. Siapa orang tuanya, bagaimana asal-usulnya...”

“Mas Kris,” Sundari memotong. “Maaf, saya ndak tahu apa maksud perkataan Mas!”

“Maksudku, kenapa kamu mau sama Baskoro...”

“Mas! Saya ndak suka mendengar pertanyaan ini” lagi-lagi Sundari memotong perkataan Krisno. “Mas Baskoro itu orang baik. Dan saya suka dia. Ini soal pribadi dan saya ndak mau Mas Kris terlalu jauh mencampuri.”

“Bukannya aku mau ikut campur. Tapi kenapa kamu ndak pilih saja orang yang sama-sama berasal dari desa ini. Tidak adakah di desa ini orang yang baik dan yang sudah jelas siapa dan bagaimana keluarganya?”

“Tunggu dulu. Apa Mas Kris cemburu?”

Krisno gelagapan dan terkejutmendengar pertanyaan Sundari. Seperti gelegar petir yang menyambar di siang hari saja.

“Ehh... Baik, aku mau terus terang saja. Aku naksir kamu. Tapi kamu selalu saja menghindar kalau aku ajak bicara agak lama.”

Sundari diam saja. Sepertinya dia sengaja tidak mau segera menanggapi perkataan Krisno yang baru saja didengarnya itu. Atau mungkin saja perkataan Krisno memang tidak perlu ditanggapi.

“Apa menurutmu aku bukan orang baik?”

“Aku ndak pernah bilang begitu, Mas!”

“Tapi kenapa kamu lebih memilih Baskoro daripada aku? Lagipula kamu juga tahu siapa diriku dan keluargaku.”

“Aku suka dan kagum saat pertama kali bertemu Mas Baskoro. Aku tidak bisa menjelaskan apa yang aku rasakan. Mungkin ini yang namanya cinta.”

“Cinta? Dan kamu hanya menganggap perasaanmu itu sebagai satu-satunya alasan untuk memilih dia?”

“Mas Kris, jangan pernah menyalahkan perasaan yang datang kepadaku dan aku sendiri juga tidak bisa menolaknya. Apakah salah jika aku menjadikan perasaan ini menjadi alasan untuk memilih Mas Bas?”

“Tapi setidaknya kamu juga pertimbangkan hal-hal lain. Apalagi ini menyangkut masa depan dan kebahagiaanmu.”

“Hal lain seperti apa yang Mas maksud?”

“Tidak cukup hanya cinta untuk menikah, Ndari. Apakah dengan semata-mata cinta akan menjamin kebahagiaan?”

“Aku ndak mengerti maksud Mas Kris.”

Kedua orang itu sejenak terdiam. Krisno menghela nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan kembali perkataanya.

“Apa kamu yakin kalau Baskoro bisa membuatmu bahagia? Dia hanyalah pemain kethoprak yang belum tentu tiap hari bisa tampil di atas panggung dan mendapatkan uang untuk menghidupi keluargamu.”

“Mas Kris!!” Sundari berkata dengan nada tinggi. “Aku bukan wanita yang rela menjual perasaannya dan lebih mementingkan uang atau harta! Aku tidak sehina itu, Mas!”

“Oh, bukan begitu maksudku Ndari...”

“Sudah Mas. Aku tidak mau lagi melanjutkan pembicaraan ini. Permisi.”

“Ndari, tunggu dulu ...!”


Sundari tidak menggubris perkataan Krisno yang terakhir dan segera menaiki sepedanya meninggalkan tempat itu. Krisno tidak dapat berbuat apa-apa lagi selain melihat wanita yang disukainya itu semakin menjauh dari pandangannya.

Asmaradana Terlarang (12)

Langit tertutup awan tebal sejak pagi, hal yang jarang terjadi saat musim kemarau bulan Agustus. Jalanan desa yang memang biasanya tak terlalu ramai oleh lalu lalang sepeda atau pejalan kaki, bertambah semakin sepi saja. Warga lebih memilih berada di dalam rumah.
Sebuah rumah yang berukuran besar jika dibandingkan dengan rumah-rumah warga yang lain, tampak di teras samping dua pria sedang berbicang. Dua pria yang adalah bapak dan anak.

“Krisno. Sudah ketemu dan bicara dengan Sundari?”

“Kalau ketemu sih sudah, Pak. Tapi belum sempat bicara panjang lebar.”

“Lha bagaimana tho, katanya kamu suka. Ya cepat diutarakan.”

 “Maunya saya ya begitu, Pak. Tapi Sundari selalu buru-buru mengindar kalau lagi bicara sama saya. Anu..., Bapak sudah bicara dengan orang tuanya Sundari?”

“Kemarin. Tapi ya ndak terlalu lama. Nanti kalau kamu sudah bicara sama Ndari dan dia mau, baru aku yang bicara ke orang tuanya. Jadi biar yang muda ngomong dulu, baru yang tua melanjutkan. Lha kamu mbok ya juga main ke rumahnya sana.”
            
            “Ya, kapan-kapan saja, Pak.”
           
            “Nanti keburu kecantol orang bagaimana?”
       
            “Ah, mbok jangan ngomong begitu, Pak.”

***

Gerimis mulai turun, lembut dan hampir tak terlihat. Dua orang pria berjalan beriring di sisi kiri jalan desa Kemiri.
   
             “Aku perhatikan beberapa hari ini kamu kok kelihatannya dekat sama seseorang. Eh, siapa itu namanya, Bas?”

             “Sundari, Pak Lik. Apa ndak boleh?” jawab Baskoro kepada pria yang lebih berumur di sebelahnya. Keduanya tidak memiliki hubungan keluarga. Namun karena berada di kelompok Kethoprak sekian lama, Baskoro sudah menganggap pria yang bernama Aji tersebut seperti keluarganya sendiri.
              
             “Siapa yang melarang? Ya aku malah setuju-setuju saja. Apalagi kamu sudah dewasa, dan dia juga. Sudah waktunya.”
           
             “Sudah waktunya apa, Pak Lik?”
        
             “Halah, pura-pura tanya. Pura-pura ndak tahu aja kamu, Bas.”

Keduanya pun tertawa bersama.

***


Gerimis lembut masih saja setia meluncur dari langit Kemiri. Hawa yang sejuk sepertinya membuat para warga memilih berdiam diri di rumah, termasuk penghuni salah satu rumah berdinding bata dengan halaman tak seberapa luas beserta balai-balai bambu di depan rumah yang sudah mulai basah oleh gerimis. Dan di dalam rumah, seorang pria duduk di kursi ruang tamu sambil menghisap rokok kesukaannya .


                “Pak’e, mbok ya sudahan dulu merokoknya. Dari tadi kok ndak berhenti”

                “Hmmm...”

                “Ini diajak bicara kok ndak mau menjawab.”

                “Lha kamu sudah tahu kalo aku lagi asyik merokok, malah diajak ngobrol. Mbok ya tunggu dulu sampai habis, Bu. O ya, Sundari mana? Aku mau bicara. Ndari ... sini, Nduk!”

Merasa dipanggil, Sundari pun keluar dari dalam kamarnya.


                “Nggih, Pak’e. Ada apa?”

                “Duduk dulu sini!”

Sundari segera mengambil tempat duduk di sebelah ibunya.


                “Kamu kemarin malam nonton kethoprak?”

                “Nggih, Pak. Ndari suka ceritanya. Bagus banget”

                “Aku ndak nanya soal ceritanya.”

Pak’e menghirup dalam-dalam batang rokok yang ada di tangannya. Sebentar kemudian, kepulan asap pun meluncur keluar dari mulutnya.

***

                “Tapi jangan lama-lama nunggu, Krisno. Kamu tahu kan kalo Ndari itu ayu, cantik. Ditambah orangnya pinter nari dan sopan kalo bicara dengan orang. Tentunya ndak cuma kamu saja yang naksir dia.”

Krisno terdiam saja mendengar bapaknya bicara. Sejenak suasana hening, hanya rintik gerimis yang masih saja enggan berhenti.

                “Lha kok diam saja tho, Kris.”

                “Eh, iya Pak.”

                “Jangan cuma diam. Meski bapakmu ini punya kedudukan di desa ini, tapi aku ya ndak bisa bantu banyak kalau soal ini. Semua tergantung kamu. Ndak mungkin kalo aku terlalu jauh menggunakan kekuasaan atau kedudukanku untuk mencampuri urusan kamu ini.

***

“Kayaknya kamu ada rasa sama Sundari.”

“Iya, Pak Lik. Ndari orangnya pinter, sopan. Aku suka sama dia.”

“Lha bener tho. Aku wis menduga sejak kalian berdua ngobrol kemarin malam.”
            
            “Masa sih, Pak Lik?”
        
             “Kok kamu ndak percaya. Aku ya pernah muda seperti kamu, Baskoro. Kamu sudah pernah ke rumahnya? ”
     
           “Belum. Itu rumahnya katanya yang dekat pos ronda di perempatan sana.”

           “Oo itu. Jadi Ndari itu anaknya Giri?

           “Iya, Pak Sugiri nama bapaknya. Lha Pak Lik kenal?”

          “Sudah lama aku kenal Giri. Lha wong aku sering ketemu dia dari dulu. Ya sudah, kebetulan kalau begitu. Kita mampir saja ke rumahnya. Sudah lama aku ndak mampir ke rumahnya. Sekalian aku ngomong ke Giri kalau kamu suka anaknya.”

                “Tunggu dulu, Pak Lik. Jangan buru-buru ngomongin itu. Aku ndak mau cepet-cepet nikah.”

                “Lho, siapa yang ngomong soal nikah? Aku cuma mau ngomong kalau kamu suka Sundari. Sudah, ayo kesana!”

Aji pun memegang tangan Baskoro erat-erat. Mau tak mau Baskoro mengikuti saja. Keduanya lalu berjalan menuju sebuah rumah dekat pos ronda.

***

                “Kamu sepertinya lagi dekat sama Baskoro. Apa kamu suka?”

                “Anu, Pak’e. Eh, mmm ... Mas Baskoro itu orangnya baik. Enak diajak ngobrol.”

                “Kamu suka?

Sundari terdiam. Ia pun menunduk. Belum sempat  Sundari menjawab, tiba-tiba terdengar ketukan pintu.


                “Kulonuwun”

                “Monggo”

Pintu pun dibukakan oleh Pak’e.

                “Monggo-monggo. Eh, Aji. Tumben main kesini, ada angin apa ini. Piye kabare?”

                “Apik. Lha kamu apik juga kan Giri?

Sementara kedua pria itu bicara, di dalam ruang tamu Sundari terkejut. Bukan karena melihat pria yang sedang diajak bicara oleh bapaknya. Tapi karena Sundari melihat pemuda yang berada di belakangnya, yang tampaknya berdiri kikuk dan serba salah.


                “Ayo, silakan masuk!”

Asmaradana Terlarang (11)


“Wah, tumben sore ini Mbak Ndari dandannya rapi banget. Mau kemana tho, Mbak?” tanya Sutari kepada kakaknya.

“Lha kamu apa ndak tahu kalo nanti ada kethoprak di belakang kantor desa?” jawab Sundari.

“O iya. Nanti ya mainnya?”

“Iya. Mau ikut nonton apa ndak? Ayo barengan!”

“Wah ndak usah lah, Mbak.”

“Lho, kenapa? Apa kamu ndak suka sama kethoprak? Ini kan budaya kita sendiri.”

“Bukannya aku ndak suka, Mbak. Tapi aku malas desak-desakan nontonnya.”

            “Ya makanya berangkatnya agak duluan. Biar nanti dapat tempat di depan. Ayo ikut!”

“Ah, ndak mau. Eh, kok kayaknya Mbak Ndari semangat banget. Jangan-jangan cuma mau lihat pemain kethoprak yang ganteng. Siapa itu ... Mas Baskoro, kan?

“Huss ... ngawur saja kamu.”

Sundari sedikit tersipu malu diledek adiknya.

“Tapi benar kan? Lha wong tahun-tahun  lalu ndak begitu semangat kaya sekarang.”

“Ah, sudah-sudah. Kalau kamu ndak mau nonton, ya biar aku berangkat sendiri saja.”

Sundari pun berjalan meninggalkan rumah menuju kantor desa. Sepanjang jalan terlihat banyak orang yang juga menuju ke kantor desa.

“Mau nonton kethoprak juga ya, Ndari?”

“Eh, Mas Krisno. Iya.”
            
            “Wah, kebetulan. Aku juga mau nonton. Malah dapat kursi yang depan. Kalau kamu mau, nanti duduknya di sebelah aku. Biar bisa jelas dan puas nontonnya.”

“Ndak usah repot, Mas Kris. Lha nanti saya yang ndak enak kalau duduknya di depan. Orang di situ pasti tempatnya tamu-tamu kehormatan. Ndak bebas nontonnya, ndak ada yang bisa diajak ngobrol ngalor-ngidul”

“Ya ndak usah malu, kan aku ada aku yang bisa diajak ngobrol. Iya tho?”

“Ndak usah mas. Matur nuwun.”

“Kamu ini kalau aku bantu kok selalu nolak. Heran. Kenapa, Ndari?”

“Ndak apa-apa kok. Permisi, Mas,” kata Sundari seraya meninggalkan Krisno.

Tak lama pertunjukan kethoprak dimulai. Ceritanya tentang babad Pati, atau sejarah berdirinya Kabupaten Pati.

Dikisahkan tentang kadipaten bernama Paranggaruda yang punya hajat mengawinkan putra tunggal bernama Menak Jasari dengan putri Adipati Carangsoka bernama Dewi Ruyung Wulan. Namun karena Ruyung Wulan tidak mencintai Jasari yang berwajah jelek, Ruyung Wulan pun mencari cara agar bisa mengulur-ulur pernikahan tersebut. Ruyung Wulan minta agar pestanya menampilkan pertunjukan wayang kulit dengan dalang yang terkenal saat itu, yaitu Dalang Soponyono.

Dari dekat panggung Sundari begitu menikmati pertunjukan. Apalagi ketika pemeran Dalang Soponyono berbicara dan memainkan wayang serta menyanyikan tembang-tembang, Sundari terpukau dengannya. Laki-laki yang berparas tenang dengan senyum manisnya itu. Laki-laki dengan sepasang mata lebar dan juga hidung bangir, serta kulitnya yang berwarna sawo matang.

Karena akal-akalan Ruyung Wulan maka pertunjukan wayang itu pun kacau di tengah jalan. Ia lari dari pelaminan dan menjatuhkan diri di pangkuan sang dalang. Terkejut oleh tindakan Ruyung Wulan, maka Ki Dalang Soponyono memadamkan semua lampu yang ada dengan kesaktiannya. Ki Soponyono pun melarikan diri bersama Ruyung Wulan dan kedua adik perempuannya yang bernama Ambarsari dan Ambarwati. Adipati Paranggarudo yang merasa terhina pun memerintahkan pasukan untuk mengejar.

Tak jauh dari tempat Sundari menonton kethoprak, sepasang mata seorang pria yang duduk di kursi depan ikut mengawasi Sundari. Krisno tidak begitu tenang duduk di kursi kehormatan. Perhatiannya terpecah antara mengikuti jalan cerita kethoprak dan mengawasi Sundari.

Dalam pelarian Ki Dalang Soponyono bersama Ruyung Wulan dan kedua adiknya, bertemulah mereka dengan Raden Kembangjoyo, adik dari Panewu Sukmoyono di wilayah Panewon Majasemi. Setelah menceritakan peristiwa yang dialami, Panewu Sukmoyono bersedia melindungi keempat pelarian tersebut.

Singkat cerita, keberadaan Dalang Soponyono diketahui oleh pasukan Paranggaruda. Terjadilah pertempuran hebat  antara pihak Panewu Sukmoyono dengan pasukan Paranggaruda, hingga tewaslah Panewu Sukmoyono. Kematian Panewu Sukmoyono ini membuat Raden Kembangjoyo marah. Kembangjoyo dibantu pasukan Carangsoka berhasil menghancurkan pasukan Paranggaruda. Pertempuran di Majasemi ini memakan banyak korban.

Setelah kemenangan ini, akhirnya Dewi Ruyung Wulanmenjadi istri Raden Kembangjoyo. Raden Kembangjoyo akhirnya diangkat menjadi adipati setelah menggabungkan tiga kadipaten yang sebelumnya terlibat pertempuran, yakni Paranggaruda, Carangsoka dan Majasemi menjadi satu kadipaten Pati. Peleburan ini berhasil menciptakan kerukunan wilayah tersebut. Selanjutnya Kembangjoyo mengajak Soponyono mencari lokasi pemerintahan yang baru dengan membabat hutan Kemiri. Dan akhirnya Kemiri menjadi pusat pemerintahan Kadipaten Pati tersebut.

Pertunjukan kethoprak pun berakhir. Penonton yang tidak hanya berasal dari Desa Kemiri begitu antusias melihatnya. Mereka pun meninggalkan panggung dengan puas.

Dari kursi di depan pangung, Krisno mencoba melihat kembali ke tempat Sundari berada. Namun wanita yang dicarinya tersebut sudah tidak berada di tempatnya semula. Krisno melayangkan pandangannya ke sekeliling tempat itu, namun tetap saja tidak berhasil menjumpai sosok Sundari.

Perlahan Krisno meninggalkan kursinya. Ia berjalan sambil terus memerhatikan sekelilingnya, mencoba menemukan Sundari di antara ratusan orang malam itu. Dan ketika sampai di belakang panggung, Krisno pun berhasil melihat Sundari tak jauh dari tempat Krisno berada.


Dan mendadak hati Krisno menjadi panas. Dilihatnya wanita yang ditaksirnya itu sedang asyik berbincang-bincang begitu akrab di belakang panggung dengan pria yang tak asing lagi, yaitu pemeran Ki Dalang Soponyono itu.