Rabu, 16 April 2014

Jangkrik Genggong

“Maaf, Mbak. Dari tadi saya lihat mbak berdiri di sini terus.”

“Eh, anu. Iya Pak. Saya lagi nunggu orang.”


“Jangan disini. Kasian Mbaknya, bisa sakit nanti.”

***
Jogja. Aku tak dapat melupakannya. Separuh jiwaku sepertinya tertinggal di kota ini, meski hampir dua tahun aku telah pergi ke Bandung dan berusaha melupakan kegagalan untuk menemukan tambatan hatiku. Ah, masa-masa itu ...

Dua tahun lalu sebenarnya ada cowok yang berusaha mendekatiku. Mungkin karena perbedaan usia antara aku dan dia, maka aku pun sengaja mengandaskan perahu asmara itu. Sudahlah, masa lalu tak kan mungkin diputar ulang kembali.

Hampir dua bulan ini aku jadian dengan Asep, pemuda Bandung yang wajahnya mirip vokalis Noah. Aku pertama kali bertemu dengannya akhir tahun lalu. Cukup menggelikan juga cerita waktu itu.

***
“Eh, Neng. Sendirian aja. Mampir sini!”

Aku menengok asal suara itu. Pria muda di balik gerobak berwarna biru Persib dengan tulisan besar berwarna putih: NASI UDUK KANG ASEP.
“Mmm…, ” aku menggumam pelan. Seperti biasa, sok jual mahal.

“Kok cicing wae atuh Neng.”

Aku merasa nggak enak mendengar kalimat itu. Basa-basi pun mau tak mau aku lakukan.

“Iya, Kang,” jawabku singkat.

“Daripada bengong, sumangga dicoba nasi uduknya. Tidak enak uang kembali, Neng.”

Bisa saja nih si penjual nasi uduknya. Ya sudahlah, kebetulan aku agak lapar.

“Boleh. Satu porsi ya Kang.”

“Siyaaap,” kata pria itu dengan mimik jenaka. Aku tersenyum dibuatnya. Dengan cekatan pria itu menyiapkan pesananku, tak sampai dua menit seporsi nasi uduk pun terhidang.

Sejak pertemuan itu, entah kenapa aku jadi sering ingin ketemu dengannya. Sepertinya aku ketagihan, entah ketagihan pada nasi uduk atau mungkin pada penjualnya. Ah, jadi malu nih …

***
Drrrrrrttt… Drrrrtttttt… Drrrrrttttt…

Tiga getaran di meja kecil itu. Sebuah pesan masuk di ponselku.

“Beib aya di manten?”

Ya ampun!! Aku baru ingat kalo sore ini Kang Asep mau berangkat ke Jogja. Katanya mau menghadiri annual gathering tukang nasi uduk se-Jawa dan Madura.

“OTW,” balasku singkat. Pake huruf kapital semua.

Aku buru-buru mencuci muka dan berangkat ke terminal Leuwi Panjang. Motor matic pun ku geber, meliuk-liuk di antara kemacetan jalanan kota kembang.

Huff, akhirnya sampai juga. Dari parkiran motor aku setengah berlari menuju pemberangkatan antar kota. Dari jauh, aku lihat si vokalis Noah melambai-lambaikan tangannya padaku.

“Untung belum berangkat,” kataku tersengal-sengal.

“Masih lima belas menit,” kata Kang Asep.

Aku mengatur nafas. Kuseka keringat yang membasahi dahi.

“Kang… “

“Iya, aya naon?”

“Aku takut perpisahan ini”

Busyet. Entah kenapa tiba-tiba aku berkata demikian. Spontan, nggak terpikir sebelumnya sama sekali. Mukaku memerah, sepertinya.
Kang Asep juga mendadak berubah air mukanya. Namun tak lama ia tersenyum kembali.

“Ah, itu biasa kok Beib. Ibu-ibu sekota Bandung pasti juga nggak rela kalo tahu Akang mau pergi. Kangen sama nasi uduknya Akang.”

“Bukan gitu kang,” kataku pelan. Sejenak aku terdiam menahan kecamuk di dadaku. “Aku takut kehilangan Akang. Aku cinta mati sama Akang.”

“Ah, masa sih?,” kata Kang Asep sedikit meledek diriku. “Akang juga cinta. Sampai mati.”

“Sampai mati?” Aku membalas meledeknya.

“Betul… Aduh, kok malah ngomong soal mati ini.”

 “Ah, hahaha… Emang Akang sudah siapkan pesan-pesan terakhir? Hahaha… “

“Hmmm…,” Kang Asep menggumam. Matanya mulai menyorotkan sifat nakalnya. “Kalo Akang mati duluan, tolong makamnya jangan ditaburi bunga ya Beib.”

“Loh, kenapa Kang?”

“Iya, jangan ditaburi bunga. Kan Akang jualan nasi uduk, jadi lebih baik ditaburi bawang goreng dan kerupuk saja. Hahaha…”

Kami berdua tertawa keras. Lepas. Tak peduli beberapa orang menengok kepada kami.

“O ya, Beib. Dua hari lagi kan palentin. Tunggu Akang pulang ya, pokoknya ada kejutan.”

“Kejutan apa, Kang?”

 “Wah kalo Akang bilang sekarang, bukan kejutan lagi atuh.”

Aku tersenyum kecil. Kami terus berbincang, hingga akhirnya perpisahan tiba. Kang Asep masuk ke bus. Dari dalam terdengar nyanyian bocah pengamen yang makin sayup seiring bus yang bergerak meninggalkanku.

Aku yang dulu bukanlah yang sekarang
Dulu ditendang sekarang ku disayang …



***

Lima lewat sepuluh. Wah sudah pagi. Pulas aku tidur semalam. Aku arahkan mataku ke jendela kereta. Gelap. Lagi mendung mungkin.
Semalam aku putuskan untuk berangkat ke Jogja. Aku sudah sms Kang Asep kalo valentine-an di Jogja saja. Beruntung, Kang Asep setuju.

“Jemput di stasiun tugu jumat pagi,” begitu sms terakhirku semalam, sebelum baterei ponsel habis. Aku lupa bawa powerbank, ponsel terpaksa off.

Lima tiga puluh. Kereta berhenti, di luar masih gelap juga. Aku bergegas turun. Seorang petugas membagi-bagi masker kepada penumpang. Aku lihat sekelilingku. Ah, turun hujan abu.

“Merapi meletus?” tanyaku kepada petugas itu.

“Bukan. Kelud.”


Aku berjalan ke teras stasiun sambil melihat wajah-wajah di sekelilingku. Tak ada si vokalis Noah itu. Ku pakai jaketku. Dan aku putuskan berjalan ke jalan raya di depan sana meski guyuran abu menerpa tubuhku.
Aku berhenti di ujung halaman stasiun. Dari pos jaga di sebelahku terdengar lantunan Waljinah dengan lagu Jangkrik Genggong yang legendaris itu.

Kendal kaline wungu
Ajar kenal karo aku
Lelene mati digepuk
Gepuk nganggo walesane



“Maaf, Mbak. Dari tadi saya lihat mbak berdiri di sini terus.”

Aku dikejutkan oleh suara pria berseragam putih-biru. Entah dari mana ia muncul, tiba-tiba dia ada di sampingku.

“Eh, anu. Iya Pak. Saya lagi nunggu orang.”

 “Nunggu dijemput ya, Mbak? Sebaiknya di dalam stasiun saja. Atau di pos jaga. Jangan disini. Kasian Mbaknya, bisa sakit nanti.”

“Terima kasih, Pak.”

Aku tak menghiraukan saran petugas itu. Barangkali dua tiga menit lagi Kang Asep sampai. Tak apalah menunggu berdiri di sini.

Di persimpangan jalan sana, sepasang pria dan wanita berjalan terburu-buru di tengah-tengah hujan abu. Dari cara jalan mereka, sepertinya sudah berusia lanjut. Keduanya berjalan bergandengan, dan akhirnya menghilang di tikungan. Ah, mesranya mereka …

Waljinah masih terus bernyanyi di pos jaga.
 
Jangkrik upo sobo ning tonggo
Melumpat ning tengah jogan
Wis watake prio jare ngaku setyo
Tekan ndalan selewengan



Dan aku masih menunggu Kang Asep. Menunggu kejutan darinya di hari Valentine ini. Entah berapa lama lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar