Sebuah bus berjalan tak terlalu laju menuju arah timur di jalan tol Jakarta – Cikampek, di antara ribuan kendaraan yang harus
saling berbagi ruang di seluruh lajur jalanan itu. Dua jam lalu bus itu
meninggalkan Tangerang yang akan mengantarkan para penumpangnya menuju
kota-kota di pantura Jawa Tengah: Semarang, Demak, Kudus dan Pati. Jika
perjalanan lancar, 10 jam kemudian bus akan tiba di tujuannya.
Sundari
tak dapat menahan gejolak di pikirannya. Setelah sekian tahun, ia akan
kembali lagi ke kota kelahirannya. Seharusnya ia merasa senang karena
akan bertemu Pak’e, Sutari dan keluarganya, juga Satriyo yang sudah
datang terlebih dahulu. Namun justru kegusaran yang malah kini sedang ia
rasakan. Kenangan-kenangan kelam masa lalunya kini menghampirinya
kembali.
***
Langit
sore sudah mulai kehilangan cahaya di Desa Kemiri. Awan gemawan di atas
sana mulai berpendaran warna kuning jingga. Hawa panas telah berkurang,
dan tiupan angin perlahan memberi rasa sejuk.
Sundari,
Sutari dan kedua orang tuanya tengah berada di depan rumah, duduk di
bangku kayu yang ada di situ. Dari bahasa tubuh dan mimik muka, mereka
terlahit sedang menunggu sesuatu. Atau mungkin seseorang.
“Sudah setengah enam, kok Mas Bas belum sampai ya?” kata Sundari dengan nada cemas.
“Mbok ya sabar, Nduk. Mungkin masih di jalan. Lha namanya jalan kaki, ya pasti ndak bisa cepat sampai rumah,” kata ibunya.
“Bukan
begitu, Mak’e. Meskipun cuma jalan kaki, paling lama juga dua jam sudah
sampai. Lha ini sudah jam segini belum kelihatan,” kata Sundari sambil
memegangi perutnya yang besar.
***
Gubug
kecil itu tersembunyi di tengah rapatnya pohon pisang dan kelapa yang
mengelilinginya. Letaknya yang jauh dari pemukiman memang membuat gubug
itu tidak setiap hari didatangi pemiliknya. Malah sepertinya gubug itu
mungkin sudah lama ditinggalkan oleh yang punya jika melihat kondisinya
yang berantakan.
Sebuah
mobil berada tak jauh gubug itu, tepat di tepi jalan tanah tak terlalu
lebar yang menjadi satu-satunya jalan masuk ke gubug itu dari jalan raya
yang berjarak hampir 1 kilo jauhnya. Sekelompok pria ada di tempat itu,
sebagian berdiri dan sebagian duduk begitu saja di tanah tanpa
beralaskan sesuatu. Sementara satu orang berbadan langsing terlihat
tergeletak di atas tanah, tak bergerak. Kedua tangannya terikat tali.
Dan kepalanya tertutup oleh kain hitam.
“Mau kita apakan dia?” tanya salah satu orang di antara mereka. “Kenapa tidak dihabisi saja sekarang?”
“Jangan sekarang. Tunggu sampai dia sadar dahulu, “ kata seorang yang lain dengan suara agak berat.
“Apa
bedanya saat dia pingsan atau saat sadar? Toh kita bisa lebih mudah dan
lebih cepat menghabisinya saat dia tak berdaya begini. Lalu tugas
selesai”
“Justru itu. Dia tidak akan merasa sakit dan tersiksa jika kita melakukannya sekarang. Tunggu beberapa menit lagi!”
***
“Pak’e tadi pagi sempat ke kantor polisi kan?”
“Iya, aku mampir ke situ sebelum ke pasar. Aku ketemu Baskoro dan dia bilang siang ini bebas. Lalu aku ke pasar dulu.”
“Lha pulangnya kenapa Mas Bas kok ndak dijemput?”
“Pulang
pasar aku ke kantor polisi lagi, mau jemput Baskoro. Tapi dia sudah
ndak ada. Kata petugas di sana, sudah sejam sebelumnya pulang.”
Perbincangan sore itu terhenti. Seseorang dengan sepeda motor datang ke rumah itu.
“Selamat sore, Pak Sugiri,” sapa pria itu.
“Oh selamat sore, Pak Prapto. Mari masuk!”
“Oh tidak usah repot-repot. Saya hanya mampir sebentar,” kata pria berseragam polisi itu. “Baskoro sudah sampai rumah kan?”
***
Perlahan
pria yang tergeletak itu mulai bergerak. Terdengar rintihan dari balik
kain penutup kepalanya itu. Dan tiba-tiba sebuah tendangan mendarat di
perutnya.
“Aaarrrhhh,” teriakannya terdengar.
“Bangunkan dia! Buka tali di tangannya dan penutup kepalanya!”
Lalu
dua orang memegang tubuh pria naas itu, dan membimbingnya dengan kasar
untuk berdiri. Tali pengiat tangannya pun dibuka, juga kain yang
menutupi kepalanya.
“Apa kabar Baskoro?”
Baskoro
mengenal suara itu, suara yang sudah tidak asing baginya. Baskoro tidak
bisa melihat wajahnya karena hari sudah gelap, juga karena masih merasa
pusing di kepalanya.
“Kamu.. “ Baskoro mencoba berbicara kepada orang yang ada di depannya itu.
Namun
tiba-tiba sebuah tinju mendarat di kepalanya. Baskoro kehilangan
keseimbangannya dan terhuyung-huyung. Belum sempat ia menegakkan
kepalanya, pukulan demi pukulan kembali mendera dirinya.
Suara
pukulan dan tendangan terdengar di gubug kecil itu. Rintihan dari
Baskoro yang kian melemah sayup terdengar di antara umpatan
manusia-manusia yang sedang kalap.
Hari
semakin gelap. Tak ada suara angin yang menyusupi dedaunan. Tak ada
juga bunyi serangga atau kodok. Sepertinya mereka terdiam menyaksikan
kebiadaban yang tengah berlangsung saat itu.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar