Sabtu, 19 April 2014

Asmaradana Terlarang (21)

Sebuah bus berjalan tak terlalu laju menuju arah timur di jalan tol Jakarta – Cikampek, di antara ribuan kendaraan yang harus saling berbagi ruang di seluruh lajur jalanan itu. Dua jam lalu bus itu meninggalkan Tangerang yang akan mengantarkan para penumpangnya menuju kota-kota di pantura Jawa Tengah: Semarang, Demak, Kudus dan Pati. Jika perjalanan lancar, 10 jam kemudian bus akan tiba di tujuannya.

Sundari tak dapat menahan gejolak di pikirannya. Setelah sekian tahun, ia akan kembali lagi ke kota kelahirannya. Seharusnya ia merasa senang karena akan bertemu Pak’e, Sutari dan keluarganya, juga Satriyo yang sudah datang terlebih dahulu. Namun justru kegusaran yang malah kini sedang ia rasakan. Kenangan-kenangan kelam masa lalunya kini menghampirinya kembali.

***

Langit sore sudah mulai kehilangan cahaya di Desa Kemiri. Awan gemawan di atas sana mulai berpendaran warna kuning jingga. Hawa panas telah berkurang, dan tiupan angin perlahan memberi rasa sejuk.
Sundari, Sutari dan kedua orang tuanya tengah berada di depan rumah, duduk di bangku kayu yang ada di situ. Dari bahasa tubuh dan mimik muka, mereka terlahit sedang menunggu sesuatu. Atau mungkin seseorang.

“Sudah setengah enam, kok Mas Bas belum sampai ya?” kata Sundari dengan nada cemas.

“Mbok ya sabar, Nduk. Mungkin masih di jalan. Lha namanya jalan kaki, ya pasti ndak bisa cepat sampai rumah,” kata ibunya.

“Bukan begitu, Mak’e. Meskipun cuma jalan kaki, paling lama juga dua jam sudah sampai. Lha ini sudah jam segini belum kelihatan,” kata Sundari sambil memegangi perutnya yang besar.

***

Gubug kecil itu tersembunyi di tengah rapatnya pohon pisang dan kelapa yang mengelilinginya. Letaknya yang jauh dari pemukiman memang membuat gubug itu tidak setiap hari didatangi pemiliknya. Malah sepertinya gubug itu mungkin sudah lama ditinggalkan oleh yang punya jika melihat kondisinya yang berantakan.

Sebuah mobil berada tak jauh gubug itu, tepat di tepi jalan tanah tak terlalu lebar yang menjadi satu-satunya jalan masuk ke gubug itu dari jalan raya yang berjarak hampir 1 kilo jauhnya. Sekelompok pria ada di tempat itu, sebagian berdiri dan sebagian duduk begitu saja di tanah tanpa beralaskan sesuatu. Sementara satu orang berbadan langsing terlihat tergeletak di atas tanah, tak bergerak. Kedua tangannya terikat tali. Dan kepalanya tertutup oleh kain hitam.

“Mau kita apakan dia?” tanya salah satu orang di antara mereka. “Kenapa tidak dihabisi saja sekarang?”

“Jangan sekarang. Tunggu sampai dia sadar dahulu, “ kata seorang yang lain dengan suara agak berat.

“Apa bedanya saat dia pingsan atau saat sadar? Toh kita bisa lebih mudah dan lebih cepat menghabisinya saat dia tak berdaya begini. Lalu tugas selesai”

“Justru itu. Dia tidak akan merasa sakit dan tersiksa jika kita melakukannya sekarang. Tunggu beberapa menit lagi!”

***

“Pak’e tadi pagi sempat ke kantor polisi kan?”

“Iya, aku mampir ke situ sebelum ke pasar. Aku ketemu Baskoro dan dia bilang siang ini bebas. Lalu aku ke pasar dulu.”

“Lha pulangnya kenapa Mas Bas kok ndak dijemput?”

“Pulang pasar aku ke kantor polisi lagi, mau jemput Baskoro. Tapi dia sudah ndak ada. Kata petugas di sana, sudah sejam sebelumnya pulang.”

Perbincangan sore itu terhenti. Seseorang dengan sepeda motor datang ke rumah itu.

“Selamat sore, Pak Sugiri,” sapa pria itu.

“Oh selamat sore, Pak Prapto. Mari masuk!”

“Oh tidak usah repot-repot. Saya hanya mampir sebentar,” kata pria berseragam polisi itu. “Baskoro sudah sampai rumah kan?”

***

Perlahan pria yang tergeletak itu mulai bergerak. Terdengar rintihan dari balik kain penutup kepalanya itu. Dan tiba-tiba sebuah tendangan mendarat di perutnya.

“Aaarrrhhh,” teriakannya terdengar.

“Bangunkan dia! Buka tali di tangannya dan penutup kepalanya!”

Lalu dua orang memegang tubuh pria naas itu, dan membimbingnya dengan kasar untuk berdiri. Tali pengiat tangannya pun dibuka, juga kain yang menutupi kepalanya.

“Apa kabar Baskoro?”

Baskoro mengenal suara itu, suara yang sudah tidak asing baginya. Baskoro tidak bisa melihat wajahnya karena hari sudah gelap, juga karena masih merasa pusing di kepalanya.

“Kamu.. “ Baskoro mencoba berbicara kepada orang yang ada di depannya itu.

Namun tiba-tiba sebuah tinju mendarat di kepalanya. Baskoro kehilangan keseimbangannya dan terhuyung-huyung. Belum sempat ia menegakkan kepalanya, pukulan demi pukulan kembali mendera dirinya.

Suara pukulan dan tendangan terdengar di gubug kecil itu. Rintihan dari Baskoro yang kian melemah sayup terdengar di antara umpatan manusia-manusia yang sedang kalap.

Hari semakin gelap. Tak ada suara angin yang menyusupi dedaunan. Tak ada juga bunyi serangga atau kodok. Sepertinya mereka terdiam menyaksikan kebiadaban yang tengah berlangsung saat itu.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar