Kamis, 30 Januari 2014

Sehelai Daun Belimbing

Langit di pinggiran Jakarta lumayan cerah dengan sedikit awan tipis berwarna perak keemasan tertimpa sinar matahari sore. Udara masih terasa agak gerah meski tidak sepanas beberapa jam sebelumnya. Angin sore yang sudah mulai berhembus sepertinya cukup membantu mendinginkan udara di penghujung bulan April. Sebuah pohon belimbing di tepi jalan yang hampir tiga meter tingginya tampak mulai mengeluarkan bunga-bunganya yang khas dan berwarna merah. Sepasang burung emprit asyik bercanda di antara rerimbun daun belimbing, melompat dari satu dahan ke dahan lainnya.

Tak lama kemudian keduanya melesat terbang entah menuju kemana. Beberapa helai daun belimbing yang terterobos oleh emprit-emprit itu pun sekejap terguncang dibuatnya. Satu daun yang sudah berwarna kuning tak sanggup bertahan lagi pada tangkainya, terpaksa luruh dari pohon belimbing itu. Angin sore yang menerpa membuat daun tipis itu melayang-layang di udara, menyeberangi jalan yang hanya selebar empat meter, sebelum akhirnya masuk melintasi pagar sebuah rumah bercat biru muda dan jatuh di atas sebuah bangku kayu yang berada di teras.

Sebuah sepeda motor berhenti di depan rumah.
Dua orang turun dari motor dan masuk ke halaman rumah.

“Duduk dulu, Mas Indra. Aku ambilin minum. Mau apa?”

“Apa saja. Asal berwarna.”

“Dasar!!!”

Keduanya tertawa pelan. Pria yang dipanggil dengan nama Indra itu pun duduk di bangku, beberapa belas centimeter saja jaraknya dari daun berwarna kuning. Buruh pabrik berumur 20 tahun itu memang hampir setiap sore mengantar Reni ke rumah kontrakannya sepulang kerja. Reni dan ketiga temannya, semuanya wanita yang juga sama-sama bekerja sebagai buruh pabrik, menempati rumah kontrakan itu.

“Maaf, cuma es teh manis. Yang penting berwarna kan?” kata Reni sambil membawa dua gelas minuman dan kemudian meletakkannya ke bangku. “Yuk minum.”

“Hmm … ,” gumam Indra sambil meminum beberapa teguk. “Segarnya.”

“Gimana hari ini, Mas?”

“Gimana apanya?”

“Ya kerjanya dong.”

“Kerjanya ya gitu, kayak hari-hari biasanya. Tapi berhubung hari ini akhir bulan dan terima gajian, ya pasti perasaannya senang.”

“Memang kalo belum gajian biasanya gimana?”

“Nih aku kasih tau ya. Kalo belum gajian, kayaknya ada banyak irisan bawang merah di dalam dompetku.”

“Bawang merah?”

“Iya. Ada irisan bawang merah di dompetku, banyak banget.” Indra berhenti sejenak. “Jadi pengen nangis kalo membukanya. Hahaha…”


Indra dan Reni pun tertawa, lepas.

“Besok masuk?” tanya Indra.

“Ya. Kamu?”

“Masuk juga. Tapi belum tahu mau kerja atau tidak. Dengar-dengar sih katanya mau ada demo buruh di depan kantor walikota. Masing-masing serikat pabrik kirim beberapa wakil untuk ikut demo. Tahun lalu sih pabrik stop produksi dulu selama satu hari.”

“Mau nuntut apaan?”

“Nggak jauh-jauh dari persoalan gaji. Ada beberapa pabrik yang belum kasih gaji sesuai kenaikan UMR yang sudah disepakati awal tahun ini.”

“Hmmm …”

“Ya beginilah nasib buruh,” kata Indra dengan suara datar. “Berangkat pagi, pulang sore. Tapi gaji sepertinya selalu habis saja tiap bulan. Buat bayar kontrakan, cicilan motor, bayar hutang, bayar ini itu.”

Suasana hening beberapa saat.

“Belum lagi masalah sistem karyawan kontrak,” lanjut Indra. “Sungguh nggak manusiawi. Tiga atau enam bulan bekerja, habis itu harus dag dig dug menunggu keputusan apakah mau diperpanjang kontrak atau selesai. Seperti nggak dihargai saja.”

“Yah, tapi kita harus tetap bersyukur masih bisa kerja. Dan itu tidak boleh dijadikan alasan untuk malas bekerja, Mas.”

Indra tersenyum. Tak jelas apakah senyum senang karena merasa terhibur oleh kata-kata Reni, atau senyum kecut. Dan ketika dilihatnya daun belimbing di sebelahnya, maka daun itu pun diambilnya.

“Coba perhatikan daun belimbing ini,” kata Indra.

Reni diam memperhatikan.
Dia tahu Indra akan berbicara panjang lebar kalo sudah seperti begini.

“Kehidupan ibarat sebuah pohon belimbing. Nah itu!” kata Indra sambil menunjuk pohon belimbing di seberang jalan. “Setiap orang bisa menjadi salah satu bagian dari pohon belimbing. Mungkin sebagai akar, batang, daun atau buah. Semuanya memiliki tanggung jawab dan tugas masing-masing. Akar akan menjalankan fungsinya untuk mencari sumber air dan makanan di dalam tanah. Batang akan bertumbuh dan menopang bagian-bagian lain yang ada di atasnya. Daun-daun akan menangkap sinar matahari dan melakukan fotosintesis. Hasilnya, akan menjadi bunga yang bertumbuh dan kemudian mengalami penyerbukan dan menjadi buah. Buah pun akan terus berumbuh dari kecil menjadi besar hingga akhirnya matang.”

Reni masih tetap diam dan mendengarkan.
Indra berhenti sejenak dan meneguk kembali es teh manis yang hampir habis.

“Meski telah berbuat semaksimal mungkin sesuai fungsinya, namun tidak semuanya mendapat penghargaan yang sama. Akar dan batang mungkin akan terus bertahan selama pohon itu tetap hidup. Buah pun akhirnya akan dihargai dengan ditempatkan di piring buah yang ada di meja makan atau di keranjang supermarket. Namun bagi daun, setelah kerja kerasnya berfotosintesis maka lambat laun ia yang semula hijau segar akan menjadi kuning dan layu, dan pada akhirnya jatuh ke tanah, selokan atau …”

“Atau jatuh di tangan seorang yang bernama Indra dan dijadikan bahan mata kuliah filsafat dua SKS di sore hari,” sahut Reni sambil tersenyum. “Sudah mulai gelap, Mas. Besok saja dilanjutkan lagi ya?”

“Oh, baiklah,” jawab Indra singkat.

Diletakkannya kembali daun berwarna kuning itu di bangku. Setelah berpamitan kepada Reni, Indra pun keluar halaman. Dihidupkannya sepeda motor dan perlahan meninggalkan tempat itu. Dan Reni pun segera masuk membawa dua gelas yang sudah kosong.

Hari berangsur-angsur berubah gelap. Angin berhembus perlahan dan membawa terbang sehelai daun belimbing itu dari bangku di halaman, melintasi pagar rumah sampai akhirnya hilang di kegelapan.

Selasa, 28 Januari 2014

Kucing (2)

Cuaca sore ini benar-benar tidak bersahabat. Gerimis belum juga reda. Udara juga sedikit dingin dan basah, tidak baik untuk bulu-buluku. Jadi berdiam diri di rumah kosong ini, menurutku, satu-satunya hal yang paling baik untuk dilakukan. Tidur? Ah, belum waktunya.

Tapi sore ini sungguh lain dari sore-sore sebelumnya. Suasana di perumahan ini ramai dari tadi meski gerimis tak ada tanda-tanda untuk berhenti. Manusia-manusia kulihat lebih sibuk dari hari-hari sebelumnya. Bahkan bunyi tiup-tiupan dari tadi aku dengar, semakin ke sini semakin ramai. Berisik!

“Eh, kamu nggak keluar?“

Aku dengar seekor kucing lain yang ada di rumah kosong ini bertanya.

“Malas. Gerimis,” jawabku singkat.
“Nggak lapar?“
“Lapar sih, tapi entar aja keluar. Nunggu kalo nggak gerimis.“
“Atau ke pasar?“
“Pasar, ah nggak.”

Pasar. Ya ini tempat yang sementara ini paling tidak ingin aku datangi. Aku masih ingat saat terakhir ke sana dengan seorang temanku. Dan musibah itu masih saja menghantui pikiranku. Makan jadi tidak enak, tidur juga tidak nyenyak.

Aku masih trauma.

“Atau jalan-jalan keliling perumahan, daripada nganggur disini,” kata temanku lagi.
“Ngapain?“
“Ya apa aja. Hmmm … Atau main ke tempat si Angora, mumpung tuannya baru saja pergi.”
“Ke tempat kucing malas dan manja itu? Malas banget!!”
“Hahaha… Jangan gitu, ntar lama-lama kamu bisa-bisa jadian sama dia.”
“Eh, nggak mungkin. Sedikit pun aku ngga punya rasa terhadapnya.”
“Hahaha … Ya udah. Aku pergi dulu. Bete disini terus.”

Dia pergi keluar dari jendela. Dan aku kini sendirian di sini. Ah, mending langsung tidur saja.

Aku segera menuju pojok ruangan. Aku mencoba memejamkan mata. Tapi bunyi tiup-tiupan di luar sana sungguh mengganggu. Ah, jadi tidak bisa tidur.

Hhhh, benar-benar menyebalkan. Ah sudahlah, mending aku keluar rumah sebentar, siapa tahu ada yang bisa dilihat untuk mengisi waktu.

Hup!! Aku melompat keluar lewat jendela. Dan kini aku sudah berada di depan rumah. Rupanya hari sudah gelap. Tapi suara keramaian di kejauhan sana masih juga belum berhenti, bahkan sepertinya malah semakin ramai.

Aku meringkukkan tubuhku di depan rumah. Gerimis sudah reda rupanya, namun hawa dingin masih terasa. Maka makin lengkaplah alasan bagiku untuk tidak kemana-mana, meski rasa lapar sedari tadi aku rasakan.

Aku lemparkan pandanganku ke rumah di seberang jalan. Ya, rumah dengan pagar besi yang cukup tinggi milik tuan si angora manja itu. Rumah itu sepi, tidak ada tuan rumah. Dan di atas sofa empuk di teras rumah, aku lihat si angora manja bermalas-malasan. Ah, mending iseng-seng ke sana saja buat mengisi waktu.

“Hai…,” Aku mencoba menyapa kucing manja itu.

Dia menoleh, namun masih tetap tak menggerakkan tubuhnya di atas sofa.

“Ya, ada apa?” katanya dengan nada datar dan dingin.

Gila! Sombong banget ini kucing. Pantas saja tidak ada yang mau mengajaknya jalan.

“Nggak kemana-mana?” tanyaku.
“Nggak. Di luar basah. Nanti bulu-buluku jadi rusak dan nggak rapi.”
“Oh… Tapi nggak bosan disini?
“Ya bosan sih, tapi mau kemana? Lagi pula sudah malam.”


Aku terdiam. Tidak tahu mau bicara apa. Apa lagi di depan kucing cantik seperti sekarang, aku jadi salah tingkah.

“Eh … Mmm… Memang tuanmu lagi kemana?”
“Pergi.”
“Kemana?”
“Ya, seperti orang-orang lain.”
“Maksudnya”


Aku bingung dengan jawaban darinya.

“Iya, malam ini adalah malam istimewa bagi manusia. Jadi mereka sedang merayakannya.”
“Ooh… Jadi bunyi tiup-tiupan yang dari tadi aku dengar itu …”
“Ya, itu bagian dari malam istimewa ini.”


Aku mulai tertarik berbicara dengan kucing di depanku ini. Sepertinya dia tidak sombong kayak dugaanku selama ini.

“Bukan hanya itu,” lanjutnya. “Nanti kalo sudah tengah malam, suasana semakin ramai. Akan ada suara ledakan di mana-mana. Terus ada warna-warna terang yang menghiasi langit.”
“Ooh… Pasti keren. Aku jadi pengen lihat. Kamu mau lihat juga?”
“Aku nggak mungkin bisa pergi jauh-jauh.”

Ah, aku jadi tertarik ngobrol-ngobrol lebih lama dengan makhluk cantik ini.

“Mmm … Di atap rumah saja,” kataku.
“Atap rumah?”
“Ya, dari atap rumah bisa lihat kemana-mana. Aku beberapa kali sering melakukannya tiap sore saat matahari terbenam. Indah banget pokoknya.”
“Mmm … Tapi aku nggak pernah naik atap.”
“Sudaaaah. Ikuti aku saja, dijamin aman.”


Aku segera berdiri. Lalu melompat pagar tembok di samping rumah. Dia pun mulai berdiri dan berjalan menuju dekat pagar. Sejenak dia ragu untuk mulai melompat.

“Ayo, lompat. Pasti bisa.”

Dia segera melompat dan, uuuppsss … Akhirnya bisa juga mendarat di pagar. Tubuhnya sedikit gemetar.

“Nah, sekarang tinggal lompat sekali lagi dari pagar ke atap rumah. Ikuti caraku.”

Aku segera melompat. Dia mengikuti. Dan sampailah kami berdua di atas atap rumah.

“Nah, kita bisa melihat ke segala arah dari atas sini,” kataku.
“Oh, ternyata seru juga ya..”


Tanpa suara sejenak. Aku sengaja membiarkannya berlama-lama menikmati pemandangan malam ini. Lampu rumah-rumah di sekeliling kami, juga lampu di jalan-jalan di sekitar perumahan, dan juga persimpangan jalan jauh disana. Tiup-tiupan di sana semakin riuh.

“Bagus kan?” Tanyaku sambil mendekatkan tubuh kepadanya.
“Oooh iya,” jawabnya agak kaget. Namun ia tak mencoba menjauhkan diri dariku.

Aku mulai merasakan perasaan nyaman. Perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelum ini. Bulu-bulu kami saling bersentuhan, menghangatkan malam yang adem ini.

“Eh, tadi kamu bilang nanti ada warna-warna indah di langit?”
“Iya, tunggu saja.”


Kami terus duduk berdampingan dan berbincang malam ini. Sangat menyenangkan. Sesekali aku aku dekatkan kepalaku ke kepalanya. Kumis-kumis kami saling beradu, dan geli-geli nikmat aku dibuatnya.

Tak lama terdengarlah bunyi ledakan bersahut-sahutan. Dan pecahlah cahaya-cahaya indah berwarna-warni menghiasi langit malam. Sungguh indah.

“Meoongggg!!”

Kami berdua sama-sama berteriak kegirangan malam ini. Malam yang benar-benar baru bagiku.

Nol

Lihat, sudah berapa jauh
kaki telah melangkah. Perhatikan
jejak yang tercipta dan juga
tujuan yang masih harus dicapai.

Lihat, di manakah kaki berdiri. Perhatikan
apakah diri ini telah berada di tempat
yang semestinya harus berada.

Tersenyumlah bila sejauh ini
telah terjalani semua yang baik,
teraih semua yang teringini,
terwujud semua yang diimpikan.

Tapi bila ternyata
langkah telah salah arah
dan kujur raga
begitu lelah sia-sia.
Dan sebelum nanti
semakin tersesat,
berhentilah sesaat.
Perbaiki diri dan
ajaklah nurani untuk
kembali ke titik nol