Rabu, 22 Oktober 2014

Jalan Tanpa Nama

kawan. kita pernah seiring
melintas pelan di jalan itu


ketika pagi syahdu terkoyak nada merdu
enam utas dawai di tangan lelaki tua
memula intro pada fret A minor


atau ketika hari terik pecah oleh teriak bocah
seorang diri memain-main bola plastik
berlagak entah Rooney entah Messi


juga ketika senja jingga makin merona
saat pria muda menguntai kisah asmara
kepada kekasih di sampingnya


aku, kamu. kita pun mulai terhanyut oleh perasaan masing-masing demi mendengar dawai-dawai yang indah bergetar. lantas berdebat tentang mana yang paling baik, kick and rush atau tiki-taka. hingga akhirnya terharu menyaksi sejoli yang jatuh hati.

tapi kawan. kemarin ku sisir sendiri
jalan yang pernah kita lalui


lelaki tua itu tak lagi memecah pagi
tiada gitar yang dulu dimainkannya
intro minor itu tak pernah menjadi bait, interlude, atau coda
lalu bocah kecil nampak murung sewaktu siang
terpekur. duduk memeluk kedua lututnya
tanpa bola plastik yang menjadikannya bak pemain dunia
juga pria muda kini tanpa kekasih senjanya berkata
‘jika semua kisah punya awal tengah dan akhir
maka aku terhenti di bab pertama’


dengarlah kawan. sungguh pilu ku pandangi jalan itu
lelaki tua tanpa gitar
bocah kecil tanpa bola plastik
pria muda tanpa kekasih


seperti aku
kini tanpamu

Kreteg Kalidoro

Matahari bulan September begitu menyengat ubun-ubunku. Peluh yang mengucur di wajah dan tubuhku sepertinya langsung menguap, mengering begitu cepatnya. Aku menepi sejenak ke sebuah gardu yang berada di tepi jalan kecil di pinggir Dusun Kalidoro. Sepeda kayuhku aku sandarkan di salah satu tiang penyangga gardu.

Sesosok lelaki berumur yang berdiri di pojok kanan belakang gardu tersenyum kepadaku. Aku membalasnya singkat, lantas mengambil botol plastik dari dalam tasku. Beberapa teguk air putih mengguyur membasahi tenggorokanku.

Selamat siang,” sapaku. Ini perjumpaan keduaku dengannya. Dan aku masih ingat perjumpaan kami yang pertama, suatu sore sekitar satu bulan lalu. Juga di gardu kecil ini.

***

Dari mana dan mau kemana, Dik? Sepertinya bukan warga dusun sini ya?

Aku mengangguk pelan untuk menjawab pertanyaan lelaki di hadapanku. Lalu aku memandang kembali ke jalan yang sepi dan mulai gelap. Gerimis yang turun memaksaku berhenti dan berteduh di gardu.

Iya, Pak.  Saya tinggal di Sukomulyo. Tadi ada perlu dari Semampir, dan karena kesorean  maka saya memilih pulang lewat Kalidoro biar lebih cepat. Tapi malah gerimis di tengah jalan.

Aku ambil sebungkus rokok dari saku celanaku. Aku tawarkan sebatang kepada lelaki itu, namun ia menolaknya. Mau tak mau aku aku nikmati sendiri rokok ini.

Tinggal dimana, Pak?” tanyaku. Sebuah senyum mengembang di bibir lelaki itu. Ia menunjukkan jarinya ke jalan di depan sana.

Dekat kreteg situ,” jawabnya masih dengan senyuman yang akrab kepadaku.

Aku kembali mengarahkan pandanganku ke jalan. Memang beberapa puluh meter di depan sana ada sebuah jembatan atau kreteg. Namun aku tak melihat bangunan atau rumah di dekatnya. Ah, mungkin karena pandanganku terhalang oleh gelap dan gerimis yang sedang turun.

Tidak takut sendirian lewat sini?” dia berbalik bertanya kepadaku. Aku tak segera menjawabnya, tapi lebih memilih menghisap dalam-dalam batang putih di mulutku.

Kenapa Pak?

Hati-hati kalau lewat sini waktu sore. Kebanyakan warga sini enggan lewat jalan ini jika memang tidak ada keperluan mendesak.”
Ada perasaan was-was mendengar perkataan lelaki itu. Beruntung gerimis sudah reda, dan aku lebih memilih berpamitan daripada berlama-lama  melanjutkan percakapan kami.

***

Selamat siang,” jawab lelaki itu.

Masih ingat saya kan Pak?” kataku sambil menjabat tangannya. Lalu kami saling memperkenalkan diri masing-masing, sebuah perkenalan yang seharusnya dilakukan pada  pertemuan sebulan sebelumnya.

Anu, Pak. Soal cerita sore itu?” tanyaku sambil membuka kancing atas bajuku untuk mengurangi rasa gerah.

***

Hampir lima puluhan tahun silam. Banyak warga yang merasa was-was di tengah situasi politik yang mencekam. Sejak dibunuhnya beberapa jenderal di Jakarta, operasi militer secara besar-besaran pun dilakukan untuk membubarkan dan menumpas habis partai terlarang itu. Beberapa anggota partai banyak yang melarikan diri dan bersembunyi ke gunung atau hutan untuk menghindari penangkapan dari tentara. Mereka yang dicurigai sebagai simpatisan pun banyak yang ditangkap, dan selanjutnya tak diketahui lagi nasibnya.

Sukoco, pemuda berusia belasan tahun dusun Kalidoro. Seperti pemuda-pemuda lain di desanya, Sukoco lebih banyak membantu orang tuanya untuk bekerja di sawah. Pemuda berkulit coklat ini memiliki wajah yang lumayan ganteng sehingga tak heran banyak pemudi yang berharap untuk mendapatkan cintanya. Hati Sukoco tertambat pada Hartini, gadis tetangganya yang berwajah cantik. Namun bukan karena kecantikan Hartini saja yang membuat Sukoco jatuh cinta, melainkan juga kepandaiannya dalam memainkan tarian Jawa.

Namun di balik hubungan di antara keduanya, sebuah masalah besar mengancam. Hartini dicurigai sebagai salah satu anggota lembaga kesenian yang bernaung di bawah partai terlarang itu. Semua bermula dari kehadiran Hartini dalam sebuah pertemuan enam bulan sebelumnya. Setahu Hartini, ia hanya diundang untuk memainkan satu tarian pada pertemuan itu. Namun entah mengapa hal itu malah membuatnya berada dalam bahaya yang tak pernah disangkanya.

Mas Sukoco. Sebaiknya hubungan kita sampai di sini saja.

Kenapa, Hartini? Kenapa? Apa kamu tak percaya kalau aku sungguh-sungguh mencintaimu?

Bukan, Mas. Aku percaya Mas begitu cinta kepadaku. Namun aku tak ingin Mas terbawa dalam bahaya. Itu saja, Mas. Aku harus pergi dari dusun ini.

Berkali-kali keduanya terlibat dalam pertengkaran itu. Sukoco tak mau merelakan begitu saja perasaanya kandas di tengah jalan.

Maaf, Mas. Aku harus  segera pergi.

Hartini berlalu meninggalkan Sukoco sore yang mendung itu. Ia mengayunkan langkah dengan cepat menjauh dari kekasihnya. Dengan menahan sedih, Sukoco terus memandang Hartini yang semakin menjauh berjalan di jalan pinggir dusun Kalidoro. Hartini terus melangkah hingga sampai kreteg kayu yang menjadi batas dusun.

Hartini, tunggu!”

Sukoco berteriak memanggil sambil berlari menuju Hartini. Terpaksa Hartini menghentikan langkahnya. Hingga akhirnya pemuda itu tiba tepat di hadapannya.

Aku akan ikut denganmu,” kata Sukoco dengan nafas terengah. Mendung di langit berubah menjadi gerimis ketika keduanya berpelukan di atas kreteg.

Angkat tangan!!

Keduanya terkejut mendengar suara yang tiba-tiba itu. Tiga pria berpakaian tentara berada di belakang mereka.

Kamu harus ikut kami!” kata salah satu pria kepada Hartini. Seorang pria lainnya memborgol tangan gadis itu. Gerimis mulai berubah menjadi hujan. Suara sepatu-sepatu militer  berderap di atas kreteg kayu itu mulai bergerak menjauh dari Sukoco.

Sukoco bergetar menyaksikan peristiwa di hadapannya. Sekonyong-konyong pemuda itu berlari ke arah ketiga tentara. Ia berusaha merebut kembali kekasihnya, sebelum akhirnya sebuah suara letusan pistol terdengar, dan menghentikan usaha yang dilakukan Sukoco.

Sukoco jatuh. Air hujan bercampur darah membasahi tubuh yang telah tak bernyawa. Hartini menjerit histeris sambil terus berjalan menjauh bersama tiga tentara itu.

***

Sukoco? ” kataku dengan suara bergetar.

Lelaki di depanku diam tanpa ekspresi. Cukup lama rupanya kami berada di gardu itu. Dan hari sudah beranjak sore dan langit juga gelap.

Namanya sama dengan Bapak,” lanjutku sedikit keheranan. “Lalu nasib Hartini selanjutnya bagaimana?
Pak Sukoco yang sudah renta itu mengela nafas panjang sebelum kembali melanjutkan cerita.

Kejadian di pinggir dusun itu tak pernah terlupakan. Bahkan sampai saat ini warga Kalidoro selalu was-was jika melewati kreteg kayu di jalan pinggir dusun saat hari mulai gelap.

Kreteg di depan sana itu?” tanyaku.

Ya,” jawab Pak Sukoco singkat. “Ketakutan warga masih terjadi bahkan berpuluh-puluh tahun setelah kejadian itu berlangsung. Jika suatu saat melintasi kreteg itu saat hari senja dan hujan turun, maka berhentilah sejenak. Jangan lanjutkan perjalanan sebelum kita mengusapkan tangan beberapa kali ke kayu-kayu kreteg itu sambil berdoa untuk sepasang kekasih yang malang itu.”

Senja mulai menggelap, dan aku ajak Pak Sukoco meninggalkan tempat itu.

Rumah Bapak di dekat kreteg itu, kan? Mari saya antar!

Kami berboncengan meninggalkan gardu. Masih beberapa meter sebelum kreteg, entah kenapa tiba-tiba gerimis turun. Aku mulai khawatir, namun sebisa mungkin kusembunyikan perasaanku dari lelaki yang ada di boncengan belakang.

Sampai di ujung kreteg aku segera turun dari sepeda dan mengusap-usap kayu yang sudah berusia puluhan tahun. Aku tak memedulikan lagi apakah Pak Sukoco melakukan hal yang sama atau tidak. Lalu aku mulai menutup mata untuk berdoa. Pikiranku teringat akan cerita yang dikatakan Pak Sukoco, membayangkan bagaimana Hartini histeris menyaksikan kekasihnya yang terkapar di atas kreteg ini.

Sebuah suara yang memekakkan telinga membuatku terkejut dan membuka mata. Suara halilintar, mirip suara letusan pistol. Aku menoleh ke samping, tak ku lihat Pak Sukoco. Bulu kudukku berdiri.

Aku memerhatikan sekelilingku. Tak ada orang lain. Segera kunaiki sepedaku meninggalkan kreteg.