Minggu, 27 April 2014

5,5 cm

Blood Moon atau Red Moon. Demikianlah bulan purnama kali ini dinamakan. Disebut demikian, ya karena tentunya warna bulan purnama yang merah mirip darah. Inilah saat istimewa bagi makhluk-makhluk di negeri lain. Saat untuk berpesta-pora di malam yang luar biasa.

Seorang makhluk bertubuh mungil adalah pendatang baru di negeri lain. Tubuh manusianya baru saja mati sehari yang lalu, belum terlalu lama. Nama makhluk pendek itu adalah Tuy…

“Luyut. Panggil nama gue Luyut!”

Luyut? Nama yang aneh. Bukankah makhluk yang masih bocah seperti dia biasanya disebut dengan Tuy…

“Iya, gue tahu itu. Kenapa dibilang nama yang aneh? Nama akun lo juga dibalik dari belakang kan? Sama-sama aneh!”

Oke, oke. Apalah arti sebuah nama. Seperti yang disebutkan sebelumnya, Luyut itu pendatang baru karena tubuh manusianya mati baru satu hari. Supaya resmi diterima sebagai warga negeri lain, ada beberapa proses yang harus dilakoni oleh Luyut.

“Selamat datang bocah!”

Gila bikin kaget saja! Entah dari mana datangnya, tiba-tiba muncul makhluk lain. Rambutnya panjang tergerai, sebagian menutupi wajahnya yang pucat. Pakaiannya mirip daster warna putih.

“Terima kasih, panggil gue Luyut. Gue masih newbie di sini,” kata si bocah.

“Aku yang akan mengasuhmu sementara saat ini, sebelum kamu resmi diterima sebagai warga negeri ini,” kata si daster putih. “O ya, namaku Kanalitnuk.”

What??? Kanalitnuk? Nama yang sungguh-sungguh aneh.

“Diam saja kamu! Tidak usah banyak komentar, kalo mau nulis cerita ya nulis aja!” hardik si daster putih.

Oke, oke…
Lalu Kanalitnuk berjalan diikuti Luyut di belakangnya. Tak lama kemudian tibalah mereka di sebuah rumah kecil. Lalu pintu rumah pun terbuka, dan seorang pria eh wanita, eh pria atau wanita sih?

“Iiiiih rempong deh cyin. Akyu emang ngga jelas kaya gini dari dulu… Malam tante Kanalitnuk, apa kabar?..” sapa makhluk itu.

“Selamat malam, Icnab. Ini ada pendatang baru. Dandani dia sebagaimana mestinya,” kata Kanalitnuk.

“Aiiiih… Imut banget. Apa kabar cayang? Cini peyuk duyu…” kata Icnab sambil mencoba tersenyum ramah dan membuka kedua tangannya lebar-lebar.

Luyut terkejut mendapat sambutan yang agresif itu. Si bocah itu sampai-sampai mundur dua-tiga langkah untuk menghindarinya.

“O la la… Ngga usah takut gitu dong cayang…”

“Icnab, sebaiknya buru-buru potong habis rambutnya. Lalu ganti pakaiannya,” sela Kanalitnuk. “Sebentar lagi matahari akan terbit.”

Luyut pun dibawa ke sebuah kursi. Dengan bersedih hati, ia harus merelakan rambut trendi model spike yang disayanginya selama menjadi manusia harus dibabat habis sekarang. Yaaah, memang sudah aturannya di negeri lain, semua bocah harus gundul. Tidak ada model spike, emo, atau model-model lainnya. Yang ada cuma licin tandas, alias plontos.

***

Malam kedua diadakannya pesta-pora di negeri lain. Hampir semua makhluk berkumpul di malam berbahagia ini. Gnocop, Owuredneg, Tosegn Retsus, Lebmog Ewew, Alukard, Gnukgnalej, dan Eripmav. Semua datang dengan mengenakan pakaian kebesaran masing-masing. Kecuali …

Kanalitnuk dan Icnab sudah minta ijin kepada panitia pesta untuk tidak hadir di pesta malam kedua. Tentu saja keduanya sedang mempersiapkan si pendatang baru, Tuy…

“Luyut! Gue Luyut, catat itu!”

Iya deeh, iyaaaa… Nggak usah sewot gitu dong.
Luyut tengah dipersiapkan oleh Kanalitnuk dan Icnab agar bisa resmi diterima sebagai warga negeri lain.

“Luyut, setelah penampilan kamu diubah seperti sekarang ini, maka kamu harus bisa lulus tes terakhir malam ini. Saya harap harus lulus malam ini, supaya kamu bisa ikut berpesta besok di malam ketiga bersama-sama warga lainnya,” kata Kanalitnuk.

“Harus malam ini?” tanya si bocah.

“Iya. Jika tidak lulus malam ini, kami tak bisa ikut pesta besok. Besok adalah malam pesta terakhir, dan baru akan ada pesta lagi setelah ada Blood Moon periode selanjutnya beberapa bulan mendatang.”

“Oooh…”

“Nah, sekarang bersiap-siaplah untuk tes terbang melayang. Mari kita ke bukit itu!”
Mereka bertiga bergerak menuju bukit. Kanalitnuk menjelaskan tentang tes yang harus ditempuh oleh si bocah. Luyut menyimaknya dengan seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.

“Setiap makhluk di negeri harus bisa terbang melayang. Aku, Icnab, Gnocop, Owuredneg, Tosegn Retsus, Lebmog Ewew, Alukard, Gnukgnalej, dan Eripmav… semuanya bisa melayang. Meski nanti setelah lulus kami bergerak dengan cara yang kami sukai, entah terbang, meloncat-loncat atau ngesot, itu tak jadi soal.”

“Hmmm…”

Waktu terus berjalan. Bulan di langit sudah tak lagi bulat sempurna dengan warnanya yang juga tidak berdarah-darah. Tak ada angin sedikit pun berhembus malam itu.

“Gerah cyiin, make-up eike jadi luntur” kata Icnab sambil menyeka seluruh penjuru wajahnya dengan tisu.

Lalu tibalah saatnya …

Luyut mengambil beberapa langkah ke belakang. Setelah mengambil ancang-ancang, Luyut berlari sekencangnya. Sejurus kemudian si bocah itu menapakkan kakinya di atas sebuah batu, dan meloncat sambil memejam mata …

“I’m flying, I’m flying…,” teriak si bocah dengan mata terpejam sambil melebarkan kedua tangan di samping badan.

Bruggg…

Si bocah terjerembab jatuh.

“Aduh!,” teriak Luyut kesakitan.

“Ouuuuw…,” Icnab ikut juga berteriak takut takut genit.

Kanalitnuk segera mendekati Luyut yang meringis kesakita.

“Apa yang kamu lakukan tadi? Mengapa kamu tutup mata dan melebarkan kedua tangan? Ini bukan adegan si cantik Rose di atas anjungan Titanic!,” teriak Kanalitnuk.

“Maaf…,” kata Luyut.

“Cuma terbang selama 3 detik cyin,” sela Icnab dengan sebuah stopwatch di tangannya.

“Ayo coba lagi. Konsentrasi yang benar!” teriak Kanalitnuk di kejauhan.

Luyut mencobanya lagi, lagi dan lagi. Namun ia gagal lagi, lagi dan lagi.

“Aku menyerah…,” kata Luyut terduduk lemas.

Kanalitnuk dan Icnab mendekatinya.

“Kamu tidak boleh menyerah. Kalau kamu punya tekad kuat, yakinlah kamu akan berhasil,” kata Kanalitnuk.

“Tapi aku sudah berusaha sekuat tenaga …,” sela Luyut.

“Dengar, lihat aku baik-baik. Letakkan tekad dan mimpimu di depan keningmu. Jangan terlalu dekat, juga jangan terlalu jauh. 5,5 cm tepat di depan keningmu agar kamu bisa menggapai mimpi-mimpi itu,” kata Kanalitnuk.

“Ciyeeee… Jadi motivator ya cyiiiin. Super sekaliii,” seloroh Icnab.

Luyut bangkit dari tanah. Lalu berjalan menuju tempat sebelumnya. Ditariknya nafas dalam-dalam, lalu dihembuskannya pelan-pelan. Dan mulailah dia berlari …

“5,5 cm tepat di depan keningmu, gapai mimpi-mimpimu…”

Kata-kata itu terus mengiang-ngiang di telinganya. Dan kata-kata itu memberikan kekuatan dahsyat bagi si bocah.

Kaki-kaki kecil itu terus bergerak cepat, lalu tibalah di sebuah titik dimana kaki-kaki kecil itu bertolak dan meloncat …

Hupp…

Luyut terbang di udara. Kaki-kakinya terus bergerak seolah-olah ia sedang walking in the air, meski ia bertelanjang kaki tanpa mengenakan Air Jordan.

Bocah itu terus melayang beberapa puluh meter, sebelum akhirnya ia mendarat dengan sempurna. Sementara Icnab dan Kanalitnuk terperangah di belakang sana.

Prokk prookk proookk…

Tiba-tiba saja terdengar tepuk tangan meriah. Lalu muncullah makhluk-makhluk lain dari balik kegelapan.

“Luar biasa, luar biasa,” seru Owuredneg.

“Fantastis,” lanjut Alukard.

“Oke, malam ini jumlah kita bertambah satu. Kamu resmi menjadi warga negeri ini, Nak!” kata Gnocop.

“Besok malam terakhir dan kamu bisa ikut menikmati pesta kami,” ujar Gnukgnalej.

Dan malam itu sungguh menjadi malam yang bersejarah bagi si bocah. Ia telah berhasil melalui tes kewarganegaraan di negeri lain. Memang benar, di saat kita meletakkan mimpi dan cita-cita di depan mata, lalu berusaha mengejarnya, maka kita akan mendapatkannya.

Sekali lagi, selamat ya Tuyul.

“Luyut, tau!”

Sabtu, 19 April 2014

Asmaradana Terlarang (21)

Sebuah bus berjalan tak terlalu laju menuju arah timur di jalan tol Jakarta – Cikampek, di antara ribuan kendaraan yang harus saling berbagi ruang di seluruh lajur jalanan itu. Dua jam lalu bus itu meninggalkan Tangerang yang akan mengantarkan para penumpangnya menuju kota-kota di pantura Jawa Tengah: Semarang, Demak, Kudus dan Pati. Jika perjalanan lancar, 10 jam kemudian bus akan tiba di tujuannya.

Sundari tak dapat menahan gejolak di pikirannya. Setelah sekian tahun, ia akan kembali lagi ke kota kelahirannya. Seharusnya ia merasa senang karena akan bertemu Pak’e, Sutari dan keluarganya, juga Satriyo yang sudah datang terlebih dahulu. Namun justru kegusaran yang malah kini sedang ia rasakan. Kenangan-kenangan kelam masa lalunya kini menghampirinya kembali.

***

Langit sore sudah mulai kehilangan cahaya di Desa Kemiri. Awan gemawan di atas sana mulai berpendaran warna kuning jingga. Hawa panas telah berkurang, dan tiupan angin perlahan memberi rasa sejuk.
Sundari, Sutari dan kedua orang tuanya tengah berada di depan rumah, duduk di bangku kayu yang ada di situ. Dari bahasa tubuh dan mimik muka, mereka terlahit sedang menunggu sesuatu. Atau mungkin seseorang.

“Sudah setengah enam, kok Mas Bas belum sampai ya?” kata Sundari dengan nada cemas.

“Mbok ya sabar, Nduk. Mungkin masih di jalan. Lha namanya jalan kaki, ya pasti ndak bisa cepat sampai rumah,” kata ibunya.

“Bukan begitu, Mak’e. Meskipun cuma jalan kaki, paling lama juga dua jam sudah sampai. Lha ini sudah jam segini belum kelihatan,” kata Sundari sambil memegangi perutnya yang besar.

***

Gubug kecil itu tersembunyi di tengah rapatnya pohon pisang dan kelapa yang mengelilinginya. Letaknya yang jauh dari pemukiman memang membuat gubug itu tidak setiap hari didatangi pemiliknya. Malah sepertinya gubug itu mungkin sudah lama ditinggalkan oleh yang punya jika melihat kondisinya yang berantakan.

Sebuah mobil berada tak jauh gubug itu, tepat di tepi jalan tanah tak terlalu lebar yang menjadi satu-satunya jalan masuk ke gubug itu dari jalan raya yang berjarak hampir 1 kilo jauhnya. Sekelompok pria ada di tempat itu, sebagian berdiri dan sebagian duduk begitu saja di tanah tanpa beralaskan sesuatu. Sementara satu orang berbadan langsing terlihat tergeletak di atas tanah, tak bergerak. Kedua tangannya terikat tali. Dan kepalanya tertutup oleh kain hitam.

“Mau kita apakan dia?” tanya salah satu orang di antara mereka. “Kenapa tidak dihabisi saja sekarang?”

“Jangan sekarang. Tunggu sampai dia sadar dahulu, “ kata seorang yang lain dengan suara agak berat.

“Apa bedanya saat dia pingsan atau saat sadar? Toh kita bisa lebih mudah dan lebih cepat menghabisinya saat dia tak berdaya begini. Lalu tugas selesai”

“Justru itu. Dia tidak akan merasa sakit dan tersiksa jika kita melakukannya sekarang. Tunggu beberapa menit lagi!”

***

“Pak’e tadi pagi sempat ke kantor polisi kan?”

“Iya, aku mampir ke situ sebelum ke pasar. Aku ketemu Baskoro dan dia bilang siang ini bebas. Lalu aku ke pasar dulu.”

“Lha pulangnya kenapa Mas Bas kok ndak dijemput?”

“Pulang pasar aku ke kantor polisi lagi, mau jemput Baskoro. Tapi dia sudah ndak ada. Kata petugas di sana, sudah sejam sebelumnya pulang.”

Perbincangan sore itu terhenti. Seseorang dengan sepeda motor datang ke rumah itu.

“Selamat sore, Pak Sugiri,” sapa pria itu.

“Oh selamat sore, Pak Prapto. Mari masuk!”

“Oh tidak usah repot-repot. Saya hanya mampir sebentar,” kata pria berseragam polisi itu. “Baskoro sudah sampai rumah kan?”

***

Perlahan pria yang tergeletak itu mulai bergerak. Terdengar rintihan dari balik kain penutup kepalanya itu. Dan tiba-tiba sebuah tendangan mendarat di perutnya.

“Aaarrrhhh,” teriakannya terdengar.

“Bangunkan dia! Buka tali di tangannya dan penutup kepalanya!”

Lalu dua orang memegang tubuh pria naas itu, dan membimbingnya dengan kasar untuk berdiri. Tali pengiat tangannya pun dibuka, juga kain yang menutupi kepalanya.

“Apa kabar Baskoro?”

Baskoro mengenal suara itu, suara yang sudah tidak asing baginya. Baskoro tidak bisa melihat wajahnya karena hari sudah gelap, juga karena masih merasa pusing di kepalanya.

“Kamu.. “ Baskoro mencoba berbicara kepada orang yang ada di depannya itu.

Namun tiba-tiba sebuah tinju mendarat di kepalanya. Baskoro kehilangan keseimbangannya dan terhuyung-huyung. Belum sempat ia menegakkan kepalanya, pukulan demi pukulan kembali mendera dirinya.

Suara pukulan dan tendangan terdengar di gubug kecil itu. Rintihan dari Baskoro yang kian melemah sayup terdengar di antara umpatan manusia-manusia yang sedang kalap.

Hari semakin gelap. Tak ada suara angin yang menyusupi dedaunan. Tak ada juga bunyi serangga atau kodok. Sepertinya mereka terdiam menyaksikan kebiadaban yang tengah berlangsung saat itu.

(bersambung)

Asmaradana Terlarang (20)

“Barang-barangnya ndak ada yang ketinggalan, kan?”

“Ya, ndak ada, Pak. Lha saya hanya bawa baju yang saya pakai di badan ini.”

“Apa ndak sebaiknya nunggu keluargamu dulu? Biar ndak sendirian di jalan.”

“Ndak apa-apa, Pak.”

“Yo wis kalo begitu. Hati-hati di jalan.”

“Matur nuwun, Pak. Saya permisi.”

Baskoro menjabat tangan lalu berpamitan kepada Suprapto yang siang itu melepasnya dari tahanan. Dua hari lamanya Baskoro di tempat itu, tanpa mengerti apa alasan yang membuatnya ditangkap. Mungkin salah paham, atau ada orang yang memang berniat tidak baik. Entahlah.

Setelah melewati gerbang kantor polisi, Baskoro menyeberang jalan raya yang hanya dilewati satu-dua kendaraan siang itu. Lalu ia bejalan ke arah timur dengan langkah yang tak terlalu cepat. Hawa panas kota Pati membuatnya beberapa kali menyeka keringat yang meleleh di dahinya.

Ia masih menduga-duga siapakah yang berada di balik kejadian yang dialaminya. Ia tak pernah merasa memiliki musuh selama ini. Sepengetahuannya, ia bersikap baik kepada semua orang yang ditemuinya. Tak pernah ada yang merasa terganggu dengan sikapnya. Semua baik-baik saja.

Atau mungkin … Krisno? Ya, mengapa Krisno ada di kantor polisi kemarin? Bukankah Krisno satu-satunya orang yang selama ini bersikap tidak baik kepadanya? Apa mungkin anak petinggi desa Kemiri itu yang membuatnya harus ditahan di kantor polisi beberapa hari karena sesuatu alasan?

***

Hampir satu jam lamanya Baskoro berjalan, dan tak lama lagi ia akan berbelok dari jalan raya ke jalan desa menuju rumah. Kembali disekanya keringat yang kali ini tak hanya membasahi dahi, tapi juga pipi dan dagunya. Malah baju yang dipakainya kini sudah mulai basah.

“Ngaso sebentar dulu,”

Baskoro bergumam ketika ia berada di dekat sebuah pohon asam yang lumayan besar. Ia pun menghampiri pohon asam itu, lalu sengaja duduk di bawahnya dan meluruskan kedua kaki untuk sekedar melepas lelah beberapa menit saja.

Gegaraning wong akrami
Dudu bandha dudu rupa
Amung ati pawitane

Sebuah tembang yang sangat digemarinya pun terlantun dari mulutnya. Senyum kecil mengembang di wajah kurusnya. Ia teringat tembang itulah yang berhasil memesona seorang gadis cantik di Desa Kemiri beberapa tahun lalu. Lau sebuah kisah asmara terjalin antara kedua anak manusia. Hingga akhirnya asmara itu membawa keduanya masuk ke hubungan yang lebih jauh lagi sebagai suami dan istri.

Luput pisan kena pisan
Lamun gampang luwih gampang
Lamun angel, angel kalangkung
Tan kena tinumbas arta

Kembali Baskoro menggerakan tangannya ke wajah, namun kali ini ia tidak menyeka dahi atau pipinya karena keringat. Laki-laki bermata lebar dan hidung bangir itu menyeka air yang membasahi kedua sudut matanya. Matanya berkaca-kaca mengenang masa-masa yang telah dilaluinya bersama Sundari.

Hampi lima belas menit Baskoro larut dalam suasana haru yang menguasai perasaannya. Lalu ia bangkit dari duduknya, dihirupnya nafas dalam-dalam. Setelah merasa cukup tenang, segera diayunnya langkah meninggalkan pohon asam dan kembali menyusuri jalan yang sepi itu. Tinggal beberapa puluh meter lagi ia akan sampai di jalan menuju desanya.

Sengaja Baskoro mempercepat langkahnya. Tiba-tiba ia mendengar suara langkah-langkah kaki di belakangnya. Belum sempat ia menoleh ke belakang dan mencari tahu siapa yang ada di sana, tiba-tiba saja …

“Huppp…”

Baskoro tidak bisa melihat sekelilingnya selain kegelapan. Ia panik, berusaha meronta-ronta untuk membuka benda yang menutupi kepalanya. Namun tampaknya ia kalah kuat. Tenaganya tidak mampu melawan. Sepertinya ada dua orang atau lebih yang membekap tubuhnya.

Samar kedengaran oleh Baskoro suara mesin sebuah kendaraan yang mendekat. Baskoro semakin mengerahkan tenaganya untuk melawan. Dalam kegelapan yang dilihatnya, ia pergunakan kedua kakinya dan berusaha menendang kesana-sini tak tentu arah.

“Buk… buk… bukk…”

Dua-tiga pukulan mendarat bersamaan mengenai kepala dan perut Baskoro. Sekonyong-konyong Baskoro merasakan mual dan pusing. Ia juga menahan sesak di dadanya. Hingga kemudian tubuhnya melemas dan ia sudah tidak sadarkan diri.

Rabu, 16 April 2014

Jangkrik Genggong

“Maaf, Mbak. Dari tadi saya lihat mbak berdiri di sini terus.”

“Eh, anu. Iya Pak. Saya lagi nunggu orang.”


“Jangan disini. Kasian Mbaknya, bisa sakit nanti.”

***
Jogja. Aku tak dapat melupakannya. Separuh jiwaku sepertinya tertinggal di kota ini, meski hampir dua tahun aku telah pergi ke Bandung dan berusaha melupakan kegagalan untuk menemukan tambatan hatiku. Ah, masa-masa itu ...

Dua tahun lalu sebenarnya ada cowok yang berusaha mendekatiku. Mungkin karena perbedaan usia antara aku dan dia, maka aku pun sengaja mengandaskan perahu asmara itu. Sudahlah, masa lalu tak kan mungkin diputar ulang kembali.

Hampir dua bulan ini aku jadian dengan Asep, pemuda Bandung yang wajahnya mirip vokalis Noah. Aku pertama kali bertemu dengannya akhir tahun lalu. Cukup menggelikan juga cerita waktu itu.

***
“Eh, Neng. Sendirian aja. Mampir sini!”

Aku menengok asal suara itu. Pria muda di balik gerobak berwarna biru Persib dengan tulisan besar berwarna putih: NASI UDUK KANG ASEP.
“Mmm…, ” aku menggumam pelan. Seperti biasa, sok jual mahal.

“Kok cicing wae atuh Neng.”

Aku merasa nggak enak mendengar kalimat itu. Basa-basi pun mau tak mau aku lakukan.

“Iya, Kang,” jawabku singkat.

“Daripada bengong, sumangga dicoba nasi uduknya. Tidak enak uang kembali, Neng.”

Bisa saja nih si penjual nasi uduknya. Ya sudahlah, kebetulan aku agak lapar.

“Boleh. Satu porsi ya Kang.”

“Siyaaap,” kata pria itu dengan mimik jenaka. Aku tersenyum dibuatnya. Dengan cekatan pria itu menyiapkan pesananku, tak sampai dua menit seporsi nasi uduk pun terhidang.

Sejak pertemuan itu, entah kenapa aku jadi sering ingin ketemu dengannya. Sepertinya aku ketagihan, entah ketagihan pada nasi uduk atau mungkin pada penjualnya. Ah, jadi malu nih …

***
Drrrrrrttt… Drrrrtttttt… Drrrrrttttt…

Tiga getaran di meja kecil itu. Sebuah pesan masuk di ponselku.

“Beib aya di manten?”

Ya ampun!! Aku baru ingat kalo sore ini Kang Asep mau berangkat ke Jogja. Katanya mau menghadiri annual gathering tukang nasi uduk se-Jawa dan Madura.

“OTW,” balasku singkat. Pake huruf kapital semua.

Aku buru-buru mencuci muka dan berangkat ke terminal Leuwi Panjang. Motor matic pun ku geber, meliuk-liuk di antara kemacetan jalanan kota kembang.

Huff, akhirnya sampai juga. Dari parkiran motor aku setengah berlari menuju pemberangkatan antar kota. Dari jauh, aku lihat si vokalis Noah melambai-lambaikan tangannya padaku.

“Untung belum berangkat,” kataku tersengal-sengal.

“Masih lima belas menit,” kata Kang Asep.

Aku mengatur nafas. Kuseka keringat yang membasahi dahi.

“Kang… “

“Iya, aya naon?”

“Aku takut perpisahan ini”

Busyet. Entah kenapa tiba-tiba aku berkata demikian. Spontan, nggak terpikir sebelumnya sama sekali. Mukaku memerah, sepertinya.
Kang Asep juga mendadak berubah air mukanya. Namun tak lama ia tersenyum kembali.

“Ah, itu biasa kok Beib. Ibu-ibu sekota Bandung pasti juga nggak rela kalo tahu Akang mau pergi. Kangen sama nasi uduknya Akang.”

“Bukan gitu kang,” kataku pelan. Sejenak aku terdiam menahan kecamuk di dadaku. “Aku takut kehilangan Akang. Aku cinta mati sama Akang.”

“Ah, masa sih?,” kata Kang Asep sedikit meledek diriku. “Akang juga cinta. Sampai mati.”

“Sampai mati?” Aku membalas meledeknya.

“Betul… Aduh, kok malah ngomong soal mati ini.”

 “Ah, hahaha… Emang Akang sudah siapkan pesan-pesan terakhir? Hahaha… “

“Hmmm…,” Kang Asep menggumam. Matanya mulai menyorotkan sifat nakalnya. “Kalo Akang mati duluan, tolong makamnya jangan ditaburi bunga ya Beib.”

“Loh, kenapa Kang?”

“Iya, jangan ditaburi bunga. Kan Akang jualan nasi uduk, jadi lebih baik ditaburi bawang goreng dan kerupuk saja. Hahaha…”

Kami berdua tertawa keras. Lepas. Tak peduli beberapa orang menengok kepada kami.

“O ya, Beib. Dua hari lagi kan palentin. Tunggu Akang pulang ya, pokoknya ada kejutan.”

“Kejutan apa, Kang?”

 “Wah kalo Akang bilang sekarang, bukan kejutan lagi atuh.”

Aku tersenyum kecil. Kami terus berbincang, hingga akhirnya perpisahan tiba. Kang Asep masuk ke bus. Dari dalam terdengar nyanyian bocah pengamen yang makin sayup seiring bus yang bergerak meninggalkanku.

Aku yang dulu bukanlah yang sekarang
Dulu ditendang sekarang ku disayang …



***

Lima lewat sepuluh. Wah sudah pagi. Pulas aku tidur semalam. Aku arahkan mataku ke jendela kereta. Gelap. Lagi mendung mungkin.
Semalam aku putuskan untuk berangkat ke Jogja. Aku sudah sms Kang Asep kalo valentine-an di Jogja saja. Beruntung, Kang Asep setuju.

“Jemput di stasiun tugu jumat pagi,” begitu sms terakhirku semalam, sebelum baterei ponsel habis. Aku lupa bawa powerbank, ponsel terpaksa off.

Lima tiga puluh. Kereta berhenti, di luar masih gelap juga. Aku bergegas turun. Seorang petugas membagi-bagi masker kepada penumpang. Aku lihat sekelilingku. Ah, turun hujan abu.

“Merapi meletus?” tanyaku kepada petugas itu.

“Bukan. Kelud.”


Aku berjalan ke teras stasiun sambil melihat wajah-wajah di sekelilingku. Tak ada si vokalis Noah itu. Ku pakai jaketku. Dan aku putuskan berjalan ke jalan raya di depan sana meski guyuran abu menerpa tubuhku.
Aku berhenti di ujung halaman stasiun. Dari pos jaga di sebelahku terdengar lantunan Waljinah dengan lagu Jangkrik Genggong yang legendaris itu.

Kendal kaline wungu
Ajar kenal karo aku
Lelene mati digepuk
Gepuk nganggo walesane



“Maaf, Mbak. Dari tadi saya lihat mbak berdiri di sini terus.”

Aku dikejutkan oleh suara pria berseragam putih-biru. Entah dari mana ia muncul, tiba-tiba dia ada di sampingku.

“Eh, anu. Iya Pak. Saya lagi nunggu orang.”

 “Nunggu dijemput ya, Mbak? Sebaiknya di dalam stasiun saja. Atau di pos jaga. Jangan disini. Kasian Mbaknya, bisa sakit nanti.”

“Terima kasih, Pak.”

Aku tak menghiraukan saran petugas itu. Barangkali dua tiga menit lagi Kang Asep sampai. Tak apalah menunggu berdiri di sini.

Di persimpangan jalan sana, sepasang pria dan wanita berjalan terburu-buru di tengah-tengah hujan abu. Dari cara jalan mereka, sepertinya sudah berusia lanjut. Keduanya berjalan bergandengan, dan akhirnya menghilang di tikungan. Ah, mesranya mereka …

Waljinah masih terus bernyanyi di pos jaga.
 
Jangkrik upo sobo ning tonggo
Melumpat ning tengah jogan
Wis watake prio jare ngaku setyo
Tekan ndalan selewengan



Dan aku masih menunggu Kang Asep. Menunggu kejutan darinya di hari Valentine ini. Entah berapa lama lagi.

Abimanyu

masih lekat di langit-langit ingatan
saat padang menghijau dan angin mendesir di ujung kemarau
dua jiwa kita saling terpaut serupa sepasang angsa di telaga saling berpagut
lalu pada dua pendar matamu aku jatuh tertawan

surya dan cakrawala adalah saksi abadi
sebuah ikrar suci terucap dua hati:
aku satu-satunya kamu
kamu satu-satunya aku

wai putra arjuna kekasih dewata
dengan berbusung dada kau datangi kurusetra
wai ksatria pandawa gagah perkasa
dengan nyawa kau gentarkan bharatayudha

ah, begitu lekas kau bergegas
sementara rasa itu masih membekas
dan sendiri ku redam perih tiada terperi
“selamat jalan abimanyu”

cinta sejatimu,
utari