Rabu, 18 Desember 2013

Afterglow

“Mamaaaa…!!!”

Deni bangun dan meloncat dari tempat tidurnya. Buru-buru remaja 13 tahun itu berlari keluar dari kamar. Dengan setengah berlari ia menuju ruang tengah.

“Mamaa!!!… Mama dimana??!!” sekali lagi teriak Deni terdengar memecah keheningan pagi. Dari ruang tengah ia menuju dapur mencari mamanya.

“Aduhh, Deni!! Nggak usah teriak-teriak gitu, Mama juga dengar.” Seorang wanita berumur empat puluhan menjawab teriakan Deni, sambil menggoreng telur dadar untuk sarapan pagi.

“Mama, ingat nggak ini tanggal berapa?”

“Tanggal lima. Emang kenapa?”

“Mama nggak ingat tanggal lima ini ada apa?”

“Mmm… Apa ya?”

“Ah, Mama. Ini kan hari ulang tahunnya Mas Fendy. Masa nggak ingat sama ulang tahun anak sendiri sih Ma?”

“Oh … Mama baru ingat sekarang.”

Fendy adalah kakaknya Deni, dua tahun beda umur mereka. Sejak empat tahun lalu Fendy sudah tidak tinggal di rumah itu lagi.

“Deni nanti mau ke tempat Mas Fendy. Mau ngucapin selamat ulang tahun.”

“Eh, kamu nggak sekolah?”

“Maksud Deni nanti setelah pulang sekolah. Mmmm … Enaknya dibawain apa ya, Ma?”

“Ya, terserah Deni mau bawain apa. Yang penting Mas Fendy suka”

“Martabak!! Iya, Mas Fendy suka banget ama Martabak. Mama bikinin ya martabaknya?”

“Ya udah, nanti Mama bikinin. Sekarang kamu mandi dulu. Terus sarapan dan berangkat sekolah. Nanti sore baru ke tempat Mas Fendy. Tapi ke sana mau sama siapa?”

“Mmm…, nanti Deni mau ajak Tia. Boleh kan, Ma?”

Mama hanya tersenyum kecil sambil mengangguk pelan.

“Ya udah, buruan mandi!”

***

Empat lewat sepuluh. Setelah berpamitan dengan mamanya, Deni pun berangkat bersama Tia. Sepeda motor matic pun segera meninggalkan kompleks perumahan menuju jalan raya.

“Eh, Tia. Kalo lagi naik motor berdua kaya gini, aku jadi ingat sama Mas Fendy dulu.”

“Ooh..” jawab Tia singkat.

Tia adalah teman sekelas Deni sejak SD sampai SMP sekarang. Rumahnya tak jauh dari rumah Deni. Dan Tia pun sudah cukup akrab dengan keluarga Deni.

Sebenarnya Tia bukanlah tipe cewek yang pendiam. Kalau sudah ngobrol dengan Deni, maka Tialah yang lebih banyak bicara. Soal apa saja, mulai pelajaran Matematika yang paling dibenci oleh Deni, mode pakaian yang lagi ngetrend, lagu dan film terbaru, sampai gosip artis. Namun kali ini Tia memilih menjadi pendengar. Dibiarkannya Deni yang ngomong lebih banyak. Apalagi kalau sudah membicarakan Mas Fendy, maka Tia lebih banyak diam.

“Iya, dulu aku sama Mas Fendy sering boncengan sepeda. Mas Fendy di depan, aku yang belakang. Kamu tentunya tahu kan?”

Mas Fendy memang dulu sering boncengin Deni pakai sepeda. Entah itu cuma sekedar berkeliling di dalam kompleks, atau berangkat sekolah sewaktu SD dulu. Mas Fendy itu seorang kakak yang baik, yang sangat menyayangi Deni. Kedua kakak beradik ini memang hampir selalu bersama-sama. Di mana ada Mas Fendy, di situ ada Deni pula.

Dari jalan raya, sepeda motor berbelok ke jalan yang lebih kecil. Tak banyak kendaraan yang melintas jalanan rindang dengan pohon-pohon waru yang berjajar di kiri-kanan jalan. Bayang-bayang pohon yang tersorot matahari sore pun jatuh di sepanjang jalan beraspal itu. Sementara di belakang pohon-pohon waru itu, terhampar sawah atau kebun yang tampak sedikit menguning karena sisa-sisa kemarau. Tak lama kemudian, sepeda motor berbelok memasuki jalanan sempit. Sebuah danau yang tenang berada di kiri mereka. Kemudian mereka pun berhenti dan turun dari sepeda motor.

“Hampir sampai,” kata Deni sambil tangannya menunjuk ke arah bukit kecil tak jauh dari danau itu. “Kayaknya kita jalan kaki sebentar ke sana.”

Lagi-lagi, Tia cuma mengangguk dan tak keluar sepatah kata pun. Ia cukup tahu, kalau saat-saat seperti ini tidaklah bijak untuk terlalu banyak bicara menanggapi apa yang dikatakan Deni. Ia pun berjalan mengikuti Deni, sambil menenteng sebuah bungkusan berisi martabak. Ya, martabak kesukaan Mas Fendy. Entah apakah Mas Fendy masih suka dengan martabak atau tidak.

“Dulu Mas Fendy juga sering ngajak Deni ke danau ini,” kembali Deni bercerita. “Ngajak mancing, atau cuma melihat-lihat pemandangan indah ini. Apalagi kalau sore kayak gini, kami suka berlama-lama menunggu matahari terbenam.”

Sesaat keduanya terdiam.

“Bahkan setelah matahari terbenam, kami masih saja enggan beranjak. Sisa-sisa cahaya yang masih menghias langit pun masih cukup indah untuk kami berdua nikmati,” lanjut Deni.

“Afterglow,” kata Tia pelan.

“Ya?”

“Itu namanya afterglow, sisa-sisa cahaya itu.”

“Oh…”

Sebentar lagi keduanya akan menaiki bukit kecil itu dan matahari akan mulai terbenam di arah barat sana. Tia masih tak banyak bicara. Tia tahu bahwa Deni masih belum bisa melupakan kepergian Mas Fendy empat tahun lalu karena sebuah kecelakaan yang menimpanya. Pagi itu Mas Fendy dan Deni sedang berangkat sekolah dengan berboncengan sepeda bersama teman-teman lainnya. Sepeda-sepeda kecil itu melaju cepat, berlomba-lomba untuk menjadi yang terdepan sampai di sekolah.

Mas Fendy yang memang jago olahraga dan berbadan lebih besar dari anak-anak yang lain, berada paling depan. Ketika hampir sampai di gerbang sekolah, entah karena kurang berhati-hati, Mas Fendy tidak bisa menghindari lubang di depannya. Mas Fendy dan Deni terpental. Mas Fendy terlempar dan kepalanya membentur tiang listrik, sementara Deni jatuh di aspal. Kedua kakak beradik itu pun dibawa ke rumah sakit. Namun Mas Fendy yang terluka parah di bagian kepala, akhirnya tidak tertolong dalam perjalanan. Deni bisa selamat meski harus menjalani perawatan beberapa hari di rumah sakit.

“Kamu tunggu disini,” kata Deni kepada Tia ketika mereka sudah sampai di atas bukit. Tia pun menyerahkan bungkusan di tangannya kepada Deni.

Deni berjalan menuju gundukan tanah dan sebuah batu nisan yang ada di depan sana. Sejurus kemudian, Deni pun berjongkok di depan pusara Mas Fendy.

“Selamat ulang tahun, Mas Fendy,” kata Deni Pelan. Kemudian ia tertunduk, dan tak lama bahunya terguncang-guncang.

Beberapa meter dari tempat Deni bertemu Mas Fendy, Tia berdiri kaku dan tak sanggup menyaksikan keharuan itu. Sementara matahari sudah tenggelam di barat dan sisa-sisa cahaya merah kekuningan masih menyemburat di langit senja itu.

Senin, 16 Desember 2013

Roro Jonggrang's Galau Story

Capek sekali hari ini.
Hari yang menguras pikiran dan tenagaku.

"Kulonuwun. Selamat sore, mbak …”

Suara seorang cowok membuyarkan lamunanku.

“Sore,” kujawab singkat. “Eh, kamu…”

“Iya , aku yang tadi siang itu.”



“Selamat datang para pengunjung semua. Anda saat ini sedang memasuki kawasan wisata Candi Prambanan.”

Seperti biasa aku memberikan ucapan selamat datang. Entah sudah berapa kali mulutku menuturkan kalimat ini sejak pagi.

“Mohon antri, jangan berdesak-desakan. Bagi yang sudah memiliki tiket silakan masuk melalui pintu sebelah kanan. Bagi yang belum memiliki tiket, silakan membeli di loket sebelah kiri. Tiga puluh lima ribu.”

Tiba-tiba muncul cowok, lumayan ganteng. Masih brondong pula.

“Maaf, Mas. Sudah punya tiket? Kalau sudah, silakan masuk.” kataku.

“Begini, Mbak. Saya ini wartawan, ingin meliput kegiatan wisata di sini.” kata si cowok.

“Oh wartawan. Sudah punya tiket? Bila sudah, tunjukkan tiketnya dan silakan masuk. Anda bisa meliput sepuasnya.”

“Apa saya perlu bayar tiket juga? Saya sebagai jurnalis datang ke sini untuk meliput dan menyebarluaskan kegiatan pariwisata di tempat ini. Tentu saja ini bermanfaat bagi tempat ini, dan menurut saya alangkah wajar jika saya dibebaskan dari membayar tiket.”

“Oh tidak bisa. Wartawan tetap bayar. Tiga puluh lima ribu.Sama dengan pengunjung lain, tidak kurang.”

“Gimana logikanya?!” katanya dengan nada meninggi. “ Lha orang saya mau mengiklankan tempat ini, kok disuruh bayar. Harusnya free. Gratis!”

Aku mulai kehilangan kesabaran.

“Hei, You!” teriakku jengkel. “You jadi wartawan pelit amat! You kan punya entitas, punya kantor tempat you kerja. Seharusnya you minta dana peliputan pada perusahaan! Mana ada wartawan melakukan tugas peliputan dengan biaya operasional sendiri???!!! Pasti itu sudah masuk beban operasional perusahaan!”

“Benar ngga mau kasih gratis? Oke, mohon dipermaaf. Saya akan boikot peliputan tempat ini. Saya juga akan mengultimatum kepada rekan-rekan jurnalis untuk memboikotnya juga!”

“Nuwun sewu! Kalo mau yang murah liputannya di pantai indrayanti, krakal atau drini. Cuma tiga ribu. Atau ke prapatan kantor pos besar dan malioboro, gratis!”

Akhirnya sekuriti datang menghalaunya pergi.



“Brandon.” Kata brondong itu.

“Hah?”

“Iya, namaku Brandon. Dari bondowoso”

“Oh..”

“Mohon dipermaaf kejadian siang tadi. Nama kamu, siapa?”

Eh, si brondong bondowoso ini mulai kurang ajar. Benar-benar nggak sopan, pake ngajak-ajak kenalan.
Aku diam, tak mau memperkenalkan namaku.

“Ayolah , lupakan saja yang tadi. Boleh kan kenalan?”

“Hmmm.. Roro” jawabku lirih.

“Maaf , kurang kedengaran.”

“Roro, Roro Jonggrang.”

Aku sebut namaku. Tentu saja bukan nama asli.

“Oh, seperti nama ..”

“Stop, jangan banyak nanya. Kayak wartawan saja!”

“Lha saya kan memang wartawan.”

“Aku bilang stop! Jangan banyak nanya!”

“Oh…”

“Oke, kamu kesini perlunya apa?”

“Begini Roro, sebenarnya saya sudah lama memperhatikanmu. Bukannya apa-apa, saya sangat terkesima melihat kecantikanmu.”

Aku diam saja, tetap dengan wajah jutek dan jaim. Sedikit jual mahal juga. Kubiarkan si brondong bondowoso ini ngomong sesukanya.

“Coba lihat ini.” Si brondong bondowoso merogoh sesuatu di tasnya. “Saya punya foto-foto Roro. Bagus sekali, cantik.”

“Dasar kampret!!” bentakku.

“Benar, saya anggota Kampret. Klub fotografi paling tersohor di seluruh nusantara.”

“Kamu mulai kurang ajar ya??!!”

“Oh tunggu, jangan marah dulu Roro,” kata si brondong gemetar. “Saya ini tak sembarangan memotret. Kalau saya memotret, pasti ada sesuatu yang luar biasa.”

Dasar gombal nih si brondong bondowoso. Aku mulai memperhatikan foto-foto itu.

“Hmm.. boleh juga fotonya” gumamku.

Aku takjub dengan foto-foto itu. Foto-foto diriku yang indah. Ada foto hitam putih yang klasik dan elegan. Ada juga foto diriku dengan latar belakang landscape yang memesona. Foto minimalis, foto dengan unsur-unsur garis, foto fesyen, ah semuanya luar biasa. Aku penasaran, bagaimana ia memotretku tanpa sedikit pun aku mengetahuinya.

“Kalau nggak keberatan, tolong Roro apresiasi foto-foto ini”

“Apresiasi? Ah, aku ngga bisa!”

“Oke. Foto-foto ini buat Roro saja”

“Hah?” Aku kaget. “Berapa harus bayar?”

“Tidak perlu bayar. Gratis.”

“Benar?”

“Benar ”

“Kok…?”

“Foto-foto ini sudah menang di duabelas edisi WePeCe, semacam lomba foto-fotoan gitu. Jadi aku dapat hadiah dan sudah balik modal.”

“Oh ..”

Aku kemudian terdiam.
Si brondong bondowoso juga diam.
Beberapa menit kami tanpa suara.

“Mmmm … Roro.”

“Iya”

“Mmmm … Mau nggak Roro jadi pacarku?”

Aku terdiam kembali.
Si brondong bondowoso juga diam.
Beberapa menit kami tanpa suara.

“Kalau mau jadi pacarku, ada syaratnya.”

“Syarat?”

“Iya.”

“Syarat apa?”

Aku pegang foto-foto itu. Aku lihat sata demi satu. Dua belas foto diriku yang benar-benar cantik.

“Aku mau foto-foto ini dilukis kembali pada tembok pasar beringharjo. Keduabelas gambar harus sama persis dengan foto-foto ini.”

Aku diam sejenak.
Si brondong bondowoso juga diam.
Beberapa menit kami tanpa suara.

“Sanggup?” tanyaku

“Baiklah, aku sanggup memenuhi permintaanmu, Roro.”

“Satu syarat lagi. Kamu harus merampungkan lukisan-lukisan itu besok pagi.”

“Besok? Jam?”

“Besok pagi, ketika terdengar suara musik gerobak tukang roti melintasi pasar.”

“Ok. Deal.”

Si brondong bondowoso membawa foto-foto itu dan meninggalkanku. Aku lirik jam tanganku, jam tujuh malam.

Aku tersenyum, aku yakin dia akan gagal.



Sudah jam empat pagi.
Semalam-malaman aku tak bisa tidur.

Entah kenapa, aku memikirkan si brondong bondowoso.
Ah, mending aku lihat si brondong di pasar beringharjo. Aku pun berjalan kesana.

Aku lihat si brondong melukis tembok pasar itu. Lukisan yang indah!
Satu, dua, tiga … Oh tidak. Dia sudah menyelesaikan sebelas.
Tinggal satu lagi dan dia akan jadi pacarku. Tidaaaak!!!

Aku berlari menuju satu rumah tak jauh dari pasar.
Kuketuk pintunya pagi-pagi buta.

“Ono opo nduk?” tanya pemilik rumah.

“Maaf pakdhe. Saya pinjam gerobak rotinya.”



Kukayuh gerobak roti dengan terengah-engah.
Tubuhku kuyup oleh peluh.

Aku sampai di pasar.
Si brondong hampir selesai.
Buru-buru hendak ku putar jingle tukang roti.

Tapi…

“Priiiiiitttt!!!”

Seorang satpol PP muncul dari kejauhan.

“Hei, kalian berdua! Apa-apan ini???!! Kalian mengotori tembok!!!”

Dia berlari ke arah kami.
Kubalik arah dan kukayuh gerobak roti sekencang-kencangnya.
Si brondong kabur entah kemana.

Lalat

Musim panas semakin menyengat. Mungkin banyak makhluk yang tidak nyaman dengan keadaan ini. Rumput dan tanaman tak lagi berwarna hijau segar. Debu-debu beterbangan membuat semakin kotor jalanan kota. Namun bagi kami, musim panas yang kotor justru menjadi suatu kegembiraan. Ini adalah tempat bermain yang paling menyenangkan, apalagi bagi lalat seumuran aku yang memang lagi senang-senangnya bermain.

Tempat sampah adalah taman bermain yang mengasyikkan bagi aku dan teman-temanku. Sambil beterbangan atau bermain kejar-kejaran, aku bisa sesekali hinggap di plastik, kertas atau wadah bekas makanan yang ada di tempat sampah ini. Sisa-sisa makanan yang membusuk justru menjadi favorit bagiku, tentu juga bagi kaumku.

Hari ini aku dan teman-temanku berencana bermain, sambil cari makanan, di tempat yang agak jauh. Ya, meski menurutku di tempat sampah ini makanan cukup meruah namun suasana cukup membosankan. Wajar, tiap hari hanya tempat ini yang kami ubek-ubek. Ke mana kami akan bermain, aku belum tahu. Ikut kemauan teman-teman saja. Ah, jadi penasaran …

***

Juli 2014. Musim panas tahun ini akan bertambah panas di kota Utopia. Beberapa bulan ke depan akan diadakan pemilihan walikota dan walikota. Dua pasangan kandidat sedang gencar-gencarnya berkampanye. Keduanya memiliki kekuatan yang cukup seimbang, beberapa survei atau polling dari lembaga independen menunjukkan hasil yang cukup ketat dengan selisih keunggulan yang hanya 3 - 5 persen saja. Tidak ada yang berani memastikan pasangan mana yang bakal menjadi mayor di kota Utopia.

Harry Turner, salah satu calon walikota memiliki track record sebagai pebisnis IT dan media yang sangat sukses. Berbagai media nasional ternama miliknya menguasai dunia pertelevisian dan media online selama 10 tahun terakhir. Pasangannya, Warren Reinn adalah mantan militer yang sangat berpengaruh bagi pemerintah sebelumnya semasa ia masih aktif.

Sementara calon walikota dan wakil walikota lainnya, Jack Wood dan Dahl Asken adalah pasangan politisi yang dikenal dekat dengan masyarakat. Keduanya pernah menjabat walikota dari daerah lain sebelum bertandem saat ini. Meski berasal dari partai yang berbeda, keduanya memiliki kesamaan karakter yang mengutamakan etos kerja positif yang sudah terbukti mampu mengatasi permasalahan di periode masa bakti sebelumnya.

***

“Jadi mau kemana hari ini?” Tanyaku kepada empat temanku.

“Belum tahu. Lihat aja nanti, pokoknya cari suasana baru. Emang ngga bosen disini mulu?“

Kami berlima terbang meninggalkan tempat sampah yang sudah sekian lama menjadi markas. Dari markas ini kami menyusuri jalan kota yang mulai ramai dengan kendaraan.

“Eh lihat bangunan yang tinggi itu. Kita taruhan, siapa yang bisa masuk ke dalam dan mencapai tingkat paling atas,” kata seorang temanku

“Yang lain gimana?” tanyaku.

Sejenak hening.

“Ayo! Siapa takut??!!“

Kami meluncur. Beradu cepat menuju lantai pertama. Aku berhasil berada di urutan terdepan.

BRAKKK!!!

Sial! Aku menabrak kaca, kurang berhati-hati. Keempat temanku tertawa mengejekku, mereka berhasil menyusul dan mendahului masuk melalui pintu.

***

“Pak Turner, posisi kita saat ini cukup ketat bersaing dengan Wood-Asken. Sepertinya masih belum ada celah yang bisa kita manfaatkan untuk menjatuhkan mereka.“

“Masih ada waktu beberapa bulan lagi, Reinn. Saya masih punya rencana pamungkas untuk memenangkan pemilihan nanti.“

“Hmmm … Seperti apa itu?”

Harry Turner tersenyum. Dilihatnya ada sedikit kecemasan yang tergambar di wajah Warren Reinn.

“Jangan khawatir, Reinn. Tak ada orang yang sempurna. Jika tidak bisa mencari kelemahan mereka, cobalah dengan orang terdekat. Istri, anak atau siapa saja,” kata Turner. “Dan aku pastikan, aku akan mampu menemukannya. Lihat saja nanti.“

***

Aku ketinggalan jejak teman-temanku. Ku susuri ruang demi ruang yang cukup bersih dan sejuk ini. Dari lantai pertama, aku menuju tangga yang menghubungkan dengan lantai berikutnya. Sepi, tak ku lihat teman-temanku. Aku mulai memperlambat laju terbang.

“Ah, mending berhenti sebentar aja,” gumamku.

Aku pun mendarat di salah satu dinding. Ku perhatikan situasi sekelilingku. Lantai, dinding, atap lorong-lorong pada bangunan ini sangat bersih. Nggak cocok buat aku yang terbiasa dekil.

Tapi, oh…, tunggu dulu…

Aku lihat seekor lalat, sepertinya, tapi bukan salah satu temanku. Ia sedang menempel di dinding sebelah sana. Bentuk tubuhnya agak aneh, sedikit lebih besar dari ukuran kebanyakan dengan warna yang tak lazim. Hmm… Siapa dia?

“Halo… Apa kabar?” Aku mencoba bertanya.

Dia tak menjawab. Ah, mungkin dia yak mendengar.

“Apa kabar?” Aku mengeraskan suaraku.

Dia tetap diam, lalu terbang. Tapi cara terbangnya aneh. Cukup lambat untuk lalat sebesar dia. Aku mencoba terbang mengikutinya. Ia masuk ke suatu ruang, aku membuntuti. Lalu hinggaplah ia pada sebuah meja yang ada di ruang itu. Aku hinggap di dinding, agak jauh darinya.

Aku lihat isi ruangan. Ah, ada sepasang manusia sedang duduk berdua, begitu berdekatan. Saling berbincang, sangat pelan dan nyaris tak terdengar.

Aku lihat keduanya semakin merapat. Lalu mereka berangkulan. Kemudian mendekatkan kepala satu dengan yang lain. Keduanya mirip lalat jantan dan betina yang sedang birahi saat musim kawin.

Tak lama kemudian mereka melonggarkan pakaiannya. Bagian tubuh atas mulai terbuka. Dan …

Aku menahan nafas.

Tiba-tiba mereka berhenti. Satu manusia yang berambut lebih pendek menunjukkan tangan ke arah meja. Ya, ke arah lalat aneh tadi berada.

Aku mulai ketakutan. Aku mencemaskan lalat aneh itu.

Sepintas kemudian, satu manusia yang berambut panjang membawa suatu benda di tangannya. Dan dipukulkannya benda itu ke lalat aneh itu.

Prakk!!

Aku buru-buru terbang meninggalkan tempat itu. Entah bagaimana nasib si lalat aneh.

***

Suasana kota Utopia beberapa hari terakhir memanas. Apalagi setelah media-media setempat gencar memberitakan skandal seks yang dilakukan oleh Jimmy Asken. Sebuah video berdurasi tiga menit mempertontonkan putra sulung dari Dahl Asken itu sedang bermesraan dalam sebuah kamar hotel dengan teman wanitanya.

Skandal ini spontan dimanfaatkan oleh pasangan Turner-Reinn. Melalui media-media yang dimiliki oleh Turner, headline sepanjang minggu itu sengaja ditujukan untuk menjatuhkan Wood-Asken.

Di salah satu gedung, sebuah perayaan kecil terjadi. Harry Turner, Warren Reinn dan beberapa orang ada di tempat itu. Mereka seolah sudah mendapatkan kemenangan, meski proses pemilihan walikota masih beberapa bulan lagi.

“Mari, kita rayakan kemenangan awal ini,” kata Turner sambil mengangkat gelas berisi anggur. Orang-orang di tempat itu pun mengikuti mengangkat gelas mereka. Lalu mereka meminumnya.

“Tak lupa saya perkenalkan seorang supermodel cantik, yang sukses membantu misi ini. Anita!“

Tepuk tangan terdengar. Seorang wanita bertubuh tinggi dan berwajah cantik, berdiri.

“Juga anak muda pintar di tim IT kita, Dani!“

Tepuk tangan kembali terdengar dan seorang pemuda berkaca mata berdiri.

“Saya sebenarnya cukup terkejut dengan ide gila yang kalian lontarkan. Dan saya pikir keberuntungan tengah berpihak kepada kita.“

“Saya salut dengan kepiawaian Anita untuk menaklukkan pria dari keluarga Asken itu. Dalam hal ini, saya mengakui bahwa dia adalah ahlinya. Kita tak meragukan hal itu bukan?“

Gelak tawa terdengar memenuhi ruangan.

“Dan apa yang disebut dengan ahli teknologi spionase, saya tak ragu menganugerahkan gelar itu kepada Dani. Dengan robot-robot ultramini berkamera yang diciptakannya maka skandal itu sukses direkam.” kata Turner sambil memperlihatkan benda yang disebut robot di tangan kirinya.

“Sempat saya khawatir Jimmy Asken mengetahui kehadiran robot itu, sebelum Anita buru-buru menghancurkannya. Beruntung, memori video bisa terselamatkan.“

Turner meletakkan bangkai robot ultramini itu di meja, sebuah robot yang berukuran sedikit lebih besar dari seekor lalat.

Selasa, 10 Desember 2013

Kopi dan Gerimis Pagi

secepat ini
kopi menjadi dingin
sementara hujan semalam
masih menyisakan gerimis pagi
yang memudarkan jendela

tapi ada mimpiku di luar sana
bukan sekedar mimpi saat tidur lelap
tapi justru mimpi yang tak pernah
membiarkanku terlelap

mungkin gerimis kali ini
adalah sapaan lembut untuk mengejar mimpi
maka biarlah ia mengalir
menyapa bumi

selamat pagi

Senin, 09 Desember 2013

H2O + CH2O = Cinta?

04.00
Seperti pagi-pagi sebelumnya, Sam terbangun dari tidur karena deringan alarm dari ponsel. Dan seperti pagi-pagi sebelumnya, Sam pun mematikan alarm itu untuk segera melanjutkan tidur kembali. Di luar jendela, sepertinya ia mendengar suara hujan turun. Tidak terlalu jelas baginya, apakah itu benar-benar suara hujan atau bukan. Lagi pula siapa yang peduli dengan hujan pagi-pagi begini. Sam lebih peduli untuk segera menarik selimut dan melingkarkan tubuh di bawahnya.

06.00, lewat sedikit sih …
Sam pun terbangun, dan kali ini benar-benar (harus) bangun. Walaupun masih bermalas-malasan saja di dalam ruang kamarnya. Dan masih saja Sam dengar hujan yang turun di luar kamar. Hmmm … bikin malas ngapa-ngapain.

Hujan yang turun sedari pagi adalah hujan yang selalu membawa memori.
Memori tentang aku dan kau: sang kodok dan sang bangau …


Demikian ditulisnya sebuah status yang tak jelas artinya di media sosial melalui Blackberry. Sama tak jelasnya dengan Sam, apakah mau berangkat kerja tepat waktu atau sengaja molor atau telat. Ya, memang biasanya Sam juga berangkat telat kok. Tapi dengan adanya hujan kayak gini sepertinya akan sangat mendukung ketelatan itu.

07.00, kurang lima belas
Sam masih saja bermalas-malasan di kamar. Membaca satu per satu dan mengomentari status di media sosial sepertinya memang lebih menarik daripada harus buru-buru mandi dan bersiap-siap berangkat kerja. Hujan, hujan dan hujan. Ya, hampir semua teman menulis tentang hujan pagi ini.

07.00, sepertinya lewat sepuluh. eh, lewat duapuluh …
Sebelum beranjak dari kamar, kembali Sam tulis sebuah status. Status yang sama-sama tak jelas seperti yang pertama tadi

“Let me go! Let me go!” rontaku kepada kasur yang hendak mencegahku pergi menerobos hujan pagi …

Sam pun segera mandi, dan kemudian berangkat kerja

08.00, tentu saja lewat
Datang terlambat, sudah seperti biasa. Jalanan memang tidak macet, tapi hujan memaksa Sam tidak bisa ngebut mengendarai motor. Baju dan celananya sedikit basah karena mantel yang dipakai sudah mulai bocor sana-sini.

Sampai di meja kerja, Sam menyalakan komputer. Tak lupa meminta bantuan office girl untuk membuatkan secangkir kopi. Hujan masih saja turun, tak ada tanda-tanda mau berhenti. Sam menulis (kembali) sebuah status singkat. Di media sosial, dan juga di Blackberry.

Hujan + Formalin = Awet

dan kemudian Sam bekerja

12.00, nggak boleh telat
Ya, untuk urusan makan siang memang nggak boleh telat. Kata dokter dan pakar-pakar kesehatan, telat makan itu mengganggu kesehatan. Dan kalo kesehatan terganggu, tentu akan berpengaruh terhadap produktivitas, baik itu produktivitas dalam bekerja dan juga menulis status tentunya. Haha …

Sam lihat notifikasi di Blackberry, ada yang memberikan jempol pada status-status yang ditulisnya. Juga ada sebuah pesan masuk di Blackberry-nya.

Oh, dari seseorang. Someone special. Sam pun membalasnya

Usai istirahat, sembari melanjutkan pekerjaan Sam pun sesekali berbalas pesan dengan someone special tadi. Hujan masih saja turun, berhenti sebentar, lalu turun lagi. Benar-benar hari ini hujannya awet. Mungkin bagi orang lain hari ini bukanlah hari yang menyenangkan, tapi tidak demikian bagi Sam. Meski tidak sedikit pun matahari memberikan cahayanya hari ini, wajah Sam tetap terlihat ceria.

Waktu terus berjalan, siang menuju sore. Masih saja hujan di luar sana, dan masih saja Sam berbalas pesan dengan seseorang. Sepertinya air hujan (H20) yang turun hari ini bercampur dengan formalin (CH2O), benar-benar awet.

Seawet keceriaan Sam hari ini. Ceria karena sebuah rasa.

“H2O + CH2O = cinta?“

Kopi Terakhir

tak ada yang istimewa pada sesap pertama
bibirku di cangkir kopi ini
setengah jam lalu

juga basa-basi kita di kafe ini
tentang acara televisi dan gerimis yang tak reda
atau rasa dingin yang merayapi tiap jengkal waktu

kata demi kata yang kita ucap
tak ubahnya kepulan uap robusta
segera lenyap. tak ada yang kuingat

secangkir kopi. sepenggal hujan. juga obrolan
hanyalah pembunuh waktu
bagi dua jiwa asing yang baru bertemu

hingga kau pergi dan kuikuti langkahmu dengan mataku
baru kurasa nikmat reguk terakhir kopi ini
yang sedari tadi aku ingini

Minggu, 08 Desember 2013

Kucing

Hari memang belum gelap. Namun cuaca mendung yang hampir sepanjang hari ini menyembunyikan keberadaan matahari membuat diriku enggan meninggalkan tempat untuk berjalan-jalan. Bahkan untuk sekedar menggerakkan tubuh pun aku merasa malas. Ya, di sore yang sedikit berangin seperti ini memang tidak ada pilihan yang mengasyikkan selain berdiam diri saja. Apalagi jika setelah beranjak malam nanti gerimis atau hujan turun, rasa-rasanya membuat keenggananku semakin berlipat saja.

Aku masih ingat setahun yang lalu ketika hujan hampir setiap hari turun. Saling merapatkan diri dengan ketiga saudaraku menjadi kegiatan sehari-hariku. Kami masih berumur beberapa bulan saja saat itu. Kami berempat dibawa oleh mama menuju sudut plafon sebuah rumah kosong. Di tempat tak berpenghuni itu berhari-hari kami tinggal. Kadang kami saling berebut merapatkan tubuh kepada mama untuk menghangatkan diri, menyusu dan kemudian tertidur lelap di pelukan mama ketika hawa dingin menyergap malam. Ah, masa-masa indah itu…

Kata mama, lahir dan hidup sebagai kucing kampung memang harus selalu berjuang. Tidak semua kucing kampung memiliki tuan, yaitu manusia, yang memelihara dan memberi makan setiap hari. Tubuh kami yang ramping dengan bulu-bulu pendek dan tidak banyak memiliki variasi warna mungkin saja menjadi penyebab manusia tidak selalu tertarik dan sudi menjadi tuan serta memelihara kami. Dan kami termasuk golongan kucing kampung yang tidak memiliki tuan.

Untuk berjuang hidup, mama setiap hari mencari-cari atau lebih tepatnya mengais sisa-sisa makanan yang dibuang manusia dalam kantong-kantong plastik di tempat sampah. Tak jarang mama juga harus mendapatkan makanan itu dengan cara mencuri dari dalam rumah atau warung milik manusia. Semua demi kami berempat, anak-anaknya. Bukankah mencuri itu suatu tindakan tak bermoral? Tapi kata mama, hal itu akan disebut tidak bermoral jika yang melakukannya adalah manusia. Tetapi bagi seekor kucing, tindakan ini adalah sebuah bentuk tanggung jawab. Ah, aku bingung! Mungkin aku masih terlalu muda untuk bisa memahami apa yang dikatakan mama.

“Terima saja kelahiranmu sebagai kucing kampung tak bertuan. Jangan suka mengeluh!”

Begitu hardik mama setiap kali aku atau saudaraku mengeluh tentang nasib kami. Kadang aku merasa iri dengan kucing kampung lainnya yang hidupnya dipelihara manusia. Makan sedikit lebih enak dan teratur, serta tidur di tempat yang nyaman tentu saja menjadi hal yang tidak pernah aku nikmati. Tubuh mereka lebih bersih dan terawat, tak seperti kami. Tapi memang, di samping semua itu aku juga merasa senang menjadi kucing kampung yang bebas kelayapan bermain kemana saja.

Pernah juga aku mencoba membanding-bandingkan diriku dengan angora. Bulu-bulunya memang cantik dan tentu saja membuat manusia sangat memanjakannya. Pantas saja kucing malas itu menjadi sombong saat bertemu denganku. Benar-benar aku jengkel dengan kepongahannya itu. Suatu hari aku mencoba mengerjai si angora itu untuk memberinya pelajaran. Tanpa diketahuinya, aku mendekat ketika dia sedang bermalas-malasan di teras rumah.

“Meoooongg…. !!!”

Dia berteriak kaget melihat kehadiranku dan berusaha menjauhi tubuh kotorku. Namun aku terus bergerak memepetnya, dan segera aku kibas-kibaskan tubuhku di depan si angora malas dan sombong itu. Dan seperti yang kuduga, dia pun langsung bersin-bersin dengan hebat. Aku pun segera lari menjauh, sambil tersenyum penuh kemenangan.

Namun dari semua makhluk yang ada, maka manusia adalah yang paling membingungkan bagiku. Ada yang terlalu banyak berkata-kata, tapi ada juga yang selalu diam seribu bahasa. Ada yang berwajah ceria, tapi yang bermuka galak pun juga ada. Terlebih lagi dengan tuan si angora itu. Sewaktu-waktu pria muda itu bersikap ramah dan sayang dengan wanita muda yang tinggal di rumah itu. Digandengnya dengan lembut, juga diciumnya mesra. Namun di lain waktu pria itu bersikap lain. Pernah aku lihat dia berteriak kasar bahkan memukul wanita itu hingga membuatnya menangis.

***

Pagi ini aku buka mataku. Cuaca lebih cerah dibanding kemarin. Namun aku masih enggan beranjak keluar.

“Jalan-jalan yuk!” Aku kaget melihat temanku yang tiba-tiba ada di depanku, entah datang dari mana.

“Kemana?” tanyaku.

“Cari makanan.”

“Hmmm…”

Aku pun bangun dan berjalan mengikutinya.

“Cari dimana?” tanyaku lagi.

“Pasar.”

“Pasar?”

“Ya, disana makanannya lebih enak dan banyak pilihannya.”

“Tapi lumayan jauh tempatnya. Aku belum pernah ke sana.”

“Sejak kapan kucing kampung seperti kamu takut berjalan jauh?”

Aku diam saja. Lebih baik aku ikuti saja ajakannya. Kami terus berjalan keluar dari perumahan, lalu menyusuri jalan yang lebih lebar dan ramai. Ini pertama kali aku keluar dari perumahan. Aku sedikit takut dengan keramaian itu.

“Kenapa? Takut?” tanyanya.

Aku diam saja.

“Sebagai kucing, kita tidak perlu takut dengan keramaian jalan. Tak perlu takut terhadap manusia yang melintas dengan berbagai kendaraannya.”

Aku masih diam saja mendengar khotbah pagi itu.

“Justru manusialah yang akan takut kepada kucing. Mau lihat buktinya?” Lalu dengan santainya dia berjalan menyeberangi jalan. Tiba-tiba dari arah kiri terdengar suara mendecit begitu keras. Sebuah sepeda motor berhenti mendadak.

“Kucing sial!” teriak seorang manusia yang hampir saja menabrak temanku. Lalu manusia dengan sepeda motornya itu berjalan kembali. Dari seberang jalan, kulihat temanku tersenyum.

“Benar kan? Manusia yang takut kepada kucing,” katanya.

Aku menunggu jalan sepi, lalu menyeberang jalan. Tak lama perjalanan kami berhenti di sebuah tempat yang besar dan ramai dengan manusia. Dan kami makan besar pagi ini.

***

Hari mulai sore. Kami berdua meninggalkan pasar, berjalan beriringan di pinggir jalan besar yang pagi tadi kami lewati. Namun sore ini sudah tak seramai pagi tadi. Sungguh hari ini aku merasa gembira sekali.

“Berani menyeberang?” temanku bertanya padaku, lebih tepatnya mengejekku. Belum sempat aku menjawab, ia berjalan menyeberang jalan.

Darrr!!

Aku mendengar bunyi yang mengerikan. Aku lihat temanku tergeletak bersimbah darah, tak bergerak di jalan. Seorang pria muda keluar dari mobil dan melihat mayat temanku yang baru saja ditabraknya. Aku terdiam dan ketakutan di pinggir jalan, lalu bersembunyi di balik pohon. Dan pria muda itu, ah aku mengenal dia. Tuan si angora yang pongah itu. Pria yang pernah ku lihat begitu lembut dan mesra, namun juga pria yang kasar dan tak menghormati wanita.

Pria itu terlihat panik dengan apa yang baru saja terjadi. Ia berjalan mondar-mandir kebingungan. Entah apa yang sedang berkecamuk di pikirannya. Mungkin kebingungan dan ketakutan yang sama seperti yang aku alami.

Ku lihat pria itu mengambil sesuatu dari mobilnya. Semacam sebuah tongkat, atau entah apa itu. Ia berjalan kembali ke arah temanku. Dilepaskannya baju yang dipakainya, lalu dengan hati-hati diangkatnya mayat temanku, serta dibungkusnya dengan baju itu.

Pria itu berjalan ke pinggir jalan. Sementara diletakkannya bungkusan itu ke tanah, ia mulai menggali-gali dengan tongkat yang dibawanya. Dengan hati-hati dikuburkannya bungkusan itu ke dalam lubang, kemudian ditimbun kembali dengan tanah.

Aku masih kebingungan. Dia yang pernah aku kenal sebagai pria yang tak menghormati manusia sesamanya, tapi mengapa malah kini berubah dan tiba-tiba begitu hormat kepada kucing. Lagi-lagi, aku merasa manusia adalah makhluk yang paling membingungkan bagiku.

“Sebagai kucing, kita tidak perlu takut dengan manusia. Justru manusialah yang akan takut kepada kucing.”

Aku teringat apa yang diucapkan temanku pagi tadi. Aku bingung, sangat bingung. Dan aku pusing, sangat pusing.

Urban's Song

Pada dawai-dawai yang mendenting
dari bilik sembilan meter persegi di sebuah malam
sebuah intro lembut, antara largo dan adagio
dan humming lirih sang penyanyi
yang berlegato tentang impian
yang dibawanya dulu sebelum ke kota
tentang sebuah masa depan
tentang cinta dan harapan

Sebuah verse pun dibuka
dalam E mayor datar bersahaja
dikisahkannya segala daya
untuk menjadikan hidup bermakna
sebagai pekerja kontrak berupah tak seberapa

Ketika chorus dinyanyikannya
berubah crescendo yang menghentak
dijeritkannya pilu yang lama terpendam
dikeluhkannya hidup yang pas-pasan
dipertanyakannya impian yang tak juga datang

Ketika interlude dimainkannya
dalam dawai tercabik penuh distorsi
dalam stakato sarat emosi
diluapkannya marah tak tertahan

Ketika overtone diteriakkannya
dalam falseto yang mengiris hati
Dimakinya nasib juga takdir
Diserapahinya hidup yang tak adil

Dawai-dawai berhenti mendenting
sang penyanyi mendadak hening
tanpa coda, tanpa ending
tak sempat diselesaikan lagunya
dibiarkannya semua penuh tanya
dalam sebuah putus asa

Kuda Lumping

Hingar-bingar tetabuhan telah berhenti. Pun lenggak-lenggok dan rancak tarian usai sudah. Satu per satu manusia mulai beranjak pergi, menyisakan hening yang kini menguasai waktu. Panggung kecil itu kini sepi, tenggelam dalam keremangan senja. Semua diam. Hening yang nyaris kekal.

Seperangkat alat musik teronggok membisu, berbaur bersama kostum warna-warni para penari yang basah dan bau peluh yang dibiarkan terserak. Sebatang pecut dari pilinan tambang berwarna coklat kusam tergeletak di sudut sana. Dan di dekat pecut itu, dua makhluk serupa kuda terbuat dari anyaman bambu berhimpit bersandar pada tiang besi yang mulai berkarat. Satu kuda berwarna putih, satunya hitam.

Tapi, hai coba lihat! Dua kuda hitam dan putih yang tadi diam itu kini bergerak-gerak perlahan. Dan keduanya kini berhadap-hadapan. Aneh, bahkan mereka berbicara layaknya manusia.

“Putih!” ucap kuda hitam. “Sudah berapa lama kamu disini?”

“Mungkin empat belas tahun. Atau lebih,” jawab kuda putih. “Kenapa?”

“Ya, ya … selama empat belas tahun itu, apa yang kamu rasakan?”

“Apa yang aku rasa? Ah, kenapa kau tanyakan ini? Kita ini hanyalah kuda, maksudku makhluk yang menyerupai kuda. Tidak ada sesuatu yang istimewa yang aku rasakan. Itu saja.”

“Tidak ada sesuatu yang istimewa? Ah, kamu terlalu bodoh!”

“Bodoh? Oh, aku memang tidak pernah menganggap makhluk seperti kita ini pintar. Tidak ada yang bisa dibanggakan, biasa-biasa saja.”

“Biasa-biasa saja?”

“Ya, ya… begitulah! Kita hanya menuruti apa yang dikehendaki oleh penunggang kita. Kalau dia mau ke kiri atau ke kanan, maka kita juga ke kiri atau ke kanan. Dia maju, kita maju. Dan dia diam, kita ikut diam. Menurutmu bagaimana?”

“Itu benar. Bahkan orang yang menunggang kita itu juga tak ubahnya seperti kita. Dia juga hanya menuruti si pemimpin yang memegang pecut itu. Bahkan semua orang yang ada disini tunduk kepada perintah pemimpin itu. Penabuh-penabuh musik, penari-penari, juga penyembur api juga semua di bawah kendali pemimpin berpecut itu.”

“Semua tunduk? Ah, aku tidak melihatnya begitu. Aku sering melihat penunggang kita mencoba melawan pemimpin itu. Atau setidaknya berusaha tidak selalu sejalan dengan kehendak si tukang pecut itu.”

“Hahaha … Kamu benar-benar bodoh! Semua itu hanyalah permainan, hanya sebuah sandiwara saja. Semua sudah diatur oleh si tukang pecut itu. Para penunggang kita itu memang seolah-olah melawan. Mereka seolah-olah berargumen ini itu dan bertindak tidak sependapat dengan si tukang pecut itu. Tapi sebenarnya mereka hanya berpura-pura saja, karena ujung-ujungnya kemauan si tukang pecut itulah yang harus dilaksanakan.”

“Mmm …”

“Aku jadi kasihan dengan rakyat yang menonton sandiwara ini. Mereka mengeluarkan duit hanya untuk melihat kepura-puraan ini. Mungkin mereka ada yang tertawa terbahak. Ada yang ikut berteriak-teriak penuh emosi terbawa permainan ini. Bahkan tak jarang anak-anak menjerit karena ketakutan karena pertunjukan ini. Tapi sebenarnya, semua yang ada di depan mereka adalah kepura-puraan belaka. Sungguh kasihan!”

“Jika demikian, para penampil pertunjukan ini sungguh berdosa. Terlebih pemimpin dengan pecut itu, berdosa besar!”

“Seharusnya memang demikian. Tapi jangan pernah berharap itu terjadi. Yang ada di kepala mereka hanyalah bisa meraup duit sebanyak-banyaknya. Semua hanya untuk kepentingan mereka sendiri.”

“Cukup, cukup. Aku pusing mendengar semua ini!”

Sejenak hening.
Hitam terdiam, putih juga demikian.

“Oh ya, kamu tadi tidak setuju kalau aku menganggap makhluk seperti kita ini tidak memiliki keistimewaan. Apa maksudnya?”

“Begini, memang kita hanya makhluk sederhana. Namun dalam kesederhanaan itulah kita menjadi lebih daripada makhluk lain, dalam beberapa hal.”

“Mmm …”

“Setidaknya, keberadaan kita bisa membuat orang-orang menjadi sehat.”

“Sehat?”

“Tentu saja. Ketika orang menunggang kita, maka kita seolah-olah berlari kesana kemari. Padahal orang itu sendiri yang berlari, bukan kita.”

“Ah haha … Benar, benar. Jadi kalau mau sehat, tunggangi kita saja. Berolahraga sambil menunggang kita. Ini cocok buat siapa saja, terutama yang perutnya tambun seperti tuan-tuan pejabat di sana. Haha…”

“Begitulah … Selain sehat, juga bebas polusi. Lagipula tidak terpengaruh harga minyak mau naik atau tidak.”

“Lalu, apa lagi keistimewaan kita?”

“Kita ini anti korupsi.”

“Maksudnya?”

“Ah, masa tidak tahu. Mana ada para pejabat korupsi karena kuda lumping. Yang ada juga korupsi karena yang lain. Sapi, bawang putih, …”

“Stop, jangan lanjutkan! Mending kita istirahat saja .”

Jumat, 06 Desember 2013

Oh Madiba. Oh Mandela


masih kami ingat kemarin
seulas damai merekah di senyummu
di antara gempita vuvuzela
di tengah rancak Waka Waka


lalu ingatan kami melambung-lambung
di silam masa. berpuluh-puluh tahun
masih dengan senyum yang sama
ketika engkau menggores cerita


sang singa perkasa
berlari sigap di gurun raya
mengaum lantang di tanah afrika
menggugat. melawan. menentang


jiwa-jiwa lalim istana apartheid
yang membeda-beda manusia
terkotak-kotak oleh belenggu ras
dalam hitam atau putih yang fana


“Oh Madiba, Oh Mandela”


dalam hening kami gemetar
sebuah duka telah terdengar
dan engkau kini pergi
menuju rumah yang abadi


dalam lonceng gereja yang berdentang
ketika azan syahdu berkumandang
terucap tulus doa-doa kami
menghantar sang pahlawan sejati


“Oh Madiba, Oh Mandela”


selamat jalan sahabat
selamat jalan pahlawan

Kamis, 05 Desember 2013

Telor

Aku dan saudara-saudaraku barulah berusia 3 hari. Dalam keadaan remang dan nyaris gelap yang kami alami, satu-satunya makhluk yang paling bisa aku percaya tentu saja adalah ibu. Ya, ibu yang selalu setia memberikan kehangatan bagi kami berdelapan.

"Sebaik-baik telor adalah yang bisa memberikan manfaat bagi manusia."

Demikian nasihat yang ibu katakan kepada kami. Entah bagaimana wujud manusia itu, aku belum tahu. Wujud ibuku saja aku belum melihatnya. Butuh waktu 3 minggu bagi kami untuk bisa menetas menjadi anak-anak ayam. Jadi masih ada 18 hari lagi maka aku akan melihat dunia sekitar, termasuk ibuku.

"Tidak semua kalian akan menetas menjadi anak ayam," demikian kata ibu. "Manusia bisa mengambil kalian sewaktu-waktu untuk dijadikan... "

Ibu tak sempat menyelesaikan perkataannya. Tiba-tiba aku dengar beliau berkotek-kotek dengan hebohnya, entah apa yang sedang terjadi.

"Ah, baru saja manusia mengambil dua butir dari kalian," kata ibu dengan nada bicara yang sepertinya sedikit panik.

Ibu bilang bahwa dua saudaraku itu diambil manusia untuk dijadikan ceplok untuk menu makan. Katanya, menjadi telor ceplok yang terhidang di meja makan manusia merupakan salah satu kehormatan bagi makhluk seperti kami. Hmmm, entahlah aku tak terlalu mengerti akan hal ini.

"Sudahlah, hari mulai gelap. Aku mau tidur dan besok aku lanjutkan kembali ceritanya," demikian kata penutup dari ibu hari ini.

***

Hari ke-5. Kembali dua saudaraku diambil oleh manusia. Namun reaksi ibu tidak sepanik sebelumnya, setidaknya aku tidak mendengar suara ibu yang segaduh kemarin.

Ibu bilang bahwa kedua saudaraku itu diambil oleh penjual jamu untuk dijadikan bahan penguat daya tahan tubuh manusia. Ah lagi-lagi aku tidak mengerti apa yang dikatakannya. Namun aku mulai paham dengan apa yang pernah dinasihatkannya, "Sebaik-baik telor adalah yang bisa memberikan manfaat bagi manusia."

Masih ada beberapa manfaat yang bisa diberikan oleh telor. Sebagai bahan pembuat kue atau makanan lainnya misalnya. Tapi yang paling tidak bisa aku mengerti dari cerita ibu adalah saat telor diambil manusia untuk memindahkan penyakit.

Katanya, telor ditempelkan oleh seorang ahli ke bagian tubuh pasiennya yang menderita sakit. Tak lama, cairan yang ada di dalam telor berubah menjadi darah berwarna merah atau hitam, bahkan bisa juga paku, jarum dan bermacam benda asing lainnya.

***

Sudah lebih dari 2 minggu usiaku kini. Dari delapan bersaudara, kini kami tinggal setengahnya saja. Ibu mengerami dan mempersiapkan kami untuk menjadi anak-anak ayam. Masa-masa penetasan tinggal menunggu hari saja.

Ibu juga sering memeriksa kondisi kami berempat, memastikan bahwa kami berada dalam keadaan sehat. Namun entah mengapa, ibu agak khawatir dengan kondisi kesehatanku. Katanya aku tak sesehat tiga saudaraku.

"Apakah aku akan gagal menjadi anak ayam?" Tanyaku kepada ibu. Aku sungguh khawatir. Jika aku sakit, sakit apakah aku?

Sejenak tak ada suara. Ibu sepertinya enggan menjawab. Atau mungkin ada yang ia coba sembunyikan dariku.

"Tenanglah. Apapun keadaanmu, ibu tetap menyayangimu. Sama seperti ketiga saudaramu itu."

***

Setelah beberapa hari keadaan begitu tenang, hari ini terdengar keributan lagi. Ibu berkotek-kotek dengan marah. Lalu aku rasakan ada sesuatu yang mengangkatku. Sesuatu yang asing, yang aku yakin bukanlah ibu. Apakah ini manusia yang telah mengambil empat saudaraku sebelumnya?

Sekejap aku terpisah dari ketiga saudaraku. Aku juga terpisah dengan ibuku. Sekejap kemudian aku sudah berada di tempat gelap. Sangat gelap. Aku begitu ketakutan. Manusia itu mulai mebawaku pergi, entah kemana.

Tubuhku terus terguncang-guncang di tempat tanpa cahaya ini. Aku merasa cangkangku sedikit retak, dan cairan tubuhku yang beraroma tak sedap merembes keluar. Setelah sekian lama, terdengar di luar sana suara yang begitu kacau. Teriakan, umpatan dan juga nyanyian berbaur jadi satu.

Lalu kurasakan ada yang mengangkat tubuhku. Sejurus kemudian aku dilemparkan ke udara. Dalam ketakutan, aku kembali teringat ibuku yang sering menasihati: "Sebaik-baik telor adalah yang bisa memberikan manfaat bagi manusia."

Aku berpikir akan berakhir di manakah hidupku? Akan menjadi apa diriku kini? Aku teringat ketiga saudaraku yang tak lama lagi akan menetas dan bersukacita menjadi anak ayam. Kemudian dua saudaraku yang berakhir di meja makan menjadi menu makanan. Dan dua lainnya yang berakhir sebagai obat penguat daya tahan tubuh manusia.

Tubuhku melayang di udara di tengah suara dan teriakan. Lalu tubuhku membentur suatu benda dengan keras. Tubuhku hancur dan serta-merta cairan tubuhku menyemburat keluar membasahi permukaan benda itu.

Aku tak tahu, berakhir di manakah diriku.

***

Nopember 2013. Situasi akhir-akhir ini sedang memanas. Berbagai berita di televisi dan media online tak luput dari keadaan ini. Berbagai opini, kritik, dan juga protes mewarnai di berbagai media sosial.

Para petugas kebersihan pagi ini mulai membersihkan sisa-sisa kekacauan kemarin. Berbagai benda berserakan: botol minuman, plastik bungkus makanan, potongan kayu, juga poster kertas yang digunakan pada unjuk rasa kemarin.

Seorang petugas menghampiri pagar tembok berukuran besar. Dengan menutup hidung, ia membersihkan cairan dari telor busuk yang menempel di tembok warna putih itu. Beberapa huruf berukuran besar menempel di tembok setinggi lebih dari dua meter, yang membentuk tulisan:

AUSTRALIAN EMBASSY

Lampion Merah dan Senthir Minyak Tanah

“Pecinan, Kampung Cina atau Chinatown, begitulah tempat itu disebut. Sampai sekarang kondisinya tak banyak berubah. Sebuah jalan yang membelah tempat itu kondisinya tetap tenang, masih seperti dulu. Jalan yang lurus memanjang setengah kilometer dari timur ke barat, dimana di ujung timurnya ada sebuah wihara yang berdekatan juga dengan sebuah gereja protestan. Sementara di ujung sebelah barat, jalan itu membelok ke utara dan bermuara di alun-alun kotaku, sebuah kota kecil di utara Jawa Tengah.”

“Di Pecinan inilah aku dulu bersekolah, sekitar tahun 70-an. Dulu nama sekolahku SMEA, sekarang sudah berganti nama menjadi SMK. Aku belajar disini selama tiga setengah tahun. Ya benar, tiga setengah tahun karena dulu aku mengalami pergantian tahun ajaran yang semula berakhir di bulan Desember berubah menjadi Juni. Jadi masa belajarku yang seharusnya tiga tahun harus ditambah lagi setengah tahun.”

“Masa-masa di SMEA itulah aku mengenal yang namanya cinta. Sebenarnya bukan aku yang jatuh cinta dengan seorang wanita, melainkan sebaliknya. Aku sendiri awalnya tak menyadarinya. Aku cuma tahu saat setiap kali aku lewat di depan kelas sebelah, maka salah seorang wanita yang duduk di bangku dekat pintu selalu saja dengan malu-malu menutup wajahnya dengan sebuah buku. Namun karena kejadian itu tak hanya terjadi satu atau dua kali saja, barulah aku menyadari bahwa wanita itu menyukaiku.”

“Namun aku tak terlalu menanggapi hal itu dengan serius, aku hanya bersikap biasa saja. Soalnya aku dan dia berbeda suku. Aku keturunan jawa, sedangkan wanita itu tionghoa. Lagipula aku dan dia juga berbeda keyakinan. Yang ada di pikiranku dulu, aku akan mencari pacar dan menikah dengan wanita yang sesuku dan sekeyakinan denganku.”

“Perhatiannya kepadaku rupanya benar-benar serius. Beberapa kali aku menemukan bermacam kue di laci mejaku. Aku yakin kalau kue-kue itu ditaruh dia saat aku belum masuk kelas. Karena khawatir terjadi apa-apa denganku, maka tak satu pun kue yang kuambil dan makan. Semuanya aku berikan kepada teman sebangkuku. Menanggapi perhatiannya kepadaku, aku memilih tetap bersikap biasa saja kepadanya. Cerita aku dengannya pun selesai ketika aku lulus sekolah dan merantau ke luar kota.”

“Jakarta. Inilah kota yang kutuju selepas sekolah. Kota yang besar dan ramai dengan jalanannya yang lebar dan ramai. Seperti normalnya anak muda, aku pun mengalami apa yang dinamakan jatuh cinta di kota Jakarta ini. Aku mengenal seorang wanita yang sangat menarik hatiku. Lagi-lagi, wanita yang hadir di hidupku ini berbeda suku juga agama. Ya, aku keturunan jawa dan dia keturunan tionghoa. Namun karena aku sangat mencintainya dan begitupun dengan dia, maka kami pun tak terlalu mempermasalahkan perbedaan di antara kami.”

“Aku benar-benar mencintainya. Apa yang aku pikirkan dahulu bahwa aku akan mencari pacar dan menikah dengan wanita yang sesuku dan seagama, tampaknya harus aku langgar. Ah, cinta memang tak mengenal batas-batas suku dan agama. Cinta pulalah yang mendobrak tembok-tembok di pikiranku yang kubangun sendiri.”

“Namun tak semua hal yang terjadi dalam hidupku seperti yang aku inginkan. Di kala aku merasakan cinta yang begitu membara, tiba-tiba saja aku harus memadamkan bara yang membakar hatiku itu. Bukan karena pilihanku, bukan juga karena kemauannya. Aku dan dia harus merelakan hubungan yang sudah terlanjur jauh ini berakhir. Aku begitu terluka dan marah kepada diriku sendiri atas apa yang terjadi.”

***

Pak Yoes menghentikan sejenak cerita cinta yang terjadi di masa lalunya. Aku pun meneguk teh hangat yang tinggal setengah gelas di depanku. Sementara nasi yang ada di piringku sudah lama habis dari tadi.

Aku pembeli terakhir yang makan di warung makan Pak Yoes. Dan mungkin karena kebetulan tidak ada pembeli lainnya, maka Pak Yoes pun bisa berpanjang lebar bercerita kepadaku malam ini.

“Wah, ceritanya mengharukan nih Pak” kataku menanggapi.

“Ya begitulah dik. Memang tidak semuanya yang kita harapkan akan terjadi dalam hidup kita” kata Pak Yoes.

“Lalu kelanjutan ceritanya gimana Pak?“ tanyaku.

***

“Tak mudah untuk melupakan kejadian itu. Namun sepahit apa pun yang kualami, aku harus bangkit dan melanjutkan kisah hidupku sendiri. Setelah beberapa waktu lamanya mencoba bangkit dari masa-masa pahit, akhirnya aku pun bertemu kembali dengan wanita yang akhirnya menjadi istriku. Untuk ketiga kalinya, lagi-lagi wanita yang mengisi kisah hidupku ini adalah keturunan tionghoa. Berbeda suku, dan juga berbeda agama denganku.”

“Aku berbahagia dengan pernikahanku yang sudah dikaruniai seorang anak ini, meskipun ada sebuah pertanyaan besar bagiku yang cukup lama menggangguku dan aku harus mencari jawabannya. Mengapa Tuhan mengirim dan mengadirkan perbedaan-perbedaan dalam hidupku ini.”

“Dan mungkin inilah maksud dan tujuan Tuhan dalam hidupku. Mungkin DIA mengajariku untuk menerima dan menghormati setiap perbedaan yang ada. Dan cara yang dilakukan-NYA adalah dengan membawaku untuk mengalami dan menjalani hubungan dengan tiga wanita yang benar-benar berbeda denganku. Berbeda suku. Berbeda juga agamanya. Sebagaimana Tuhan mencintai perbedaan yang diciptakannya, maka sudah seharusnyalah aku juga mencintai perbedaan itu. Aku pun belajar memandang perbedaan itu sebagai suatu keindahan yang dikaruniakan-Nya.”

“Perbedaan itu tidak bisa dihapus. Dan perbedaan itu tak harus diseragamkan. Kita harus menerimanya sebagai pemberian dari Tuhan. Perbedaan itu indah dan memberi warna bagi dunia ini. Dan hiduplah berdamai dengan perbedaan-perbedaan itu.”

***

Aku terdiam mendengarkan Pak Yoes malam ini. Bahkan mataku berkaca-kaca karena terharu selama Pak Yoes bercerita.

“O ya, Dik. Hari Minggu ini saya nggak jualan ya. Mau merayakan imlek” Kata Pak Yoes.

“Wah, ikut imlekan juga ya Pak? Libur berapa hari?” tanyaku.

“Ya harus Dik. Tiap imlek kami berkunjung ke keluarga istri. Nah kalo lebaran, gantian berkunjung ke keluarga saya. Liburnya tiga hari”

Aku pun menyudahi pembicaraan malam ini. Setelah membayar makanan, aku pun pamit Pak Yoes. Aku meninggalkan warung makan Pak Yoes, sebuah warung makan yang menjajakan kuliner jawa dengan ciri khas ada pikulan yang diletakkan di depan warung tersebut serta sebuah senthir atau lampu minyak tanah yang selalu menyala. Dan malam ini ada sesuatu yang berbeda di warung makan ini. Sebuah lampion merah terlihat tergantung begitu indah di depan warung makan tersebut yang sengaja dipasang mendekati hari raya imlek besok.

Perlahan aku menjauh dari tempat itu.

Dan kulihat nyala lampion merah berpadu begitu indah dengan nyala senthir minyak tanah.