Minggu, 08 Desember 2013

Kuda Lumping

Hingar-bingar tetabuhan telah berhenti. Pun lenggak-lenggok dan rancak tarian usai sudah. Satu per satu manusia mulai beranjak pergi, menyisakan hening yang kini menguasai waktu. Panggung kecil itu kini sepi, tenggelam dalam keremangan senja. Semua diam. Hening yang nyaris kekal.

Seperangkat alat musik teronggok membisu, berbaur bersama kostum warna-warni para penari yang basah dan bau peluh yang dibiarkan terserak. Sebatang pecut dari pilinan tambang berwarna coklat kusam tergeletak di sudut sana. Dan di dekat pecut itu, dua makhluk serupa kuda terbuat dari anyaman bambu berhimpit bersandar pada tiang besi yang mulai berkarat. Satu kuda berwarna putih, satunya hitam.

Tapi, hai coba lihat! Dua kuda hitam dan putih yang tadi diam itu kini bergerak-gerak perlahan. Dan keduanya kini berhadap-hadapan. Aneh, bahkan mereka berbicara layaknya manusia.

“Putih!” ucap kuda hitam. “Sudah berapa lama kamu disini?”

“Mungkin empat belas tahun. Atau lebih,” jawab kuda putih. “Kenapa?”

“Ya, ya … selama empat belas tahun itu, apa yang kamu rasakan?”

“Apa yang aku rasa? Ah, kenapa kau tanyakan ini? Kita ini hanyalah kuda, maksudku makhluk yang menyerupai kuda. Tidak ada sesuatu yang istimewa yang aku rasakan. Itu saja.”

“Tidak ada sesuatu yang istimewa? Ah, kamu terlalu bodoh!”

“Bodoh? Oh, aku memang tidak pernah menganggap makhluk seperti kita ini pintar. Tidak ada yang bisa dibanggakan, biasa-biasa saja.”

“Biasa-biasa saja?”

“Ya, ya… begitulah! Kita hanya menuruti apa yang dikehendaki oleh penunggang kita. Kalau dia mau ke kiri atau ke kanan, maka kita juga ke kiri atau ke kanan. Dia maju, kita maju. Dan dia diam, kita ikut diam. Menurutmu bagaimana?”

“Itu benar. Bahkan orang yang menunggang kita itu juga tak ubahnya seperti kita. Dia juga hanya menuruti si pemimpin yang memegang pecut itu. Bahkan semua orang yang ada disini tunduk kepada perintah pemimpin itu. Penabuh-penabuh musik, penari-penari, juga penyembur api juga semua di bawah kendali pemimpin berpecut itu.”

“Semua tunduk? Ah, aku tidak melihatnya begitu. Aku sering melihat penunggang kita mencoba melawan pemimpin itu. Atau setidaknya berusaha tidak selalu sejalan dengan kehendak si tukang pecut itu.”

“Hahaha … Kamu benar-benar bodoh! Semua itu hanyalah permainan, hanya sebuah sandiwara saja. Semua sudah diatur oleh si tukang pecut itu. Para penunggang kita itu memang seolah-olah melawan. Mereka seolah-olah berargumen ini itu dan bertindak tidak sependapat dengan si tukang pecut itu. Tapi sebenarnya mereka hanya berpura-pura saja, karena ujung-ujungnya kemauan si tukang pecut itulah yang harus dilaksanakan.”

“Mmm …”

“Aku jadi kasihan dengan rakyat yang menonton sandiwara ini. Mereka mengeluarkan duit hanya untuk melihat kepura-puraan ini. Mungkin mereka ada yang tertawa terbahak. Ada yang ikut berteriak-teriak penuh emosi terbawa permainan ini. Bahkan tak jarang anak-anak menjerit karena ketakutan karena pertunjukan ini. Tapi sebenarnya, semua yang ada di depan mereka adalah kepura-puraan belaka. Sungguh kasihan!”

“Jika demikian, para penampil pertunjukan ini sungguh berdosa. Terlebih pemimpin dengan pecut itu, berdosa besar!”

“Seharusnya memang demikian. Tapi jangan pernah berharap itu terjadi. Yang ada di kepala mereka hanyalah bisa meraup duit sebanyak-banyaknya. Semua hanya untuk kepentingan mereka sendiri.”

“Cukup, cukup. Aku pusing mendengar semua ini!”

Sejenak hening.
Hitam terdiam, putih juga demikian.

“Oh ya, kamu tadi tidak setuju kalau aku menganggap makhluk seperti kita ini tidak memiliki keistimewaan. Apa maksudnya?”

“Begini, memang kita hanya makhluk sederhana. Namun dalam kesederhanaan itulah kita menjadi lebih daripada makhluk lain, dalam beberapa hal.”

“Mmm …”

“Setidaknya, keberadaan kita bisa membuat orang-orang menjadi sehat.”

“Sehat?”

“Tentu saja. Ketika orang menunggang kita, maka kita seolah-olah berlari kesana kemari. Padahal orang itu sendiri yang berlari, bukan kita.”

“Ah haha … Benar, benar. Jadi kalau mau sehat, tunggangi kita saja. Berolahraga sambil menunggang kita. Ini cocok buat siapa saja, terutama yang perutnya tambun seperti tuan-tuan pejabat di sana. Haha…”

“Begitulah … Selain sehat, juga bebas polusi. Lagipula tidak terpengaruh harga minyak mau naik atau tidak.”

“Lalu, apa lagi keistimewaan kita?”

“Kita ini anti korupsi.”

“Maksudnya?”

“Ah, masa tidak tahu. Mana ada para pejabat korupsi karena kuda lumping. Yang ada juga korupsi karena yang lain. Sapi, bawang putih, …”

“Stop, jangan lanjutkan! Mending kita istirahat saja .”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar