Kamis, 05 Desember 2013

Lampion Merah dan Senthir Minyak Tanah

“Pecinan, Kampung Cina atau Chinatown, begitulah tempat itu disebut. Sampai sekarang kondisinya tak banyak berubah. Sebuah jalan yang membelah tempat itu kondisinya tetap tenang, masih seperti dulu. Jalan yang lurus memanjang setengah kilometer dari timur ke barat, dimana di ujung timurnya ada sebuah wihara yang berdekatan juga dengan sebuah gereja protestan. Sementara di ujung sebelah barat, jalan itu membelok ke utara dan bermuara di alun-alun kotaku, sebuah kota kecil di utara Jawa Tengah.”

“Di Pecinan inilah aku dulu bersekolah, sekitar tahun 70-an. Dulu nama sekolahku SMEA, sekarang sudah berganti nama menjadi SMK. Aku belajar disini selama tiga setengah tahun. Ya benar, tiga setengah tahun karena dulu aku mengalami pergantian tahun ajaran yang semula berakhir di bulan Desember berubah menjadi Juni. Jadi masa belajarku yang seharusnya tiga tahun harus ditambah lagi setengah tahun.”

“Masa-masa di SMEA itulah aku mengenal yang namanya cinta. Sebenarnya bukan aku yang jatuh cinta dengan seorang wanita, melainkan sebaliknya. Aku sendiri awalnya tak menyadarinya. Aku cuma tahu saat setiap kali aku lewat di depan kelas sebelah, maka salah seorang wanita yang duduk di bangku dekat pintu selalu saja dengan malu-malu menutup wajahnya dengan sebuah buku. Namun karena kejadian itu tak hanya terjadi satu atau dua kali saja, barulah aku menyadari bahwa wanita itu menyukaiku.”

“Namun aku tak terlalu menanggapi hal itu dengan serius, aku hanya bersikap biasa saja. Soalnya aku dan dia berbeda suku. Aku keturunan jawa, sedangkan wanita itu tionghoa. Lagipula aku dan dia juga berbeda keyakinan. Yang ada di pikiranku dulu, aku akan mencari pacar dan menikah dengan wanita yang sesuku dan sekeyakinan denganku.”

“Perhatiannya kepadaku rupanya benar-benar serius. Beberapa kali aku menemukan bermacam kue di laci mejaku. Aku yakin kalau kue-kue itu ditaruh dia saat aku belum masuk kelas. Karena khawatir terjadi apa-apa denganku, maka tak satu pun kue yang kuambil dan makan. Semuanya aku berikan kepada teman sebangkuku. Menanggapi perhatiannya kepadaku, aku memilih tetap bersikap biasa saja kepadanya. Cerita aku dengannya pun selesai ketika aku lulus sekolah dan merantau ke luar kota.”

“Jakarta. Inilah kota yang kutuju selepas sekolah. Kota yang besar dan ramai dengan jalanannya yang lebar dan ramai. Seperti normalnya anak muda, aku pun mengalami apa yang dinamakan jatuh cinta di kota Jakarta ini. Aku mengenal seorang wanita yang sangat menarik hatiku. Lagi-lagi, wanita yang hadir di hidupku ini berbeda suku juga agama. Ya, aku keturunan jawa dan dia keturunan tionghoa. Namun karena aku sangat mencintainya dan begitupun dengan dia, maka kami pun tak terlalu mempermasalahkan perbedaan di antara kami.”

“Aku benar-benar mencintainya. Apa yang aku pikirkan dahulu bahwa aku akan mencari pacar dan menikah dengan wanita yang sesuku dan seagama, tampaknya harus aku langgar. Ah, cinta memang tak mengenal batas-batas suku dan agama. Cinta pulalah yang mendobrak tembok-tembok di pikiranku yang kubangun sendiri.”

“Namun tak semua hal yang terjadi dalam hidupku seperti yang aku inginkan. Di kala aku merasakan cinta yang begitu membara, tiba-tiba saja aku harus memadamkan bara yang membakar hatiku itu. Bukan karena pilihanku, bukan juga karena kemauannya. Aku dan dia harus merelakan hubungan yang sudah terlanjur jauh ini berakhir. Aku begitu terluka dan marah kepada diriku sendiri atas apa yang terjadi.”

***

Pak Yoes menghentikan sejenak cerita cinta yang terjadi di masa lalunya. Aku pun meneguk teh hangat yang tinggal setengah gelas di depanku. Sementara nasi yang ada di piringku sudah lama habis dari tadi.

Aku pembeli terakhir yang makan di warung makan Pak Yoes. Dan mungkin karena kebetulan tidak ada pembeli lainnya, maka Pak Yoes pun bisa berpanjang lebar bercerita kepadaku malam ini.

“Wah, ceritanya mengharukan nih Pak” kataku menanggapi.

“Ya begitulah dik. Memang tidak semuanya yang kita harapkan akan terjadi dalam hidup kita” kata Pak Yoes.

“Lalu kelanjutan ceritanya gimana Pak?“ tanyaku.

***

“Tak mudah untuk melupakan kejadian itu. Namun sepahit apa pun yang kualami, aku harus bangkit dan melanjutkan kisah hidupku sendiri. Setelah beberapa waktu lamanya mencoba bangkit dari masa-masa pahit, akhirnya aku pun bertemu kembali dengan wanita yang akhirnya menjadi istriku. Untuk ketiga kalinya, lagi-lagi wanita yang mengisi kisah hidupku ini adalah keturunan tionghoa. Berbeda suku, dan juga berbeda agama denganku.”

“Aku berbahagia dengan pernikahanku yang sudah dikaruniai seorang anak ini, meskipun ada sebuah pertanyaan besar bagiku yang cukup lama menggangguku dan aku harus mencari jawabannya. Mengapa Tuhan mengirim dan mengadirkan perbedaan-perbedaan dalam hidupku ini.”

“Dan mungkin inilah maksud dan tujuan Tuhan dalam hidupku. Mungkin DIA mengajariku untuk menerima dan menghormati setiap perbedaan yang ada. Dan cara yang dilakukan-NYA adalah dengan membawaku untuk mengalami dan menjalani hubungan dengan tiga wanita yang benar-benar berbeda denganku. Berbeda suku. Berbeda juga agamanya. Sebagaimana Tuhan mencintai perbedaan yang diciptakannya, maka sudah seharusnyalah aku juga mencintai perbedaan itu. Aku pun belajar memandang perbedaan itu sebagai suatu keindahan yang dikaruniakan-Nya.”

“Perbedaan itu tidak bisa dihapus. Dan perbedaan itu tak harus diseragamkan. Kita harus menerimanya sebagai pemberian dari Tuhan. Perbedaan itu indah dan memberi warna bagi dunia ini. Dan hiduplah berdamai dengan perbedaan-perbedaan itu.”

***

Aku terdiam mendengarkan Pak Yoes malam ini. Bahkan mataku berkaca-kaca karena terharu selama Pak Yoes bercerita.

“O ya, Dik. Hari Minggu ini saya nggak jualan ya. Mau merayakan imlek” Kata Pak Yoes.

“Wah, ikut imlekan juga ya Pak? Libur berapa hari?” tanyaku.

“Ya harus Dik. Tiap imlek kami berkunjung ke keluarga istri. Nah kalo lebaran, gantian berkunjung ke keluarga saya. Liburnya tiga hari”

Aku pun menyudahi pembicaraan malam ini. Setelah membayar makanan, aku pun pamit Pak Yoes. Aku meninggalkan warung makan Pak Yoes, sebuah warung makan yang menjajakan kuliner jawa dengan ciri khas ada pikulan yang diletakkan di depan warung tersebut serta sebuah senthir atau lampu minyak tanah yang selalu menyala. Dan malam ini ada sesuatu yang berbeda di warung makan ini. Sebuah lampion merah terlihat tergantung begitu indah di depan warung makan tersebut yang sengaja dipasang mendekati hari raya imlek besok.

Perlahan aku menjauh dari tempat itu.

Dan kulihat nyala lampion merah berpadu begitu indah dengan nyala senthir minyak tanah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar