Minggu, 08 Desember 2013

Kucing

Hari memang belum gelap. Namun cuaca mendung yang hampir sepanjang hari ini menyembunyikan keberadaan matahari membuat diriku enggan meninggalkan tempat untuk berjalan-jalan. Bahkan untuk sekedar menggerakkan tubuh pun aku merasa malas. Ya, di sore yang sedikit berangin seperti ini memang tidak ada pilihan yang mengasyikkan selain berdiam diri saja. Apalagi jika setelah beranjak malam nanti gerimis atau hujan turun, rasa-rasanya membuat keenggananku semakin berlipat saja.

Aku masih ingat setahun yang lalu ketika hujan hampir setiap hari turun. Saling merapatkan diri dengan ketiga saudaraku menjadi kegiatan sehari-hariku. Kami masih berumur beberapa bulan saja saat itu. Kami berempat dibawa oleh mama menuju sudut plafon sebuah rumah kosong. Di tempat tak berpenghuni itu berhari-hari kami tinggal. Kadang kami saling berebut merapatkan tubuh kepada mama untuk menghangatkan diri, menyusu dan kemudian tertidur lelap di pelukan mama ketika hawa dingin menyergap malam. Ah, masa-masa indah itu…

Kata mama, lahir dan hidup sebagai kucing kampung memang harus selalu berjuang. Tidak semua kucing kampung memiliki tuan, yaitu manusia, yang memelihara dan memberi makan setiap hari. Tubuh kami yang ramping dengan bulu-bulu pendek dan tidak banyak memiliki variasi warna mungkin saja menjadi penyebab manusia tidak selalu tertarik dan sudi menjadi tuan serta memelihara kami. Dan kami termasuk golongan kucing kampung yang tidak memiliki tuan.

Untuk berjuang hidup, mama setiap hari mencari-cari atau lebih tepatnya mengais sisa-sisa makanan yang dibuang manusia dalam kantong-kantong plastik di tempat sampah. Tak jarang mama juga harus mendapatkan makanan itu dengan cara mencuri dari dalam rumah atau warung milik manusia. Semua demi kami berempat, anak-anaknya. Bukankah mencuri itu suatu tindakan tak bermoral? Tapi kata mama, hal itu akan disebut tidak bermoral jika yang melakukannya adalah manusia. Tetapi bagi seekor kucing, tindakan ini adalah sebuah bentuk tanggung jawab. Ah, aku bingung! Mungkin aku masih terlalu muda untuk bisa memahami apa yang dikatakan mama.

“Terima saja kelahiranmu sebagai kucing kampung tak bertuan. Jangan suka mengeluh!”

Begitu hardik mama setiap kali aku atau saudaraku mengeluh tentang nasib kami. Kadang aku merasa iri dengan kucing kampung lainnya yang hidupnya dipelihara manusia. Makan sedikit lebih enak dan teratur, serta tidur di tempat yang nyaman tentu saja menjadi hal yang tidak pernah aku nikmati. Tubuh mereka lebih bersih dan terawat, tak seperti kami. Tapi memang, di samping semua itu aku juga merasa senang menjadi kucing kampung yang bebas kelayapan bermain kemana saja.

Pernah juga aku mencoba membanding-bandingkan diriku dengan angora. Bulu-bulunya memang cantik dan tentu saja membuat manusia sangat memanjakannya. Pantas saja kucing malas itu menjadi sombong saat bertemu denganku. Benar-benar aku jengkel dengan kepongahannya itu. Suatu hari aku mencoba mengerjai si angora itu untuk memberinya pelajaran. Tanpa diketahuinya, aku mendekat ketika dia sedang bermalas-malasan di teras rumah.

“Meoooongg…. !!!”

Dia berteriak kaget melihat kehadiranku dan berusaha menjauhi tubuh kotorku. Namun aku terus bergerak memepetnya, dan segera aku kibas-kibaskan tubuhku di depan si angora malas dan sombong itu. Dan seperti yang kuduga, dia pun langsung bersin-bersin dengan hebat. Aku pun segera lari menjauh, sambil tersenyum penuh kemenangan.

Namun dari semua makhluk yang ada, maka manusia adalah yang paling membingungkan bagiku. Ada yang terlalu banyak berkata-kata, tapi ada juga yang selalu diam seribu bahasa. Ada yang berwajah ceria, tapi yang bermuka galak pun juga ada. Terlebih lagi dengan tuan si angora itu. Sewaktu-waktu pria muda itu bersikap ramah dan sayang dengan wanita muda yang tinggal di rumah itu. Digandengnya dengan lembut, juga diciumnya mesra. Namun di lain waktu pria itu bersikap lain. Pernah aku lihat dia berteriak kasar bahkan memukul wanita itu hingga membuatnya menangis.

***

Pagi ini aku buka mataku. Cuaca lebih cerah dibanding kemarin. Namun aku masih enggan beranjak keluar.

“Jalan-jalan yuk!” Aku kaget melihat temanku yang tiba-tiba ada di depanku, entah datang dari mana.

“Kemana?” tanyaku.

“Cari makanan.”

“Hmmm…”

Aku pun bangun dan berjalan mengikutinya.

“Cari dimana?” tanyaku lagi.

“Pasar.”

“Pasar?”

“Ya, disana makanannya lebih enak dan banyak pilihannya.”

“Tapi lumayan jauh tempatnya. Aku belum pernah ke sana.”

“Sejak kapan kucing kampung seperti kamu takut berjalan jauh?”

Aku diam saja. Lebih baik aku ikuti saja ajakannya. Kami terus berjalan keluar dari perumahan, lalu menyusuri jalan yang lebih lebar dan ramai. Ini pertama kali aku keluar dari perumahan. Aku sedikit takut dengan keramaian itu.

“Kenapa? Takut?” tanyanya.

Aku diam saja.

“Sebagai kucing, kita tidak perlu takut dengan keramaian jalan. Tak perlu takut terhadap manusia yang melintas dengan berbagai kendaraannya.”

Aku masih diam saja mendengar khotbah pagi itu.

“Justru manusialah yang akan takut kepada kucing. Mau lihat buktinya?” Lalu dengan santainya dia berjalan menyeberangi jalan. Tiba-tiba dari arah kiri terdengar suara mendecit begitu keras. Sebuah sepeda motor berhenti mendadak.

“Kucing sial!” teriak seorang manusia yang hampir saja menabrak temanku. Lalu manusia dengan sepeda motornya itu berjalan kembali. Dari seberang jalan, kulihat temanku tersenyum.

“Benar kan? Manusia yang takut kepada kucing,” katanya.

Aku menunggu jalan sepi, lalu menyeberang jalan. Tak lama perjalanan kami berhenti di sebuah tempat yang besar dan ramai dengan manusia. Dan kami makan besar pagi ini.

***

Hari mulai sore. Kami berdua meninggalkan pasar, berjalan beriringan di pinggir jalan besar yang pagi tadi kami lewati. Namun sore ini sudah tak seramai pagi tadi. Sungguh hari ini aku merasa gembira sekali.

“Berani menyeberang?” temanku bertanya padaku, lebih tepatnya mengejekku. Belum sempat aku menjawab, ia berjalan menyeberang jalan.

Darrr!!

Aku mendengar bunyi yang mengerikan. Aku lihat temanku tergeletak bersimbah darah, tak bergerak di jalan. Seorang pria muda keluar dari mobil dan melihat mayat temanku yang baru saja ditabraknya. Aku terdiam dan ketakutan di pinggir jalan, lalu bersembunyi di balik pohon. Dan pria muda itu, ah aku mengenal dia. Tuan si angora yang pongah itu. Pria yang pernah ku lihat begitu lembut dan mesra, namun juga pria yang kasar dan tak menghormati wanita.

Pria itu terlihat panik dengan apa yang baru saja terjadi. Ia berjalan mondar-mandir kebingungan. Entah apa yang sedang berkecamuk di pikirannya. Mungkin kebingungan dan ketakutan yang sama seperti yang aku alami.

Ku lihat pria itu mengambil sesuatu dari mobilnya. Semacam sebuah tongkat, atau entah apa itu. Ia berjalan kembali ke arah temanku. Dilepaskannya baju yang dipakainya, lalu dengan hati-hati diangkatnya mayat temanku, serta dibungkusnya dengan baju itu.

Pria itu berjalan ke pinggir jalan. Sementara diletakkannya bungkusan itu ke tanah, ia mulai menggali-gali dengan tongkat yang dibawanya. Dengan hati-hati dikuburkannya bungkusan itu ke dalam lubang, kemudian ditimbun kembali dengan tanah.

Aku masih kebingungan. Dia yang pernah aku kenal sebagai pria yang tak menghormati manusia sesamanya, tapi mengapa malah kini berubah dan tiba-tiba begitu hormat kepada kucing. Lagi-lagi, aku merasa manusia adalah makhluk yang paling membingungkan bagiku.

“Sebagai kucing, kita tidak perlu takut dengan manusia. Justru manusialah yang akan takut kepada kucing.”

Aku teringat apa yang diucapkan temanku pagi tadi. Aku bingung, sangat bingung. Dan aku pusing, sangat pusing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar