Selasa, 28 Januari 2014

Kucing (2)

Cuaca sore ini benar-benar tidak bersahabat. Gerimis belum juga reda. Udara juga sedikit dingin dan basah, tidak baik untuk bulu-buluku. Jadi berdiam diri di rumah kosong ini, menurutku, satu-satunya hal yang paling baik untuk dilakukan. Tidur? Ah, belum waktunya.

Tapi sore ini sungguh lain dari sore-sore sebelumnya. Suasana di perumahan ini ramai dari tadi meski gerimis tak ada tanda-tanda untuk berhenti. Manusia-manusia kulihat lebih sibuk dari hari-hari sebelumnya. Bahkan bunyi tiup-tiupan dari tadi aku dengar, semakin ke sini semakin ramai. Berisik!

“Eh, kamu nggak keluar?“

Aku dengar seekor kucing lain yang ada di rumah kosong ini bertanya.

“Malas. Gerimis,” jawabku singkat.
“Nggak lapar?“
“Lapar sih, tapi entar aja keluar. Nunggu kalo nggak gerimis.“
“Atau ke pasar?“
“Pasar, ah nggak.”

Pasar. Ya ini tempat yang sementara ini paling tidak ingin aku datangi. Aku masih ingat saat terakhir ke sana dengan seorang temanku. Dan musibah itu masih saja menghantui pikiranku. Makan jadi tidak enak, tidur juga tidak nyenyak.

Aku masih trauma.

“Atau jalan-jalan keliling perumahan, daripada nganggur disini,” kata temanku lagi.
“Ngapain?“
“Ya apa aja. Hmmm … Atau main ke tempat si Angora, mumpung tuannya baru saja pergi.”
“Ke tempat kucing malas dan manja itu? Malas banget!!”
“Hahaha… Jangan gitu, ntar lama-lama kamu bisa-bisa jadian sama dia.”
“Eh, nggak mungkin. Sedikit pun aku ngga punya rasa terhadapnya.”
“Hahaha … Ya udah. Aku pergi dulu. Bete disini terus.”

Dia pergi keluar dari jendela. Dan aku kini sendirian di sini. Ah, mending langsung tidur saja.

Aku segera menuju pojok ruangan. Aku mencoba memejamkan mata. Tapi bunyi tiup-tiupan di luar sana sungguh mengganggu. Ah, jadi tidak bisa tidur.

Hhhh, benar-benar menyebalkan. Ah sudahlah, mending aku keluar rumah sebentar, siapa tahu ada yang bisa dilihat untuk mengisi waktu.

Hup!! Aku melompat keluar lewat jendela. Dan kini aku sudah berada di depan rumah. Rupanya hari sudah gelap. Tapi suara keramaian di kejauhan sana masih juga belum berhenti, bahkan sepertinya malah semakin ramai.

Aku meringkukkan tubuhku di depan rumah. Gerimis sudah reda rupanya, namun hawa dingin masih terasa. Maka makin lengkaplah alasan bagiku untuk tidak kemana-mana, meski rasa lapar sedari tadi aku rasakan.

Aku lemparkan pandanganku ke rumah di seberang jalan. Ya, rumah dengan pagar besi yang cukup tinggi milik tuan si angora manja itu. Rumah itu sepi, tidak ada tuan rumah. Dan di atas sofa empuk di teras rumah, aku lihat si angora manja bermalas-malasan. Ah, mending iseng-seng ke sana saja buat mengisi waktu.

“Hai…,” Aku mencoba menyapa kucing manja itu.

Dia menoleh, namun masih tetap tak menggerakkan tubuhnya di atas sofa.

“Ya, ada apa?” katanya dengan nada datar dan dingin.

Gila! Sombong banget ini kucing. Pantas saja tidak ada yang mau mengajaknya jalan.

“Nggak kemana-mana?” tanyaku.
“Nggak. Di luar basah. Nanti bulu-buluku jadi rusak dan nggak rapi.”
“Oh… Tapi nggak bosan disini?
“Ya bosan sih, tapi mau kemana? Lagi pula sudah malam.”


Aku terdiam. Tidak tahu mau bicara apa. Apa lagi di depan kucing cantik seperti sekarang, aku jadi salah tingkah.

“Eh … Mmm… Memang tuanmu lagi kemana?”
“Pergi.”
“Kemana?”
“Ya, seperti orang-orang lain.”
“Maksudnya”


Aku bingung dengan jawaban darinya.

“Iya, malam ini adalah malam istimewa bagi manusia. Jadi mereka sedang merayakannya.”
“Ooh… Jadi bunyi tiup-tiupan yang dari tadi aku dengar itu …”
“Ya, itu bagian dari malam istimewa ini.”


Aku mulai tertarik berbicara dengan kucing di depanku ini. Sepertinya dia tidak sombong kayak dugaanku selama ini.

“Bukan hanya itu,” lanjutnya. “Nanti kalo sudah tengah malam, suasana semakin ramai. Akan ada suara ledakan di mana-mana. Terus ada warna-warna terang yang menghiasi langit.”
“Ooh… Pasti keren. Aku jadi pengen lihat. Kamu mau lihat juga?”
“Aku nggak mungkin bisa pergi jauh-jauh.”

Ah, aku jadi tertarik ngobrol-ngobrol lebih lama dengan makhluk cantik ini.

“Mmm … Di atap rumah saja,” kataku.
“Atap rumah?”
“Ya, dari atap rumah bisa lihat kemana-mana. Aku beberapa kali sering melakukannya tiap sore saat matahari terbenam. Indah banget pokoknya.”
“Mmm … Tapi aku nggak pernah naik atap.”
“Sudaaaah. Ikuti aku saja, dijamin aman.”


Aku segera berdiri. Lalu melompat pagar tembok di samping rumah. Dia pun mulai berdiri dan berjalan menuju dekat pagar. Sejenak dia ragu untuk mulai melompat.

“Ayo, lompat. Pasti bisa.”

Dia segera melompat dan, uuuppsss … Akhirnya bisa juga mendarat di pagar. Tubuhnya sedikit gemetar.

“Nah, sekarang tinggal lompat sekali lagi dari pagar ke atap rumah. Ikuti caraku.”

Aku segera melompat. Dia mengikuti. Dan sampailah kami berdua di atas atap rumah.

“Nah, kita bisa melihat ke segala arah dari atas sini,” kataku.
“Oh, ternyata seru juga ya..”


Tanpa suara sejenak. Aku sengaja membiarkannya berlama-lama menikmati pemandangan malam ini. Lampu rumah-rumah di sekeliling kami, juga lampu di jalan-jalan di sekitar perumahan, dan juga persimpangan jalan jauh disana. Tiup-tiupan di sana semakin riuh.

“Bagus kan?” Tanyaku sambil mendekatkan tubuh kepadanya.
“Oooh iya,” jawabnya agak kaget. Namun ia tak mencoba menjauhkan diri dariku.

Aku mulai merasakan perasaan nyaman. Perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelum ini. Bulu-bulu kami saling bersentuhan, menghangatkan malam yang adem ini.

“Eh, tadi kamu bilang nanti ada warna-warna indah di langit?”
“Iya, tunggu saja.”


Kami terus duduk berdampingan dan berbincang malam ini. Sangat menyenangkan. Sesekali aku aku dekatkan kepalaku ke kepalanya. Kumis-kumis kami saling beradu, dan geli-geli nikmat aku dibuatnya.

Tak lama terdengarlah bunyi ledakan bersahut-sahutan. Dan pecahlah cahaya-cahaya indah berwarna-warni menghiasi langit malam. Sungguh indah.

“Meoongggg!!”

Kami berdua sama-sama berteriak kegirangan malam ini. Malam yang benar-benar baru bagiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar