Beberapa potong pakaian sudah dimasukkan Sundari ke dalam tas
hingga membuat tas itu hampir penuh. Namun masih saja ada beberapa pakaian lagi
yang masih ada di luar dan perlu dimasukkan. Juga beberapa benda lain miliknya
yang nampaknya bakal membuat tas itu penuh sesak.
Besok sore Sundari akan ke Pati, menyusul Satriyo yang sudah
duluan di sana. Sudah cukup lama Sundari tidak pulang ke kampung halamannya itu.
Pulang kampung bukanlah sesuatu yang menggembirakan bagi Sundari, seperti yang
dirasakan oleh kebanyakan orang. Ada rasa cemas yang selalu membayanginya
setiap kali ia pulang. Rasa cemas yang entah sampai kapan bisa dilepaskannya.
Rasa cemas ketika ia harus bertemu dengan orang-orang di desanya.
Atau ketika ia menghadapi pikirannya sendiri yang masih saja belum bisa lepas
dari bayang-bayang masa lalunya. Rasa cemas yang kadang berubah menjadi rasa
takut yang teramat luar biasa bagi Sundari.
Semua pakaian dan beberapa barang lain masuk juga ke dalam tas. Tapi
Sundari teringat masih ada satu barang yang belum dimasukkannya. Ia pun membuka
lemari. Diambilnya sebuah buku harian miliknya. Namun ia sejenak ragu, apakah
barang itu perlu dibawanya atau tidak.
Dan buku itu diletakkannya saja di atas meja yang ada di dekat
lemari. Sundari pun duduk di tepi ranjangnya. Dinyalakannya radio dan sebuah
lagu era 90-an mengalun lembut, suara alto yang merdu mengalir dari pita suara
Iga Mawarni.
Entah mengapa hatiku
Kini ku ingin sendiri
Tak ingin aku berkawan lagi
Selain denganmu
Sejak pertama bertemu
Hatiku mulai resah
Gelisah menyapa
Rindu yang menggoda
Di hatiku ini
Kini ku ingin sendiri
Tak ingin aku berkawan lagi
Selain denganmu
Sejak pertama bertemu
Hatiku mulai resah
Gelisah menyapa
Rindu yang menggoda
Di hatiku ini
***
Matahari berada di sisi barat langit Desa Kemiri, panasnya sudah
mulai berkurang. Angin sore perlahan bertiup. Dua wanita kakak beradik
masing-masing menggenggam sapu lidi,
membersihkan halaman depan sebuah rumah. Daun-daun kering yang berserakan mulai terkumpul di pojok halaman.
“Akhirnya
selesai juga nyapunya,” kata Sutari sambil menyeka keringat yang melumuri
dahinya.
“Sekalian
ambil korek di dapur, Dik. Biar sampahnya langsung dibakar sekarang,” timpal
Sundari. Tanpa berkomentar, Sutari bergegas menuju ke dapur mengambil korek
api. Sementara Sundari berjalan menuju bangku panjang yang ada di depan rumah,
lalu duduk melepas lelah di sana menikmati angin sore yang cukup segar dan
menghilangkan hawa gerah di tubuh.
Dari dalam rumah, Sutari keluar menuju pojok halaman. Dibakarnya
tumpukan daun kering. Asap tipis mulai mengepul. Lalu ia berjalan menuju bangku
dan duduk di samping kakaknya sambil tetap mengawasi sampah yang sedang
dibakarnya.
***
Ataukah
semua ini
Karena aku kasmaran
Bagaimanakah cara aku untuk menghindarinya
Ataukah mungkin aku telah jatuh cinta
Karena aku kasmaran
Bagaimanakah cara aku untuk menghindarinya
Ataukah mungkin aku telah jatuh cinta
Refrein lagu Kasmaran baru saja berakhir. Lagu-lagu nostalgia
terus terdengar dari radio, dan sepertinya mampu membawa angan Sundari ke
masa-masa lalunya.
Masa lalu. Dua buah kata yang jika bisa Sundari ingin hapuskan
dari ingatannya, walau ia tahu pasti itu sukar bahkan mustahil. Jejak yang
ditinggalkan oleh masa lalu itu begitu perih dan membekas di hatinya.
Waktu terus beranjak. Malam terus menggelap. Sundari mematikan
radionya, dan membaringkan tubuh lelahnya di atas ranjang. Tubuh yang semakin
menua dan lelah oleh beratnya beban hidup. Kehadiran Satriyo mungkin
satu-satunya hal yang bisa sedikit mengurangi beban itu. Ah, sudahlah.
Sundari segera memejamkan mata, walau
tidak bisa langsung terlelap.
***
“Jam berapa sekarang?” tanya Sundari.
“Lima lebih. Hampir setengah enam,”
jawab Sutari.
“Kok Mas Bas belum pulang ya.”
“Wah, saya juga mau nanya itu. Mmm ...
tadi Mas Bas apa bilang mau pulang telat atau gimana Mbak?”
“Nggak bilang apa-apa. Lha memang
siang tadi Mas Bas mau pergi ke rumah Pak Lik Aji. Tapi katanya cuma sebentar
saja, terus langsung pulang.”
“Apa mungkin dari sana Mas Bas latihan
dulu sama kelompok kethopraknya?”
“Ndak tau kalo itu. Tapi kayaknya sih
ndak ke sana, soalnya minggu-minggu ke depan masih belum ada kegiatan manggung.
Mmm ... Kok perasaanku agak ndak enak ya.”
Sementara kakak beradik Sundari dan Sutari masih berbincang, dari
jauh nampak ayah mereka datang dengan sepeda. Tak seperti biasanya, kali ini
lelaki itu juga agak telat pulang dari berjualan di pasar.
“Tumben telat, Pak’e?”
“Eh, anu. Mmm... Emak kalian dimana?”
“Ada di dalam.”
Emak muncul dari dalam rumah, bergabung dengan ketiga orang.
“Ada apa,
Pak? Kok kelihatan gugup begitu.”
“Ini. Tadi
sepulang dari pasar aku lihat ada ramai-ramai di balai desa.”
“Ramai-ramai apa, Pak’e?
“Aku tanya sama orang-orang di situ.
Katanya baru saja Baskoro dibawa ke kantor polisi. Entah ada masalah apa ...”
“Mas Bas ditangkap polisi? Ada apa
Pak’e?” tanya Sundari terkejut mendengar kabar tentang suaminya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar