Senin, 03 Februari 2014

Asmaradana Terlarang (17)

Beberapa potong pakaian sudah dimasukkan Sundari ke dalam tas hingga membuat tas itu hampir penuh. Namun masih saja ada beberapa pakaian lagi yang masih ada di luar dan perlu dimasukkan. Juga beberapa benda lain miliknya yang nampaknya bakal membuat tas itu penuh sesak.

Besok sore Sundari akan ke Pati, menyusul Satriyo yang sudah duluan di sana. Sudah cukup lama Sundari tidak pulang ke kampung halamannya itu. Pulang kampung bukanlah sesuatu yang menggembirakan bagi Sundari, seperti yang dirasakan oleh kebanyakan orang. Ada rasa cemas yang selalu membayanginya setiap kali ia pulang. Rasa cemas yang entah sampai kapan bisa dilepaskannya.

Rasa cemas ketika ia harus bertemu dengan orang-orang di desanya. Atau ketika ia menghadapi pikirannya sendiri yang masih saja belum bisa lepas dari bayang-bayang masa lalunya. Rasa cemas yang kadang berubah menjadi rasa takut yang teramat luar biasa bagi Sundari.

Semua pakaian dan beberapa barang lain masuk juga ke dalam tas. Tapi Sundari teringat masih ada satu barang yang belum dimasukkannya. Ia pun membuka lemari. Diambilnya sebuah buku harian miliknya. Namun ia sejenak ragu, apakah barang itu perlu dibawanya atau tidak.

Dan buku itu diletakkannya saja di atas meja yang ada di dekat lemari. Sundari pun duduk di tepi ranjangnya. Dinyalakannya radio dan sebuah lagu era 90-an mengalun lembut, suara alto yang merdu mengalir dari pita suara Iga Mawarni.

Entah mengapa hatiku
Kini ku ingin sendiri
Tak ingin aku berkawan lagi
Selain denganmu

Sejak pertama bertemu
Hatiku mulai resah
Gelisah menyapa
Rindu yang menggoda
Di hatiku ini

***

Matahari berada di sisi barat langit Desa Kemiri, panasnya sudah mulai berkurang. Angin sore perlahan bertiup. Dua wanita kakak beradik masing-masing menggenggam sapu lidi,  membersihkan halaman depan sebuah rumah. Daun-daun kering yang  berserakan mulai terkumpul di pojok halaman.

                “Akhirnya selesai juga nyapunya,” kata Sutari sambil menyeka keringat yang melumuri dahinya.

               “Sekalian ambil korek di dapur, Dik. Biar sampahnya langsung dibakar sekarang,” timpal Sundari. Tanpa berkomentar, Sutari bergegas menuju ke dapur mengambil korek api. Sementara Sundari berjalan menuju bangku panjang yang ada di depan rumah, lalu duduk melepas lelah di sana menikmati angin sore yang cukup segar dan menghilangkan hawa gerah di tubuh.

Dari dalam rumah, Sutari keluar menuju pojok halaman. Dibakarnya tumpukan daun kering. Asap tipis mulai mengepul. Lalu ia berjalan menuju bangku dan duduk di samping kakaknya sambil tetap mengawasi sampah yang sedang dibakarnya.

***

Ataukah semua ini
Karena aku kasmaran
Bagaimanakah cara aku untuk menghindarinya
Ataukah mungkin aku telah jatuh cinta

Refrein lagu Kasmaran baru saja berakhir. Lagu-lagu nostalgia terus terdengar dari radio, dan sepertinya mampu membawa angan Sundari ke masa-masa lalunya.

Masa lalu. Dua buah kata yang jika bisa Sundari ingin hapuskan dari ingatannya, walau ia tahu pasti itu sukar bahkan mustahil. Jejak yang ditinggalkan oleh masa lalu itu begitu perih dan membekas di hatinya.

Waktu terus beranjak. Malam terus menggelap. Sundari mematikan radionya, dan membaringkan tubuh lelahnya di atas ranjang. Tubuh yang semakin menua dan lelah oleh beratnya beban hidup. Kehadiran Satriyo mungkin satu-satunya hal yang bisa sedikit mengurangi beban itu. Ah, sudahlah. Sundari  segera memejamkan mata, walau tidak bisa langsung terlelap.

***


“Jam berapa sekarang?” tanya Sundari.

“Lima lebih. Hampir setengah enam,” jawab Sutari.

“Kok Mas Bas belum pulang ya.”

“Wah, saya juga mau nanya itu. Mmm ... tadi Mas Bas apa bilang mau pulang telat atau gimana Mbak?”

“Nggak bilang apa-apa. Lha memang siang tadi Mas Bas mau pergi ke rumah Pak Lik Aji. Tapi katanya cuma sebentar saja, terus langsung pulang.”

“Apa mungkin dari sana Mas Bas latihan dulu sama kelompok kethopraknya?”

“Ndak tau kalo itu. Tapi kayaknya sih ndak ke sana, soalnya minggu-minggu ke depan masih belum ada kegiatan manggung. Mmm ... Kok perasaanku agak ndak enak ya.”

Sementara kakak beradik Sundari dan Sutari masih berbincang, dari jauh nampak ayah mereka datang dengan sepeda. Tak seperti biasanya, kali ini lelaki itu juga agak telat pulang dari berjualan di pasar.

“Tumben telat, Pak’e?”

“Eh, anu. Mmm...  Emak kalian dimana?”

“Ada di dalam.”

Emak muncul dari dalam rumah, bergabung dengan ketiga orang.

                “Ada apa, Pak? Kok kelihatan gugup begitu.”
            
             “Ini. Tadi sepulang dari pasar aku lihat ada ramai-ramai di balai desa.”

“Ramai-ramai apa, Pak’e?

“Aku tanya sama orang-orang di situ. Katanya baru saja Baskoro dibawa ke kantor polisi. Entah ada masalah apa ...”


“Mas Bas ditangkap polisi? Ada apa Pak’e?” tanya Sundari terkejut mendengar kabar tentang suaminya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar