Matahari sudah mulai meninggi dan menghangatkan kota Pati. Sebuah
kantor polisi yang berada beberapa puluh meter di timur alun-alun terlihat
ramai seperti hari-hari sebelumnya. Beberapa petugas sedang berjaga di pos
bagian depan.
Di ruangan lain, dua orang pria duduk di lantai yang disemen.
Sebuah terali besi memisahkan kedua pria itu.
“Sejak kapan
kamu pakai tato?” tanya Aji. Lelaki paruh baya itu tak dapat menyembunyikan
kemarahannya kepada Baskoro.
“Eh.. anu,”
Baskoro gelagapan mendapat pertanyaan itu. “Sudah tahun lalu, Pak Lik.”
“Siapa yang
membuatnya?”
“Teman-teman
kethoprak.”
“Jadi
teman-teman kamu juga tatoan seperti
kamu?”
“Tidak, Pak
Lik. Cuma saya yang pakai tato. Ini juga untuk iseng saja.”
***
Di ruang lain, Suprapto tengah duduk dan membaca beberapa berkas
yang ada di meja. Sebuah gelas berisi kopi yang berada di depannya tinggal
berisi setengahnya.
“Selamat
pagi, Ndan,” sapa seorang petugas di depan pintu. “Ada yang mau ketemu.”
“Pagi. O, ya.
Lima menit lagi suruh masuk,” jawab Suprapto. Ia kemudian mengambil gelas kopi
dan mereguk isinya, lalu melanjutkan membaca berkas.
Sebuah ketukan di pintu terdengar. Seorang lelaki masuk setelah
sebelumnya mengucapkan salam singkat.
“Selamat
pagi,” kata Suprapto. “Silakan duduk Nak Krisno.”
“Matur nuwun,
Pak,” jawab lelaki yang bernama Krisno itu.
***
“Aku tidak
habis pikir, kanapa kamu bisa melakukan tindakan bodoh seperti itu,” Aji masih
belum bisa meredam kemarahannya. Sementara Baskoro terdiam tidak tahu harus
menjawab apa. “Apa kamu tidak tahu kalo tato itu bisa mendatangkan bencana bagi
kamu? Banyak preman dan gali yang sekarang ketakutan dan berusaha
menyembunyikan dan menghapus tato di tubuhnya. Eh, kamu kok malah tatoan. Mau
bunuh diri?”
“Maaf, Pak
Lik.”
“Apa kamu tidak dengar kalo tahun ini
banyak gali yang tiba-tiba menghilang secara misterius. Gali-gali banyak
ditangkap orang tak terkenal. Lalu tahu-tahu sudah ditemukan di tepi jalan,
hutan atau di mana saja dalam keadaan meninggal dengan luka tembak atau terkena
senjata tajam di seluruh tubuhnya?”
Baskoro gemetaran mendengar perkataan Aji. Sungguh ia tidak bakal
mengira bahwa gambar yang terukir di pinggangnya itu akan menyeretnya masuk ke dalam
bui. Bahkan ia tak pernah berpikir bahwa kini nyawanya juga berada di ujung
tanduk.
Baskoro sangat ketakutan dan khawatir. Khawatir bukan hanya
terhadap dirinya, tetapi juga terhadap nasib istrinya. Apalagi saat ini Sundari
dalam keadaan mengandung dua bulan.
***
“Aku tidak menemukan catatan kejahatan
yang pernah dilakukan oleh Baskoro. Dia bersih,” kata Suprapto.
“Bagaimana dengan tato itu?” tanya
Krisno. “Bukankah itu perlu dicurigai?”
“Aku sedang memeriksanya. Nanti akan
tahu apakah Baskoro bersih atau tidak.”
“Saya mohon Bapak tidak
berlambat-lambat. Saya khawatir nanti akan terjadi hal-hal yang tidak baik di
masyarakat.”
“Aku sudah meminta kesaksian dari
warga soal Baskoro. Semuanya bilang tidak ada masalah. Baskoro pemuda yang baik
dan sopan. Dan aku tidak akan gegabah dalam menangani hal ini.”
“Tapi Pak, bukankah sudah seharusnya
gali-gali bertato dilenyapkan saja dari masyarakat? Ini demi keamanan, Pak.”
“Kalo memang benar gali, tentu Baskoro
akan ditindak. Aku kebetulan sangat mengenal baik pemimpin kethoprak tempat Baskoro main. Dan aku
percaya Pak Aji bisa menjaga Baskoro dan anak buahnya yang lain tetap berlaku
baik di masyarakat.”
“Jadi, gimana kelanjutan laporan saya
Pak? Apa Baskoro akan bebas begitu saja?”
“Tenang saja, Dik Krisno. Pemeriksaan
masih terus dilanjutkan.”
Suprapto mengakhiri pembicaraan itu dan meminta Krisno untuk meninggalkan
ruangan. Polisi itu melihat ada sesuatu di mata Krisno. Semacam kebencian, atau
dendam pribadi di sorot mata pemuda Desa Kemiri itu. Tak sukar bagi seorang reserse
seperti Suprapto untuk bisa menangkap hal-hal seperti itu.
***
“Jadi, gimana
Lik. Apa Pak Lik bisa membantuku?” tanya Baskoro.
“Hhhh...
baik, aku akan mencoba bicara dengan Suprapto. Mudah-mudahan dia bisa
membebaskan kamu, jawab Aji.
“Matur nuwin,
Lik.”
“Baik, aku
akan menghadap Suprapto. Mudah-mudahan ia ada di ruangannya.”
Aji pun meninggalkan Baskoro. Dari ruangan itu, pandangan Baskoro
terus mengikuti Aji hingga akhirnya menghilang di belokan ruangan.
Tapi, hei, Baskoro melihat seseorang yang sedang berjalan di
kejauhan sana. Meski hanya sebentar melihatnya, Baskoro sangat mengenal sosok
itu.
“Krisno?
Mengapa dia ada di sini?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar