Minggu, 09 Februari 2014

Asmaradana Terlarang (19)

Matahari sudah mulai meninggi dan menghangatkan kota Pati. Sebuah kantor polisi yang berada beberapa puluh meter di timur alun-alun terlihat ramai seperti hari-hari sebelumnya. Beberapa petugas sedang berjaga di pos bagian depan.

Di ruangan lain, dua orang pria duduk di lantai yang disemen. Sebuah terali besi memisahkan kedua pria itu.

                “Sejak kapan kamu pakai tato?” tanya Aji. Lelaki paruh baya itu tak dapat menyembunyikan kemarahannya kepada Baskoro.

                “Eh.. anu,” Baskoro gelagapan mendapat pertanyaan itu. “Sudah tahun lalu, Pak Lik.”

                “Siapa yang membuatnya?”

                “Teman-teman kethoprak.”

                “Jadi teman-teman kamu juga  tatoan seperti kamu?”

                “Tidak, Pak Lik. Cuma saya yang pakai tato. Ini juga untuk iseng saja.”
               
***

Di ruang lain, Suprapto tengah duduk dan membaca beberapa berkas yang ada di meja. Sebuah gelas berisi kopi yang berada di depannya tinggal berisi setengahnya.

                “Selamat pagi, Ndan,” sapa seorang petugas di depan pintu. “Ada yang mau ketemu.”

                “Pagi. O, ya. Lima menit lagi suruh masuk,” jawab Suprapto. Ia kemudian mengambil gelas kopi dan mereguk isinya, lalu melanjutkan membaca berkas.

Sebuah ketukan di pintu terdengar. Seorang lelaki masuk setelah sebelumnya mengucapkan salam singkat.


                “Selamat pagi,” kata Suprapto. “Silakan duduk Nak Krisno.”

                “Matur nuwun, Pak,” jawab lelaki yang bernama Krisno itu.

***

                “Aku tidak habis pikir, kanapa kamu bisa melakukan tindakan bodoh seperti itu,” Aji masih belum bisa meredam kemarahannya. Sementara Baskoro terdiam tidak tahu harus menjawab apa. “Apa kamu tidak tahu kalo tato itu bisa mendatangkan bencana bagi kamu? Banyak preman dan gali yang sekarang ketakutan dan berusaha menyembunyikan dan menghapus tato di tubuhnya. Eh, kamu kok malah tatoan. Mau bunuh diri?”

                “Maaf, Pak Lik.”

   “Apa kamu tidak dengar kalo tahun ini banyak gali yang tiba-tiba menghilang secara misterius. Gali-gali banyak ditangkap orang tak terkenal. Lalu tahu-tahu sudah ditemukan di tepi jalan, hutan atau di mana saja dalam keadaan meninggal dengan luka tembak atau terkena senjata tajam di seluruh tubuhnya?”

Baskoro gemetaran mendengar perkataan Aji. Sungguh ia tidak bakal mengira bahwa gambar yang terukir di pinggangnya itu akan menyeretnya masuk ke dalam bui. Bahkan ia tak pernah berpikir bahwa kini nyawanya juga berada di ujung tanduk.

Baskoro sangat ketakutan dan khawatir. Khawatir bukan hanya terhadap dirinya, tetapi juga terhadap nasib istrinya. Apalagi saat ini Sundari dalam keadaan mengandung dua bulan.

***

“Aku tidak menemukan catatan kejahatan yang pernah dilakukan oleh Baskoro. Dia bersih,” kata Suprapto.

“Bagaimana dengan tato itu?” tanya Krisno. “Bukankah itu perlu dicurigai?”

“Aku sedang memeriksanya. Nanti akan tahu apakah Baskoro bersih atau tidak.”

“Saya mohon Bapak tidak berlambat-lambat. Saya khawatir nanti akan terjadi hal-hal yang tidak baik di masyarakat.”

“Aku sudah meminta kesaksian dari warga soal Baskoro. Semuanya bilang tidak ada masalah. Baskoro pemuda yang baik dan sopan. Dan aku tidak akan gegabah dalam menangani hal ini.”

“Tapi Pak, bukankah sudah seharusnya gali-gali bertato dilenyapkan saja dari masyarakat? Ini demi keamanan, Pak.”

“Kalo memang benar gali, tentu Baskoro akan ditindak. Aku kebetulan sangat mengenal baik pemimpin  kethoprak tempat Baskoro main. Dan aku percaya Pak Aji bisa menjaga Baskoro dan anak buahnya yang lain tetap berlaku baik di masyarakat.”

“Jadi, gimana kelanjutan laporan saya Pak? Apa Baskoro akan bebas begitu saja?”

“Tenang saja, Dik Krisno. Pemeriksaan masih terus dilanjutkan.”

Suprapto mengakhiri pembicaraan itu dan meminta Krisno untuk meninggalkan ruangan. Polisi itu melihat ada sesuatu di mata Krisno. Semacam kebencian, atau dendam pribadi di sorot mata pemuda Desa Kemiri itu. Tak sukar bagi seorang reserse seperti Suprapto untuk bisa menangkap hal-hal seperti itu.

***


                “Jadi, gimana Lik. Apa Pak Lik bisa membantuku?” tanya Baskoro.

                “Hhhh... baik, aku akan mencoba bicara dengan Suprapto. Mudah-mudahan dia bisa membebaskan kamu, jawab Aji.

                “Matur nuwin, Lik.”

                “Baik, aku akan menghadap Suprapto. Mudah-mudahan ia ada di ruangannya.”

Aji pun meninggalkan Baskoro. Dari ruangan itu, pandangan Baskoro terus mengikuti Aji hingga akhirnya menghilang di belokan ruangan.
Tapi, hei, Baskoro melihat seseorang yang sedang berjalan di kejauhan sana. Meski hanya sebentar melihatnya, Baskoro sangat mengenal sosok itu.

                “Krisno? Mengapa dia ada di sini?”

                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar