Kamis, 27 Februari 2014

Valentine Sudah Lewat

Februari. Wah, ini bulan yang istimewa. Sebenarnya sih bagi kami Februari sama saja dengan sebelas bulan lainnya. Manusia saja yang menjadikan kami, buah-buah apel, lebih istimewa di bulan pendek ini. Tapi sayangnya keistimewaan itu hanya terjadi di pertengahan bulan. Valentine’s Day, itu menurut para manusia. Kalau sudah lewat ke akhir bulan seperti sekarang, ya tidak istimewa lagi.

Saat ini umurku sudah cukup matang. Penampilanku ranum dan merah menyala, rasa buahku pun sudah manis segar. Namun sayang, harapanku agar aku bisa terpilih oleh manusia untuk dijadikan sesuatu yang istimewa di Valentine’s Day yang lalu tidak terjadi. Aku masih terpajang manis di toko buah saat ini, menunggu pembeli. Tapi sudahlah, toh ada apel-apel lainnya yang juga mengalami ketidakberuntungan ini.

Setidaknya kami masih bisa saling bercanda satu dengan lainnya, atau berbagi cerita turun-temurun sejak masa nenek moyang kami dulu. Kalau sudah lelah mengobrol, ya paling-paling kami cukup berdiam diri sambil melihat apa yang terjadi di sekitar kami: pemilik toko buah yang sudah nenek-nenek dan berkacamata tebal itu, orang-orang yang lalu-lalang di depan toko, atau pria berambut ikal di seberang jalan yang sering ketiduran di toko kelontong yang dijaganya.

***

Lincolnshire, 1666. Untuk kesekian kalinya pria berambut ikal itu ketiduran di halaman belakang rumah keluarga besarnya. Kadang tertidur di kursi malas yang ada di beranda belakang, juga kadang tertidur sambil duduk di lantai dengan bersandar tembok.

“Eh, lihat manusia yang tidur di sana itu,” kata salah satu buah apel yang bertengger di dahan pohon.

“Iya, memang kenapa?” timpal apel lainnya yang ada di dekatnya.

“Aku kok sebel melihatnya.”

“Lho?”

“Iya sebel saja. Anak muda kok sering ketiduran. Rasanya mau ku jitak saja.”

“Tenang, tenang. Kita beri pelajaran saja kalo begitu. Aku punya ide… “

Uups… Pria muda itu terbangun. Menguap. Menggeliat meregangkan kedua tangan. Lalu mulai berdiri dan berjalan berkeliling halaman rumah sambil membawa selembar kertas dan sebatang pena. Matanya masih terlihat merah.

Siang itu lumayan terik, beruntung angin sepoi cukup memberi kesegaran. Tak hanya itu, tentunya juga mendatangkan kantuk bagi pria berambut ikal itu. Dan… benar saja, begitu ia menemukan tempat yang cocok, ia pun mulai duduk dan tak bisa menahan kantuknya.

“Aha, dia ada di bawah pohon apel! Berarti kita bisa melancarkan aksi.”

Apel itu mulai menggoyang-goyangkan badannya, hingga akhirnya ia terlepas dari dahan dan melayang bebas ke bawah.

PLAKK!!

Apel itu jatuh mengenai kepala manusia yang tertidur di bawahnya. Jelas saja pria itu terbangun kaget. Di pegangnya apel yang jatuh itu sambil mengelus-elus kepalanya yang terasa sakit.

Sekian detik pria itu terdiam, entah apa yang dipikirnya. Tapi di detik berikutnya ia mengambil kertas dan menerakan tulisan di atasnya:

Energi potensial berbanding lurus dengan massa benda, ketinggian benda dan juga gaya gravitasi.
Tak lupa ia menggoreskan sebuah nama di bawah tulisan tadi: Isaac Newton

***

“Valentine sudah lewat,” aku bergumam pelan.

“Apa kau bilang barusan?” tanya temanku.

“Oh, iya. Valentine sudah lewat,” jawabku. “Kita sudah tidak istimewa lagi. Apel biasa-biasa saja… “

Pembicaraan kami terpotong ketika seorang pria bertubuh kurus masuk ke toko buah. Mudah-mudahan saja dia mengambil diriku sehingga aku bisa menikmati suasana yang baru.

Setelah berbincang singkat dengan nenek tua pemilik toko, pria kurus itu mulai memilih-milih apel. Dan, akhirnya aku dan tiga apel lainnya berpindah dari kotak buah menuju kantong plastik.

Selesai membayarnya, pria kurus itu menenteng kantong plastik dan berjalan menyusuri jalan. Dari dalam kantong yang transparan, aku bisa melihat orang-orang dan kendaraan yang lalu-lalang.

Di ujung sana, aku lihat seorang pria berlari tunggang-langgang. Sekian belas meter di belakangnya, beberapa orang berusaha mengejarnya. Maling?

***

Los Altos, 1976. Suasana kota kecil yang biasanya tenang, mendadak heboh siang itu.

“Maliiing!!! Maliiiinggg!!!”

Terdengar teriakan seorang wanita muda di sebuah kios buah segar miliknya. Sayang si pencuri cilik terlanjur kabur jauh. Orang-orang berdatangan, mengerumuni wanita itu. Beberapa juru warta juga ada.

“Mana malingnya?”

“Barang apa yang hilang?”

“Dasar maling kurang ajar!”

Wanita muda itu tak menghiraukan perkataan orang-orang di sekitarnya. Ia sibuk memeriksa barang dagangannya. Lengkap, sepertinya maling cilik itu tak berhasil menggondol satu barang pun. Kecuali …

“Beruntung tak ada yang hilang. Maling lapar itu bahkan tak berhasil menyelesaikan makan siangnya,” kata wanita itu sambil memegang sebuah apel yang tergigit secuil.

Kilatan kamera juru warta pun menyambar, mengabadikan si wanita dan apel di tangannya. Foto itu muncul di surat kabar lokal esok harinya, foto yang akhirnya menginspirasi seorang anak muda untuk memakai apel somplak menjadi logo perusahaan komputernya.

***

Sudah tiga hari aku berada di kamar si pria kurus itu. Kami yang semula berempat, kini tersisa dua di atas meja kecil di samping ranjang si kurus itu. Yang dua lagi ‘pergi’ dari meja ini, namun bukan karena dimakan.

Tiga hari ini si kurus nampak tak sehat, dan mengurung diri di kamar. Sudah dua kali orang tuanya mengundang dokter untuk memeriksa penyakitnya. Namun baru saja si dokter berada di ambang pintu kamar, si kurus sudah berteriak ketakutan dan melempar dengan apel. Begitulah nasib kedua temanku, hanya sebagai apel buangan untuk mengusir dokter kemarin dan kemarinnya lagi.

“Valentine sudah lewat… “

Aku menggumamkan kalimat itu lagi. Kali ini mungkin lebih terdengar sebagai sebuah keluhan karena aku sudah kehilangan kesempatan untuk menjadi apel yang istimewa untuk manusia. Bahkan aku terancam menjadi apel buangan, seperti temanku kemarin.

TOK TOK TOK

Tiga ketukan di pintu.

“Siapa?” tanya si kurus.

“Nak, sudah tiga hari kamu sakit,” suara seorang wanita di ambang pintu. “Kamu harus diperiksa dokter.”

“Tidak, aku tidak mau dokter!!”

Seorang pria berbaju putih muncul di samping wanita itu.

“Nggak usah takut. Cuma sebentar saja,” kata si baju putih sambil tersenyum ramah.

Dan seperti yang sudah-sudah, si kurus berteriak ketakutan. Di ambilnya temanku, lalu dilemparkannya ke arah si baju putih. Hampir saja apel itu mengenai muka si baju putih, jika ia tak mengelak. Wajah ramahnya berubah merah. Tanpa berkata sepatah pun, si baju putih langsung meninggalkan kamar itu diikuti si wanita yang berkali-kali meminta maaf.

Si kurus membuka laci meja. Sebuah buku kecil dan pulpen diambilnya. Sambil tersenyum puas, sebuah tulisan diterakannya di buku itu:
An apple a day keeps the doctor away
Kini tinggallah aku sendiri. Apel terakhir di kamar ini.
Entah apa yang akan terjadi denganku selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar