Februari. Wah, ini bulan yang istimewa.
Sebenarnya sih bagi kami Februari sama saja dengan sebelas bulan
lainnya. Manusia saja yang menjadikan kami, buah-buah apel, lebih
istimewa di bulan pendek ini. Tapi sayangnya keistimewaan itu hanya
terjadi di pertengahan bulan. Valentine’s Day, itu menurut para
manusia. Kalau sudah lewat ke akhir bulan seperti sekarang, ya tidak
istimewa lagi.
Saat ini umurku sudah cukup matang.
Penampilanku ranum dan merah menyala, rasa buahku pun sudah manis
segar. Namun sayang, harapanku agar aku bisa terpilih oleh manusia
untuk dijadikan sesuatu yang istimewa di Valentine’s Day yang lalu
tidak terjadi. Aku masih terpajang manis di toko buah saat ini,
menunggu pembeli. Tapi sudahlah, toh ada apel-apel lainnya yang juga
mengalami ketidakberuntungan ini.
Setidaknya kami masih bisa saling
bercanda satu dengan lainnya, atau berbagi cerita turun-temurun sejak
masa nenek moyang kami dulu. Kalau sudah lelah mengobrol, ya
paling-paling kami cukup berdiam diri sambil melihat apa yang terjadi
di sekitar kami: pemilik toko buah yang sudah nenek-nenek dan
berkacamata tebal itu, orang-orang yang lalu-lalang di depan toko, atau
pria berambut ikal di seberang jalan yang sering ketiduran di toko
kelontong yang dijaganya.
***
Lincolnshire, 1666. Untuk kesekian kalinya
pria berambut ikal itu ketiduran di halaman belakang rumah keluarga
besarnya. Kadang tertidur di kursi malas yang ada di beranda belakang,
juga kadang tertidur sambil duduk di lantai dengan bersandar tembok.
“Eh, lihat manusia yang tidur di sana itu,” kata salah satu buah apel yang bertengger di dahan pohon.
“Iya, memang kenapa?” timpal apel lainnya yang ada di dekatnya.
“Aku kok sebel melihatnya.”
“Lho?”
“Iya sebel saja. Anak muda kok sering ketiduran. Rasanya mau ku jitak saja.”
“Tenang, tenang. Kita beri pelajaran saja kalo begitu. Aku punya ide… “
Uups… Pria muda itu terbangun.
Menguap. Menggeliat meregangkan kedua tangan. Lalu mulai berdiri dan
berjalan berkeliling halaman rumah sambil membawa selembar kertas dan
sebatang pena. Matanya masih terlihat merah.
Siang itu lumayan terik, beruntung
angin sepoi cukup memberi kesegaran. Tak hanya itu, tentunya juga
mendatangkan kantuk bagi pria berambut ikal itu. Dan… benar saja,
begitu ia menemukan tempat yang cocok, ia pun mulai duduk dan tak bisa
menahan kantuknya.
“Aha, dia ada di bawah pohon apel! Berarti kita bisa melancarkan aksi.”
Apel itu mulai menggoyang-goyangkan badannya, hingga akhirnya ia terlepas dari dahan dan melayang bebas ke bawah.
PLAKK!!
Apel itu jatuh mengenai kepala manusia
yang tertidur di bawahnya. Jelas saja pria itu terbangun kaget. Di
pegangnya apel yang jatuh itu sambil mengelus-elus kepalanya yang
terasa sakit.
Sekian detik pria itu terdiam, entah
apa yang dipikirnya. Tapi di detik berikutnya ia mengambil kertas dan
menerakan tulisan di atasnya:
Energi potensial berbanding lurus dengan massa benda, ketinggian benda dan juga gaya gravitasi.
***
“Valentine sudah lewat,” aku bergumam pelan.
“Apa kau bilang barusan?” tanya temanku.
“Oh, iya. Valentine sudah lewat,” jawabku. “Kita sudah tidak istimewa lagi. Apel biasa-biasa saja… “
Pembicaraan kami terpotong ketika
seorang pria bertubuh kurus masuk ke toko buah. Mudah-mudahan saja dia
mengambil diriku sehingga aku bisa menikmati suasana yang baru.
Setelah berbincang singkat dengan
nenek tua pemilik toko, pria kurus itu mulai memilih-milih apel. Dan,
akhirnya aku dan tiga apel lainnya berpindah dari kotak buah menuju
kantong plastik.
Selesai membayarnya, pria kurus itu
menenteng kantong plastik dan berjalan menyusuri jalan. Dari dalam
kantong yang transparan, aku bisa melihat orang-orang dan kendaraan
yang lalu-lalang.
Di ujung sana, aku lihat seorang
pria berlari tunggang-langgang. Sekian belas meter di belakangnya,
beberapa orang berusaha mengejarnya. Maling?
***
Los Altos, 1976. Suasana kota kecil yang biasanya tenang, mendadak heboh siang itu.
“Maliiing!!! Maliiiinggg!!!”
Terdengar teriakan seorang wanita muda
di sebuah kios buah segar miliknya. Sayang si pencuri cilik terlanjur
kabur jauh. Orang-orang berdatangan, mengerumuni wanita itu. Beberapa
juru warta juga ada.
“Mana malingnya?”
“Barang apa yang hilang?”
“Dasar maling kurang ajar!”
Wanita muda itu tak menghiraukan
perkataan orang-orang di sekitarnya. Ia sibuk memeriksa barang
dagangannya. Lengkap, sepertinya maling cilik itu tak berhasil
menggondol satu barang pun. Kecuali …
“Beruntung tak ada yang hilang. Maling
lapar itu bahkan tak berhasil menyelesaikan makan siangnya,” kata
wanita itu sambil memegang sebuah apel yang tergigit secuil.
Kilatan kamera juru warta pun
menyambar, mengabadikan si wanita dan apel di tangannya. Foto itu
muncul di surat kabar lokal esok harinya, foto yang akhirnya
menginspirasi seorang anak muda untuk memakai apel somplak menjadi logo
perusahaan komputernya.
***
Sudah tiga hari aku berada di kamar
si pria kurus itu. Kami yang semula berempat, kini tersisa dua di atas
meja kecil di samping ranjang si kurus itu. Yang dua lagi ‘pergi’ dari
meja ini, namun bukan karena dimakan.
Tiga hari ini si kurus nampak tak sehat,
dan mengurung diri di kamar. Sudah dua kali orang tuanya mengundang
dokter untuk memeriksa penyakitnya. Namun baru saja si dokter berada di
ambang pintu kamar, si kurus sudah berteriak ketakutan dan melempar
dengan apel. Begitulah nasib kedua temanku, hanya sebagai apel buangan
untuk mengusir dokter kemarin dan kemarinnya lagi.
“Valentine sudah lewat… “
Aku menggumamkan kalimat itu lagi.
Kali ini mungkin lebih terdengar sebagai sebuah keluhan karena aku
sudah kehilangan kesempatan untuk menjadi apel yang istimewa untuk
manusia. Bahkan aku terancam menjadi apel buangan, seperti temanku
kemarin.
TOK TOK TOK
Tiga ketukan di pintu.
“Siapa?” tanya si kurus.
“Nak, sudah tiga hari kamu sakit,” suara seorang wanita di ambang pintu. “Kamu harus diperiksa dokter.”
“Tidak, aku tidak mau dokter!!”
Seorang pria berbaju putih muncul di samping wanita itu.
“Nggak usah takut. Cuma sebentar saja,” kata si baju putih sambil tersenyum ramah.
Dan seperti yang sudah-sudah, si kurus berteriak ketakutan. Di ambilnya temanku, lalu dilemparkannya ke arah si baju putih. Hampir saja apel itu mengenai muka si baju putih, jika ia tak mengelak. Wajah ramahnya berubah merah. Tanpa berkata sepatah pun, si baju putih langsung meninggalkan kamar itu diikuti si wanita yang berkali-kali meminta maaf.
Si kurus membuka laci meja. Sebuah
buku kecil dan pulpen diambilnya. Sambil tersenyum puas, sebuah tulisan
diterakannya di buku itu:
An apple a day keeps the doctor away
Kini tinggallah aku sendiri. Apel terakhir di kamar ini.
Entah apa yang akan terjadi denganku selanjutnya.
Entah apa yang akan terjadi denganku selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar