Rabu, 17 Desember 2014

Anagram

Tak seperti biasanya, pulau kecil itu masih saja terlihat ramai. Di hari-hari biasa pada musim dingin bulan Desember seperti sekarang, jam 10 malam  seharusnya menjadi waktu dimana tak banyak orang berada di jalanan Pulau Adman. Wisatawan biasanya memilih berada di dalam hotel atau penginapan. Penduduk setempat pun lebih memilih untuk berkumpul bersama keluarga dan menyalakan perapian di rumah sambil bermain gitar atau piano dan menyanyikan lagu-lagu Natal.

Namun ketenangan Pulau Adman terganggu oleh sebuah peristiwa pembunuhan sore tadi. Seorang wanita muda ditemukan tergeletak bersimbah darah di gang kecil yang menjadi pemisah Distrik 13 dan Distrik 14. Tak satu pun penduduk dari kedua distrik itu yang mengenali sang korban. Para wisatawan yang menginap di hotel maupun penginapan juga tak ada yang merasa kehilangan teman atau anggota keluarganya.

***

Sudah ada di mana, Mister?

Sebuah pesan singkat dari Kapten Armand masuk ke ponselku.  Lelaki berumur 40-an itu sudah 3 tahun ini menjabat sebagai Kepala Kepolisian di Kota Blogger. Pulau Adman atau yang lebih dikenal oleh wisatawan sebagai Adman Isle adalah pulau yang menjadi bagian dari kota yang dibagi menjadi 14 distrik itu. Dua belas distrik berada di mainland, dua sisanya di Adman Isle.

OTW, tiga menit lagi tiba,” jawabku singkat.

Taksi yang aku tumpangi melaju cukup cepat di jalanan yang tak seberapa lebar itu. Sempat berhenti beberapa saat di persimpangan lampu merah, mobil berwarna biru itu berbelok ke kanan. Lima ratus meter kemudian, mobil berhenti.

Aku keluar turun dari taksi dan melangkah mendekati kerumunan massa. Beberapa petugas polisi berjaga-jaga di lokasi. Para juru warta dengan kamera-kameranya juga nampak di belakang garis berwarna kuning yang memisahkan mereka beberapa meter dengan sesosok tubuh yang tergeletak di jalan.

Mengetahui kedatanganku, Kapten Armand segera menghampiri dan menjabat tanganku. Sebuah senyum khas mengembang di wajahnya.

Selamat malam, Mister.
Malam, Kapten.

Kami berdua pun mendekat ke tubuh korban yang terbujur kaku sejak sore tadi. Sebuah pemeriksaan prosedural kami lakukan beberapa menit, meski aku yakin hal yang sama juga telah dilakukan oleh petugas yang ada sebelum kedatanganku.

Kami mendapati korban kehilangan ibu jari tangan sebelah kiri, sepertinya pelaku yang memotongnya.  Entah dimana potongan itu, belum diketemukan. Kemungkinan pelaku membawanya,” kata Kapten Armand. “Tidak ditemukan dompet maupun kartu identitas korban. Namun di saku mantelnya, kami menemukan sebuah kartu. Kami masih menyelidiki apakah kartu tersebut sengaja ditinggalkan oleh sang pembunuh, atau tidak.

Kapten pun memperlihatkan kepadaku sebuah kertas seukuran kartu nama yang telah dibungkus plastik transparan.  Beberapa kata tertulis pada kertas berwarna biru muda itu

semburat merah ufuk barat, segurat duka pun tersurat
: adman isle

Aku mengernyitkan dahi. Sebuah tanda tanya muncul di otakku, sepertinya sang pembunuh sengaja meninggalkan jejak. Dengan jelas, waktu dan lokasi pembunuhan ditulisnya. Yang menjadi pertanyaan, apakah korban sudah diincar oleh sang pembunuh atau dipilih secara kebetulan? Sebuah teka-teki.

***

Lagu-lagu Natal berirama jazz membuat suasana malam di Green Café semakin hangat. Green Café, sebuah kafe yang sudah berdiri 20 tahun lebih di pusat keramaian Kota Blogger. Kata hijau yang menjadi nama kafe itu sengaja dipilih oleh pendirinya yang memang memiliki hobi bercocok-tanam. Beberapa sudut kafe dihiasi taman-taman mungil yang nampak asri. Meski menyajikan bermacam menu western, para pengunjung lebih mengenal kafe ini sebagai penyedia salad terbaik di Kota Blogger.

Sudah ada titik terang tentang kasus Adman Isle?” tanyaku pada Kapten Armand.

Kepala polisi itu nampak asyik menikmati burger berukuran sedang. Seporsi salad dan segelas softdrink yang ada di meja menunggu giliran untuk disantap oleh pria yang duduk di depanku itu.

Mmm… “ gumam sang Kapten sambil menyelesaikan potongan burger terakhir. Lalu diteguknya softdrink yang ada di meja. “Identitas korban telah diketahui. Dia seorang solo traveler yang kebetulan baru saja tiba di pulau, beberapa jam sebelum kejadian naas menimpanya.

Aku khidmat mendengarkan sang Kapten.

O ya, Mister. Menurut pandangan seorang detektif seperti Mister, apakah kertas itu bisa untuk mengungkapkan siapa yang ada di balik pembunuhan?” lanjut sang Kapten.

Bisa jadi,” jawabku. “Kemungkinan untuk hal itu sangat terbuka lebar. Namun perlu penyelidikan lebih mendalam.

Keadaan kafe tiba-tiba berubah ricuh. Sebuah jeritan terdengar dari rest room di bagian belakang kafe. Kapten Armand langsung berlari menuju tempat tersebut.

Aku mengawasi sekeliling kafe. Di luar sana ku lihat sebuah sepeda motor dipacu sangat kencang. Seorang berjaket biru gelap mengendarainya. Entah, sepertinya aku mengenal si pengendara itu.

Aku kemudian menyusul Kapten Armand. Seorang wanita bergaun hitam tergeletak di lantai. Darah segar mengalir dari luka akibat tusukan di perut wanita yang sudah tak bernafas itu. Tangan kanan wanita naas itu sedang memegangi perutnya yang masih mengeluarkan cairan merah segar. Sementara tangan kirinya terlihat ganjil. Hanya ada empat jari saja, ibu jarinya terpotong.

Dan tak jauh dari tubuh wanita itu, secarik kertas yang sudah berlumuran darah membuatku curiga. Sebaris kalimat tertulis:

salad me in, oh, ladies man

***

Dua pembunuhan yang terjadi di Kota Blogger menjadi perhatian semua kalangan. Walikota, anggota-anggota senat, petugas kepolisian hingga warga pun sibuk membicarakan peristiwa yang menggemparkan tersebut.

Petugas kepolisian di bawah pimpinan Kapten Armand sudah memeriksa beberapa orang terkait dua pembunuhan itu. Anggota keluarga dan teman dari kedua korban sudah dimintai keterangan dalam pemeriksaan pihak berwajib.

Seorang pesohor dari kota itu jiga ikut diperiksa. Paman Karyono, nama pesohor itu, dianggap memiliki keterkaitan dengan kedua peristiwa itu.  Lelaki paruh baya yang terkenal dengan wajah tampan yang mirip Brad Pitt ini memiliki julukan ladies man atau lelakinya para wanita. Paman Karyono memang dekat dengan banyak wanita di Kota Blogger, mulai dari para wanita muda yang kinyis-kinyis dan matang manggis, hingga wanita-wanita mapan yang sudah berkeluarga.

Ladies man, bukankah nama itu tertulis pada secarik kertas yang ditemukan di Green Café? Sedangkan salad pada bagian salad me in, bukankah itu menu favorit di kafe itu?

Spekulasi lain berkembang di masyarakat. Para pengamat malah menilai ladies man tidak terkait dalam pembunuhan  itu, bahkan sangat mungkin ladies man difitnah oleh pelaku pembunuhan yang sengaja menulis namanya di Green Café. Bisa jadi pelakunya adalah orang yang sakit hati akibat artikel-artikel yang sering ditulis oleh Paman Karyono, yang juga memiliki kegemaran menulis, di forum jurnalisme Kota Blogger.

Para pengamat juga menilai bahwa dua tulisan pada dua kertas yang ditemukan itu setidaknya ditulis oleh orang yang mengerti sastra. Bukankah kalimat-kalimat itu sangat puitis? Lalu muncullah spekulasi yang menyebutkan para penulis sastra di Kota Blogger sebagai orang yang terkait dengan misteri pembunuhan itu, antara lain Rhahav, Vandie, atau Deasie.

***

Ahaa!!!

Aku berteriak sambil setengah melompat dari tempat dudukku. Tentu saja Kapten Armand dan beberapa petugas yang ada di salah satu ruang di Kantor Kepolisian Kota Blogger terkejut. Mereka memandangku keheranan.

Ada apa, Mister?” tanya Kapten Armand.

Coba kemari, Kapten.

Sang Kapten merapat ke tempatku.

Sejak awal aku mencurigai seseorang terlibat dalam dua pembunuhan yang masih misterius ini. Dia dulu sempat dihukum 4 tahun penjara, sebelum akhirnya bebas. Entah apa yang membuatnya melakukan kejahatan kembali, mungkin balas dendam atau bisa juga motif lain. Kecurigaanku semakin kuat ketika malam pembunuhan di Green Café itu. Sesaat setelah peristiwa itu, aku melihat seseorang yang mengebut dengan sepeda motornya di luar kafe. Aku sepertinya mengenali orang itu.

Kapten terlihat diam tanpa ekspresi.

Nah, kedua tulisan di kertas itu juga menjadi petunjuk yang semakin memperkuat dugaanku!

Maksudnya, Mister?

Aku menuliskan kembali kedua kalimat yang kami temui pada saat pembunuhan.

semburat merah ufuk barat, segurat duka pun tersurat
: adman isle
salad me in, oh, ladies man

Itu anagram, Kapten!

Anagram?

Ya, beberapa kata dari kedua kalimat itu adalah anagram.

Aku menulis kata-kata yang kumaksud itu:
adman isle
salad me in
ladies man

Coba perhatikan, ketiganya tersusun dari huruf-huruf yang sama. Anagram!

Lalu, siapa penulisnya. Mmmm, maksudku siapa pembunuhnya?” tanya sang Kapten.

Dia menulis namanya sendiri di dalam anagram itu,” kataku sambil menulis kembali sebuah nama.

***

Dua kasus pembunuhan di Adman Isle dan Green Café akhirnya bisa terpecahkan. Bermula dari sebuah anagram, polisi akhirnya menangkap salah satu warga Kota Blogger yang diduga sebagai pelaku kedua pembunuhan tersebut. Dari rumah pelaku, polisi menemukan dua buah ibu jari tangan kiri yang terbungkus dalam sebuah kantong plastik dan disimpan pelaku di lemari pendingin. Media-media di Kota Blogger pun menjadikan peristiwa penangkapan sang pembunuh itu sebagai headline.

Nama pelaku pembunuhan di Kota Blogger berhasil diungkap melalui sebuah anagram.

ADMAN ISLE
SALAD ME IN
LADIES MAN
SAM LEINAD

Rabu, 22 Oktober 2014

Jalan Tanpa Nama

kawan. kita pernah seiring
melintas pelan di jalan itu


ketika pagi syahdu terkoyak nada merdu
enam utas dawai di tangan lelaki tua
memula intro pada fret A minor


atau ketika hari terik pecah oleh teriak bocah
seorang diri memain-main bola plastik
berlagak entah Rooney entah Messi


juga ketika senja jingga makin merona
saat pria muda menguntai kisah asmara
kepada kekasih di sampingnya


aku, kamu. kita pun mulai terhanyut oleh perasaan masing-masing demi mendengar dawai-dawai yang indah bergetar. lantas berdebat tentang mana yang paling baik, kick and rush atau tiki-taka. hingga akhirnya terharu menyaksi sejoli yang jatuh hati.

tapi kawan. kemarin ku sisir sendiri
jalan yang pernah kita lalui


lelaki tua itu tak lagi memecah pagi
tiada gitar yang dulu dimainkannya
intro minor itu tak pernah menjadi bait, interlude, atau coda
lalu bocah kecil nampak murung sewaktu siang
terpekur. duduk memeluk kedua lututnya
tanpa bola plastik yang menjadikannya bak pemain dunia
juga pria muda kini tanpa kekasih senjanya berkata
‘jika semua kisah punya awal tengah dan akhir
maka aku terhenti di bab pertama’


dengarlah kawan. sungguh pilu ku pandangi jalan itu
lelaki tua tanpa gitar
bocah kecil tanpa bola plastik
pria muda tanpa kekasih


seperti aku
kini tanpamu

Kreteg Kalidoro

Matahari bulan September begitu menyengat ubun-ubunku. Peluh yang mengucur di wajah dan tubuhku sepertinya langsung menguap, mengering begitu cepatnya. Aku menepi sejenak ke sebuah gardu yang berada di tepi jalan kecil di pinggir Dusun Kalidoro. Sepeda kayuhku aku sandarkan di salah satu tiang penyangga gardu.

Sesosok lelaki berumur yang berdiri di pojok kanan belakang gardu tersenyum kepadaku. Aku membalasnya singkat, lantas mengambil botol plastik dari dalam tasku. Beberapa teguk air putih mengguyur membasahi tenggorokanku.

Selamat siang,” sapaku. Ini perjumpaan keduaku dengannya. Dan aku masih ingat perjumpaan kami yang pertama, suatu sore sekitar satu bulan lalu. Juga di gardu kecil ini.

***

Dari mana dan mau kemana, Dik? Sepertinya bukan warga dusun sini ya?

Aku mengangguk pelan untuk menjawab pertanyaan lelaki di hadapanku. Lalu aku memandang kembali ke jalan yang sepi dan mulai gelap. Gerimis yang turun memaksaku berhenti dan berteduh di gardu.

Iya, Pak.  Saya tinggal di Sukomulyo. Tadi ada perlu dari Semampir, dan karena kesorean  maka saya memilih pulang lewat Kalidoro biar lebih cepat. Tapi malah gerimis di tengah jalan.

Aku ambil sebungkus rokok dari saku celanaku. Aku tawarkan sebatang kepada lelaki itu, namun ia menolaknya. Mau tak mau aku aku nikmati sendiri rokok ini.

Tinggal dimana, Pak?” tanyaku. Sebuah senyum mengembang di bibir lelaki itu. Ia menunjukkan jarinya ke jalan di depan sana.

Dekat kreteg situ,” jawabnya masih dengan senyuman yang akrab kepadaku.

Aku kembali mengarahkan pandanganku ke jalan. Memang beberapa puluh meter di depan sana ada sebuah jembatan atau kreteg. Namun aku tak melihat bangunan atau rumah di dekatnya. Ah, mungkin karena pandanganku terhalang oleh gelap dan gerimis yang sedang turun.

Tidak takut sendirian lewat sini?” dia berbalik bertanya kepadaku. Aku tak segera menjawabnya, tapi lebih memilih menghisap dalam-dalam batang putih di mulutku.

Kenapa Pak?

Hati-hati kalau lewat sini waktu sore. Kebanyakan warga sini enggan lewat jalan ini jika memang tidak ada keperluan mendesak.”
Ada perasaan was-was mendengar perkataan lelaki itu. Beruntung gerimis sudah reda, dan aku lebih memilih berpamitan daripada berlama-lama  melanjutkan percakapan kami.

***

Selamat siang,” jawab lelaki itu.

Masih ingat saya kan Pak?” kataku sambil menjabat tangannya. Lalu kami saling memperkenalkan diri masing-masing, sebuah perkenalan yang seharusnya dilakukan pada  pertemuan sebulan sebelumnya.

Anu, Pak. Soal cerita sore itu?” tanyaku sambil membuka kancing atas bajuku untuk mengurangi rasa gerah.

***

Hampir lima puluhan tahun silam. Banyak warga yang merasa was-was di tengah situasi politik yang mencekam. Sejak dibunuhnya beberapa jenderal di Jakarta, operasi militer secara besar-besaran pun dilakukan untuk membubarkan dan menumpas habis partai terlarang itu. Beberapa anggota partai banyak yang melarikan diri dan bersembunyi ke gunung atau hutan untuk menghindari penangkapan dari tentara. Mereka yang dicurigai sebagai simpatisan pun banyak yang ditangkap, dan selanjutnya tak diketahui lagi nasibnya.

Sukoco, pemuda berusia belasan tahun dusun Kalidoro. Seperti pemuda-pemuda lain di desanya, Sukoco lebih banyak membantu orang tuanya untuk bekerja di sawah. Pemuda berkulit coklat ini memiliki wajah yang lumayan ganteng sehingga tak heran banyak pemudi yang berharap untuk mendapatkan cintanya. Hati Sukoco tertambat pada Hartini, gadis tetangganya yang berwajah cantik. Namun bukan karena kecantikan Hartini saja yang membuat Sukoco jatuh cinta, melainkan juga kepandaiannya dalam memainkan tarian Jawa.

Namun di balik hubungan di antara keduanya, sebuah masalah besar mengancam. Hartini dicurigai sebagai salah satu anggota lembaga kesenian yang bernaung di bawah partai terlarang itu. Semua bermula dari kehadiran Hartini dalam sebuah pertemuan enam bulan sebelumnya. Setahu Hartini, ia hanya diundang untuk memainkan satu tarian pada pertemuan itu. Namun entah mengapa hal itu malah membuatnya berada dalam bahaya yang tak pernah disangkanya.

Mas Sukoco. Sebaiknya hubungan kita sampai di sini saja.

Kenapa, Hartini? Kenapa? Apa kamu tak percaya kalau aku sungguh-sungguh mencintaimu?

Bukan, Mas. Aku percaya Mas begitu cinta kepadaku. Namun aku tak ingin Mas terbawa dalam bahaya. Itu saja, Mas. Aku harus pergi dari dusun ini.

Berkali-kali keduanya terlibat dalam pertengkaran itu. Sukoco tak mau merelakan begitu saja perasaanya kandas di tengah jalan.

Maaf, Mas. Aku harus  segera pergi.

Hartini berlalu meninggalkan Sukoco sore yang mendung itu. Ia mengayunkan langkah dengan cepat menjauh dari kekasihnya. Dengan menahan sedih, Sukoco terus memandang Hartini yang semakin menjauh berjalan di jalan pinggir dusun Kalidoro. Hartini terus melangkah hingga sampai kreteg kayu yang menjadi batas dusun.

Hartini, tunggu!”

Sukoco berteriak memanggil sambil berlari menuju Hartini. Terpaksa Hartini menghentikan langkahnya. Hingga akhirnya pemuda itu tiba tepat di hadapannya.

Aku akan ikut denganmu,” kata Sukoco dengan nafas terengah. Mendung di langit berubah menjadi gerimis ketika keduanya berpelukan di atas kreteg.

Angkat tangan!!

Keduanya terkejut mendengar suara yang tiba-tiba itu. Tiga pria berpakaian tentara berada di belakang mereka.

Kamu harus ikut kami!” kata salah satu pria kepada Hartini. Seorang pria lainnya memborgol tangan gadis itu. Gerimis mulai berubah menjadi hujan. Suara sepatu-sepatu militer  berderap di atas kreteg kayu itu mulai bergerak menjauh dari Sukoco.

Sukoco bergetar menyaksikan peristiwa di hadapannya. Sekonyong-konyong pemuda itu berlari ke arah ketiga tentara. Ia berusaha merebut kembali kekasihnya, sebelum akhirnya sebuah suara letusan pistol terdengar, dan menghentikan usaha yang dilakukan Sukoco.

Sukoco jatuh. Air hujan bercampur darah membasahi tubuh yang telah tak bernyawa. Hartini menjerit histeris sambil terus berjalan menjauh bersama tiga tentara itu.

***

Sukoco? ” kataku dengan suara bergetar.

Lelaki di depanku diam tanpa ekspresi. Cukup lama rupanya kami berada di gardu itu. Dan hari sudah beranjak sore dan langit juga gelap.

Namanya sama dengan Bapak,” lanjutku sedikit keheranan. “Lalu nasib Hartini selanjutnya bagaimana?
Pak Sukoco yang sudah renta itu mengela nafas panjang sebelum kembali melanjutkan cerita.

Kejadian di pinggir dusun itu tak pernah terlupakan. Bahkan sampai saat ini warga Kalidoro selalu was-was jika melewati kreteg kayu di jalan pinggir dusun saat hari mulai gelap.

Kreteg di depan sana itu?” tanyaku.

Ya,” jawab Pak Sukoco singkat. “Ketakutan warga masih terjadi bahkan berpuluh-puluh tahun setelah kejadian itu berlangsung. Jika suatu saat melintasi kreteg itu saat hari senja dan hujan turun, maka berhentilah sejenak. Jangan lanjutkan perjalanan sebelum kita mengusapkan tangan beberapa kali ke kayu-kayu kreteg itu sambil berdoa untuk sepasang kekasih yang malang itu.”

Senja mulai menggelap, dan aku ajak Pak Sukoco meninggalkan tempat itu.

Rumah Bapak di dekat kreteg itu, kan? Mari saya antar!

Kami berboncengan meninggalkan gardu. Masih beberapa meter sebelum kreteg, entah kenapa tiba-tiba gerimis turun. Aku mulai khawatir, namun sebisa mungkin kusembunyikan perasaanku dari lelaki yang ada di boncengan belakang.

Sampai di ujung kreteg aku segera turun dari sepeda dan mengusap-usap kayu yang sudah berusia puluhan tahun. Aku tak memedulikan lagi apakah Pak Sukoco melakukan hal yang sama atau tidak. Lalu aku mulai menutup mata untuk berdoa. Pikiranku teringat akan cerita yang dikatakan Pak Sukoco, membayangkan bagaimana Hartini histeris menyaksikan kekasihnya yang terkapar di atas kreteg ini.

Sebuah suara yang memekakkan telinga membuatku terkejut dan membuka mata. Suara halilintar, mirip suara letusan pistol. Aku menoleh ke samping, tak ku lihat Pak Sukoco. Bulu kudukku berdiri.

Aku memerhatikan sekelilingku. Tak ada orang lain. Segera kunaiki sepedaku meninggalkan kreteg.

Minggu, 27 April 2014

5,5 cm

Blood Moon atau Red Moon. Demikianlah bulan purnama kali ini dinamakan. Disebut demikian, ya karena tentunya warna bulan purnama yang merah mirip darah. Inilah saat istimewa bagi makhluk-makhluk di negeri lain. Saat untuk berpesta-pora di malam yang luar biasa.

Seorang makhluk bertubuh mungil adalah pendatang baru di negeri lain. Tubuh manusianya baru saja mati sehari yang lalu, belum terlalu lama. Nama makhluk pendek itu adalah Tuy…

“Luyut. Panggil nama gue Luyut!”

Luyut? Nama yang aneh. Bukankah makhluk yang masih bocah seperti dia biasanya disebut dengan Tuy…

“Iya, gue tahu itu. Kenapa dibilang nama yang aneh? Nama akun lo juga dibalik dari belakang kan? Sama-sama aneh!”

Oke, oke. Apalah arti sebuah nama. Seperti yang disebutkan sebelumnya, Luyut itu pendatang baru karena tubuh manusianya mati baru satu hari. Supaya resmi diterima sebagai warga negeri lain, ada beberapa proses yang harus dilakoni oleh Luyut.

“Selamat datang bocah!”

Gila bikin kaget saja! Entah dari mana datangnya, tiba-tiba muncul makhluk lain. Rambutnya panjang tergerai, sebagian menutupi wajahnya yang pucat. Pakaiannya mirip daster warna putih.

“Terima kasih, panggil gue Luyut. Gue masih newbie di sini,” kata si bocah.

“Aku yang akan mengasuhmu sementara saat ini, sebelum kamu resmi diterima sebagai warga negeri ini,” kata si daster putih. “O ya, namaku Kanalitnuk.”

What??? Kanalitnuk? Nama yang sungguh-sungguh aneh.

“Diam saja kamu! Tidak usah banyak komentar, kalo mau nulis cerita ya nulis aja!” hardik si daster putih.

Oke, oke…
Lalu Kanalitnuk berjalan diikuti Luyut di belakangnya. Tak lama kemudian tibalah mereka di sebuah rumah kecil. Lalu pintu rumah pun terbuka, dan seorang pria eh wanita, eh pria atau wanita sih?

“Iiiiih rempong deh cyin. Akyu emang ngga jelas kaya gini dari dulu… Malam tante Kanalitnuk, apa kabar?..” sapa makhluk itu.

“Selamat malam, Icnab. Ini ada pendatang baru. Dandani dia sebagaimana mestinya,” kata Kanalitnuk.

“Aiiiih… Imut banget. Apa kabar cayang? Cini peyuk duyu…” kata Icnab sambil mencoba tersenyum ramah dan membuka kedua tangannya lebar-lebar.

Luyut terkejut mendapat sambutan yang agresif itu. Si bocah itu sampai-sampai mundur dua-tiga langkah untuk menghindarinya.

“O la la… Ngga usah takut gitu dong cayang…”

“Icnab, sebaiknya buru-buru potong habis rambutnya. Lalu ganti pakaiannya,” sela Kanalitnuk. “Sebentar lagi matahari akan terbit.”

Luyut pun dibawa ke sebuah kursi. Dengan bersedih hati, ia harus merelakan rambut trendi model spike yang disayanginya selama menjadi manusia harus dibabat habis sekarang. Yaaah, memang sudah aturannya di negeri lain, semua bocah harus gundul. Tidak ada model spike, emo, atau model-model lainnya. Yang ada cuma licin tandas, alias plontos.

***

Malam kedua diadakannya pesta-pora di negeri lain. Hampir semua makhluk berkumpul di malam berbahagia ini. Gnocop, Owuredneg, Tosegn Retsus, Lebmog Ewew, Alukard, Gnukgnalej, dan Eripmav. Semua datang dengan mengenakan pakaian kebesaran masing-masing. Kecuali …

Kanalitnuk dan Icnab sudah minta ijin kepada panitia pesta untuk tidak hadir di pesta malam kedua. Tentu saja keduanya sedang mempersiapkan si pendatang baru, Tuy…

“Luyut! Gue Luyut, catat itu!”

Iya deeh, iyaaaa… Nggak usah sewot gitu dong.
Luyut tengah dipersiapkan oleh Kanalitnuk dan Icnab agar bisa resmi diterima sebagai warga negeri lain.

“Luyut, setelah penampilan kamu diubah seperti sekarang ini, maka kamu harus bisa lulus tes terakhir malam ini. Saya harap harus lulus malam ini, supaya kamu bisa ikut berpesta besok di malam ketiga bersama-sama warga lainnya,” kata Kanalitnuk.

“Harus malam ini?” tanya si bocah.

“Iya. Jika tidak lulus malam ini, kami tak bisa ikut pesta besok. Besok adalah malam pesta terakhir, dan baru akan ada pesta lagi setelah ada Blood Moon periode selanjutnya beberapa bulan mendatang.”

“Oooh…”

“Nah, sekarang bersiap-siaplah untuk tes terbang melayang. Mari kita ke bukit itu!”
Mereka bertiga bergerak menuju bukit. Kanalitnuk menjelaskan tentang tes yang harus ditempuh oleh si bocah. Luyut menyimaknya dengan seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.

“Setiap makhluk di negeri harus bisa terbang melayang. Aku, Icnab, Gnocop, Owuredneg, Tosegn Retsus, Lebmog Ewew, Alukard, Gnukgnalej, dan Eripmav… semuanya bisa melayang. Meski nanti setelah lulus kami bergerak dengan cara yang kami sukai, entah terbang, meloncat-loncat atau ngesot, itu tak jadi soal.”

“Hmmm…”

Waktu terus berjalan. Bulan di langit sudah tak lagi bulat sempurna dengan warnanya yang juga tidak berdarah-darah. Tak ada angin sedikit pun berhembus malam itu.

“Gerah cyiin, make-up eike jadi luntur” kata Icnab sambil menyeka seluruh penjuru wajahnya dengan tisu.

Lalu tibalah saatnya …

Luyut mengambil beberapa langkah ke belakang. Setelah mengambil ancang-ancang, Luyut berlari sekencangnya. Sejurus kemudian si bocah itu menapakkan kakinya di atas sebuah batu, dan meloncat sambil memejam mata …

“I’m flying, I’m flying…,” teriak si bocah dengan mata terpejam sambil melebarkan kedua tangan di samping badan.

Bruggg…

Si bocah terjerembab jatuh.

“Aduh!,” teriak Luyut kesakitan.

“Ouuuuw…,” Icnab ikut juga berteriak takut takut genit.

Kanalitnuk segera mendekati Luyut yang meringis kesakita.

“Apa yang kamu lakukan tadi? Mengapa kamu tutup mata dan melebarkan kedua tangan? Ini bukan adegan si cantik Rose di atas anjungan Titanic!,” teriak Kanalitnuk.

“Maaf…,” kata Luyut.

“Cuma terbang selama 3 detik cyin,” sela Icnab dengan sebuah stopwatch di tangannya.

“Ayo coba lagi. Konsentrasi yang benar!” teriak Kanalitnuk di kejauhan.

Luyut mencobanya lagi, lagi dan lagi. Namun ia gagal lagi, lagi dan lagi.

“Aku menyerah…,” kata Luyut terduduk lemas.

Kanalitnuk dan Icnab mendekatinya.

“Kamu tidak boleh menyerah. Kalau kamu punya tekad kuat, yakinlah kamu akan berhasil,” kata Kanalitnuk.

“Tapi aku sudah berusaha sekuat tenaga …,” sela Luyut.

“Dengar, lihat aku baik-baik. Letakkan tekad dan mimpimu di depan keningmu. Jangan terlalu dekat, juga jangan terlalu jauh. 5,5 cm tepat di depan keningmu agar kamu bisa menggapai mimpi-mimpi itu,” kata Kanalitnuk.

“Ciyeeee… Jadi motivator ya cyiiiin. Super sekaliii,” seloroh Icnab.

Luyut bangkit dari tanah. Lalu berjalan menuju tempat sebelumnya. Ditariknya nafas dalam-dalam, lalu dihembuskannya pelan-pelan. Dan mulailah dia berlari …

“5,5 cm tepat di depan keningmu, gapai mimpi-mimpimu…”

Kata-kata itu terus mengiang-ngiang di telinganya. Dan kata-kata itu memberikan kekuatan dahsyat bagi si bocah.

Kaki-kaki kecil itu terus bergerak cepat, lalu tibalah di sebuah titik dimana kaki-kaki kecil itu bertolak dan meloncat …

Hupp…

Luyut terbang di udara. Kaki-kakinya terus bergerak seolah-olah ia sedang walking in the air, meski ia bertelanjang kaki tanpa mengenakan Air Jordan.

Bocah itu terus melayang beberapa puluh meter, sebelum akhirnya ia mendarat dengan sempurna. Sementara Icnab dan Kanalitnuk terperangah di belakang sana.

Prokk prookk proookk…

Tiba-tiba saja terdengar tepuk tangan meriah. Lalu muncullah makhluk-makhluk lain dari balik kegelapan.

“Luar biasa, luar biasa,” seru Owuredneg.

“Fantastis,” lanjut Alukard.

“Oke, malam ini jumlah kita bertambah satu. Kamu resmi menjadi warga negeri ini, Nak!” kata Gnocop.

“Besok malam terakhir dan kamu bisa ikut menikmati pesta kami,” ujar Gnukgnalej.

Dan malam itu sungguh menjadi malam yang bersejarah bagi si bocah. Ia telah berhasil melalui tes kewarganegaraan di negeri lain. Memang benar, di saat kita meletakkan mimpi dan cita-cita di depan mata, lalu berusaha mengejarnya, maka kita akan mendapatkannya.

Sekali lagi, selamat ya Tuyul.

“Luyut, tau!”

Sabtu, 19 April 2014

Asmaradana Terlarang (21)

Sebuah bus berjalan tak terlalu laju menuju arah timur di jalan tol Jakarta – Cikampek, di antara ribuan kendaraan yang harus saling berbagi ruang di seluruh lajur jalanan itu. Dua jam lalu bus itu meninggalkan Tangerang yang akan mengantarkan para penumpangnya menuju kota-kota di pantura Jawa Tengah: Semarang, Demak, Kudus dan Pati. Jika perjalanan lancar, 10 jam kemudian bus akan tiba di tujuannya.

Sundari tak dapat menahan gejolak di pikirannya. Setelah sekian tahun, ia akan kembali lagi ke kota kelahirannya. Seharusnya ia merasa senang karena akan bertemu Pak’e, Sutari dan keluarganya, juga Satriyo yang sudah datang terlebih dahulu. Namun justru kegusaran yang malah kini sedang ia rasakan. Kenangan-kenangan kelam masa lalunya kini menghampirinya kembali.

***

Langit sore sudah mulai kehilangan cahaya di Desa Kemiri. Awan gemawan di atas sana mulai berpendaran warna kuning jingga. Hawa panas telah berkurang, dan tiupan angin perlahan memberi rasa sejuk.
Sundari, Sutari dan kedua orang tuanya tengah berada di depan rumah, duduk di bangku kayu yang ada di situ. Dari bahasa tubuh dan mimik muka, mereka terlahit sedang menunggu sesuatu. Atau mungkin seseorang.

“Sudah setengah enam, kok Mas Bas belum sampai ya?” kata Sundari dengan nada cemas.

“Mbok ya sabar, Nduk. Mungkin masih di jalan. Lha namanya jalan kaki, ya pasti ndak bisa cepat sampai rumah,” kata ibunya.

“Bukan begitu, Mak’e. Meskipun cuma jalan kaki, paling lama juga dua jam sudah sampai. Lha ini sudah jam segini belum kelihatan,” kata Sundari sambil memegangi perutnya yang besar.

***

Gubug kecil itu tersembunyi di tengah rapatnya pohon pisang dan kelapa yang mengelilinginya. Letaknya yang jauh dari pemukiman memang membuat gubug itu tidak setiap hari didatangi pemiliknya. Malah sepertinya gubug itu mungkin sudah lama ditinggalkan oleh yang punya jika melihat kondisinya yang berantakan.

Sebuah mobil berada tak jauh gubug itu, tepat di tepi jalan tanah tak terlalu lebar yang menjadi satu-satunya jalan masuk ke gubug itu dari jalan raya yang berjarak hampir 1 kilo jauhnya. Sekelompok pria ada di tempat itu, sebagian berdiri dan sebagian duduk begitu saja di tanah tanpa beralaskan sesuatu. Sementara satu orang berbadan langsing terlihat tergeletak di atas tanah, tak bergerak. Kedua tangannya terikat tali. Dan kepalanya tertutup oleh kain hitam.

“Mau kita apakan dia?” tanya salah satu orang di antara mereka. “Kenapa tidak dihabisi saja sekarang?”

“Jangan sekarang. Tunggu sampai dia sadar dahulu, “ kata seorang yang lain dengan suara agak berat.

“Apa bedanya saat dia pingsan atau saat sadar? Toh kita bisa lebih mudah dan lebih cepat menghabisinya saat dia tak berdaya begini. Lalu tugas selesai”

“Justru itu. Dia tidak akan merasa sakit dan tersiksa jika kita melakukannya sekarang. Tunggu beberapa menit lagi!”

***

“Pak’e tadi pagi sempat ke kantor polisi kan?”

“Iya, aku mampir ke situ sebelum ke pasar. Aku ketemu Baskoro dan dia bilang siang ini bebas. Lalu aku ke pasar dulu.”

“Lha pulangnya kenapa Mas Bas kok ndak dijemput?”

“Pulang pasar aku ke kantor polisi lagi, mau jemput Baskoro. Tapi dia sudah ndak ada. Kata petugas di sana, sudah sejam sebelumnya pulang.”

Perbincangan sore itu terhenti. Seseorang dengan sepeda motor datang ke rumah itu.

“Selamat sore, Pak Sugiri,” sapa pria itu.

“Oh selamat sore, Pak Prapto. Mari masuk!”

“Oh tidak usah repot-repot. Saya hanya mampir sebentar,” kata pria berseragam polisi itu. “Baskoro sudah sampai rumah kan?”

***

Perlahan pria yang tergeletak itu mulai bergerak. Terdengar rintihan dari balik kain penutup kepalanya itu. Dan tiba-tiba sebuah tendangan mendarat di perutnya.

“Aaarrrhhh,” teriakannya terdengar.

“Bangunkan dia! Buka tali di tangannya dan penutup kepalanya!”

Lalu dua orang memegang tubuh pria naas itu, dan membimbingnya dengan kasar untuk berdiri. Tali pengiat tangannya pun dibuka, juga kain yang menutupi kepalanya.

“Apa kabar Baskoro?”

Baskoro mengenal suara itu, suara yang sudah tidak asing baginya. Baskoro tidak bisa melihat wajahnya karena hari sudah gelap, juga karena masih merasa pusing di kepalanya.

“Kamu.. “ Baskoro mencoba berbicara kepada orang yang ada di depannya itu.

Namun tiba-tiba sebuah tinju mendarat di kepalanya. Baskoro kehilangan keseimbangannya dan terhuyung-huyung. Belum sempat ia menegakkan kepalanya, pukulan demi pukulan kembali mendera dirinya.

Suara pukulan dan tendangan terdengar di gubug kecil itu. Rintihan dari Baskoro yang kian melemah sayup terdengar di antara umpatan manusia-manusia yang sedang kalap.

Hari semakin gelap. Tak ada suara angin yang menyusupi dedaunan. Tak ada juga bunyi serangga atau kodok. Sepertinya mereka terdiam menyaksikan kebiadaban yang tengah berlangsung saat itu.

(bersambung)

Asmaradana Terlarang (20)

“Barang-barangnya ndak ada yang ketinggalan, kan?”

“Ya, ndak ada, Pak. Lha saya hanya bawa baju yang saya pakai di badan ini.”

“Apa ndak sebaiknya nunggu keluargamu dulu? Biar ndak sendirian di jalan.”

“Ndak apa-apa, Pak.”

“Yo wis kalo begitu. Hati-hati di jalan.”

“Matur nuwun, Pak. Saya permisi.”

Baskoro menjabat tangan lalu berpamitan kepada Suprapto yang siang itu melepasnya dari tahanan. Dua hari lamanya Baskoro di tempat itu, tanpa mengerti apa alasan yang membuatnya ditangkap. Mungkin salah paham, atau ada orang yang memang berniat tidak baik. Entahlah.

Setelah melewati gerbang kantor polisi, Baskoro menyeberang jalan raya yang hanya dilewati satu-dua kendaraan siang itu. Lalu ia bejalan ke arah timur dengan langkah yang tak terlalu cepat. Hawa panas kota Pati membuatnya beberapa kali menyeka keringat yang meleleh di dahinya.

Ia masih menduga-duga siapakah yang berada di balik kejadian yang dialaminya. Ia tak pernah merasa memiliki musuh selama ini. Sepengetahuannya, ia bersikap baik kepada semua orang yang ditemuinya. Tak pernah ada yang merasa terganggu dengan sikapnya. Semua baik-baik saja.

Atau mungkin … Krisno? Ya, mengapa Krisno ada di kantor polisi kemarin? Bukankah Krisno satu-satunya orang yang selama ini bersikap tidak baik kepadanya? Apa mungkin anak petinggi desa Kemiri itu yang membuatnya harus ditahan di kantor polisi beberapa hari karena sesuatu alasan?

***

Hampir satu jam lamanya Baskoro berjalan, dan tak lama lagi ia akan berbelok dari jalan raya ke jalan desa menuju rumah. Kembali disekanya keringat yang kali ini tak hanya membasahi dahi, tapi juga pipi dan dagunya. Malah baju yang dipakainya kini sudah mulai basah.

“Ngaso sebentar dulu,”

Baskoro bergumam ketika ia berada di dekat sebuah pohon asam yang lumayan besar. Ia pun menghampiri pohon asam itu, lalu sengaja duduk di bawahnya dan meluruskan kedua kaki untuk sekedar melepas lelah beberapa menit saja.

Gegaraning wong akrami
Dudu bandha dudu rupa
Amung ati pawitane

Sebuah tembang yang sangat digemarinya pun terlantun dari mulutnya. Senyum kecil mengembang di wajah kurusnya. Ia teringat tembang itulah yang berhasil memesona seorang gadis cantik di Desa Kemiri beberapa tahun lalu. Lau sebuah kisah asmara terjalin antara kedua anak manusia. Hingga akhirnya asmara itu membawa keduanya masuk ke hubungan yang lebih jauh lagi sebagai suami dan istri.

Luput pisan kena pisan
Lamun gampang luwih gampang
Lamun angel, angel kalangkung
Tan kena tinumbas arta

Kembali Baskoro menggerakan tangannya ke wajah, namun kali ini ia tidak menyeka dahi atau pipinya karena keringat. Laki-laki bermata lebar dan hidung bangir itu menyeka air yang membasahi kedua sudut matanya. Matanya berkaca-kaca mengenang masa-masa yang telah dilaluinya bersama Sundari.

Hampi lima belas menit Baskoro larut dalam suasana haru yang menguasai perasaannya. Lalu ia bangkit dari duduknya, dihirupnya nafas dalam-dalam. Setelah merasa cukup tenang, segera diayunnya langkah meninggalkan pohon asam dan kembali menyusuri jalan yang sepi itu. Tinggal beberapa puluh meter lagi ia akan sampai di jalan menuju desanya.

Sengaja Baskoro mempercepat langkahnya. Tiba-tiba ia mendengar suara langkah-langkah kaki di belakangnya. Belum sempat ia menoleh ke belakang dan mencari tahu siapa yang ada di sana, tiba-tiba saja …

“Huppp…”

Baskoro tidak bisa melihat sekelilingnya selain kegelapan. Ia panik, berusaha meronta-ronta untuk membuka benda yang menutupi kepalanya. Namun tampaknya ia kalah kuat. Tenaganya tidak mampu melawan. Sepertinya ada dua orang atau lebih yang membekap tubuhnya.

Samar kedengaran oleh Baskoro suara mesin sebuah kendaraan yang mendekat. Baskoro semakin mengerahkan tenaganya untuk melawan. Dalam kegelapan yang dilihatnya, ia pergunakan kedua kakinya dan berusaha menendang kesana-sini tak tentu arah.

“Buk… buk… bukk…”

Dua-tiga pukulan mendarat bersamaan mengenai kepala dan perut Baskoro. Sekonyong-konyong Baskoro merasakan mual dan pusing. Ia juga menahan sesak di dadanya. Hingga kemudian tubuhnya melemas dan ia sudah tidak sadarkan diri.

Rabu, 16 April 2014

Jangkrik Genggong

“Maaf, Mbak. Dari tadi saya lihat mbak berdiri di sini terus.”

“Eh, anu. Iya Pak. Saya lagi nunggu orang.”


“Jangan disini. Kasian Mbaknya, bisa sakit nanti.”

***
Jogja. Aku tak dapat melupakannya. Separuh jiwaku sepertinya tertinggal di kota ini, meski hampir dua tahun aku telah pergi ke Bandung dan berusaha melupakan kegagalan untuk menemukan tambatan hatiku. Ah, masa-masa itu ...

Dua tahun lalu sebenarnya ada cowok yang berusaha mendekatiku. Mungkin karena perbedaan usia antara aku dan dia, maka aku pun sengaja mengandaskan perahu asmara itu. Sudahlah, masa lalu tak kan mungkin diputar ulang kembali.

Hampir dua bulan ini aku jadian dengan Asep, pemuda Bandung yang wajahnya mirip vokalis Noah. Aku pertama kali bertemu dengannya akhir tahun lalu. Cukup menggelikan juga cerita waktu itu.

***
“Eh, Neng. Sendirian aja. Mampir sini!”

Aku menengok asal suara itu. Pria muda di balik gerobak berwarna biru Persib dengan tulisan besar berwarna putih: NASI UDUK KANG ASEP.
“Mmm…, ” aku menggumam pelan. Seperti biasa, sok jual mahal.

“Kok cicing wae atuh Neng.”

Aku merasa nggak enak mendengar kalimat itu. Basa-basi pun mau tak mau aku lakukan.

“Iya, Kang,” jawabku singkat.

“Daripada bengong, sumangga dicoba nasi uduknya. Tidak enak uang kembali, Neng.”

Bisa saja nih si penjual nasi uduknya. Ya sudahlah, kebetulan aku agak lapar.

“Boleh. Satu porsi ya Kang.”

“Siyaaap,” kata pria itu dengan mimik jenaka. Aku tersenyum dibuatnya. Dengan cekatan pria itu menyiapkan pesananku, tak sampai dua menit seporsi nasi uduk pun terhidang.

Sejak pertemuan itu, entah kenapa aku jadi sering ingin ketemu dengannya. Sepertinya aku ketagihan, entah ketagihan pada nasi uduk atau mungkin pada penjualnya. Ah, jadi malu nih …

***
Drrrrrrttt… Drrrrtttttt… Drrrrrttttt…

Tiga getaran di meja kecil itu. Sebuah pesan masuk di ponselku.

“Beib aya di manten?”

Ya ampun!! Aku baru ingat kalo sore ini Kang Asep mau berangkat ke Jogja. Katanya mau menghadiri annual gathering tukang nasi uduk se-Jawa dan Madura.

“OTW,” balasku singkat. Pake huruf kapital semua.

Aku buru-buru mencuci muka dan berangkat ke terminal Leuwi Panjang. Motor matic pun ku geber, meliuk-liuk di antara kemacetan jalanan kota kembang.

Huff, akhirnya sampai juga. Dari parkiran motor aku setengah berlari menuju pemberangkatan antar kota. Dari jauh, aku lihat si vokalis Noah melambai-lambaikan tangannya padaku.

“Untung belum berangkat,” kataku tersengal-sengal.

“Masih lima belas menit,” kata Kang Asep.

Aku mengatur nafas. Kuseka keringat yang membasahi dahi.

“Kang… “

“Iya, aya naon?”

“Aku takut perpisahan ini”

Busyet. Entah kenapa tiba-tiba aku berkata demikian. Spontan, nggak terpikir sebelumnya sama sekali. Mukaku memerah, sepertinya.
Kang Asep juga mendadak berubah air mukanya. Namun tak lama ia tersenyum kembali.

“Ah, itu biasa kok Beib. Ibu-ibu sekota Bandung pasti juga nggak rela kalo tahu Akang mau pergi. Kangen sama nasi uduknya Akang.”

“Bukan gitu kang,” kataku pelan. Sejenak aku terdiam menahan kecamuk di dadaku. “Aku takut kehilangan Akang. Aku cinta mati sama Akang.”

“Ah, masa sih?,” kata Kang Asep sedikit meledek diriku. “Akang juga cinta. Sampai mati.”

“Sampai mati?” Aku membalas meledeknya.

“Betul… Aduh, kok malah ngomong soal mati ini.”

 “Ah, hahaha… Emang Akang sudah siapkan pesan-pesan terakhir? Hahaha… “

“Hmmm…,” Kang Asep menggumam. Matanya mulai menyorotkan sifat nakalnya. “Kalo Akang mati duluan, tolong makamnya jangan ditaburi bunga ya Beib.”

“Loh, kenapa Kang?”

“Iya, jangan ditaburi bunga. Kan Akang jualan nasi uduk, jadi lebih baik ditaburi bawang goreng dan kerupuk saja. Hahaha…”

Kami berdua tertawa keras. Lepas. Tak peduli beberapa orang menengok kepada kami.

“O ya, Beib. Dua hari lagi kan palentin. Tunggu Akang pulang ya, pokoknya ada kejutan.”

“Kejutan apa, Kang?”

 “Wah kalo Akang bilang sekarang, bukan kejutan lagi atuh.”

Aku tersenyum kecil. Kami terus berbincang, hingga akhirnya perpisahan tiba. Kang Asep masuk ke bus. Dari dalam terdengar nyanyian bocah pengamen yang makin sayup seiring bus yang bergerak meninggalkanku.

Aku yang dulu bukanlah yang sekarang
Dulu ditendang sekarang ku disayang …



***

Lima lewat sepuluh. Wah sudah pagi. Pulas aku tidur semalam. Aku arahkan mataku ke jendela kereta. Gelap. Lagi mendung mungkin.
Semalam aku putuskan untuk berangkat ke Jogja. Aku sudah sms Kang Asep kalo valentine-an di Jogja saja. Beruntung, Kang Asep setuju.

“Jemput di stasiun tugu jumat pagi,” begitu sms terakhirku semalam, sebelum baterei ponsel habis. Aku lupa bawa powerbank, ponsel terpaksa off.

Lima tiga puluh. Kereta berhenti, di luar masih gelap juga. Aku bergegas turun. Seorang petugas membagi-bagi masker kepada penumpang. Aku lihat sekelilingku. Ah, turun hujan abu.

“Merapi meletus?” tanyaku kepada petugas itu.

“Bukan. Kelud.”


Aku berjalan ke teras stasiun sambil melihat wajah-wajah di sekelilingku. Tak ada si vokalis Noah itu. Ku pakai jaketku. Dan aku putuskan berjalan ke jalan raya di depan sana meski guyuran abu menerpa tubuhku.
Aku berhenti di ujung halaman stasiun. Dari pos jaga di sebelahku terdengar lantunan Waljinah dengan lagu Jangkrik Genggong yang legendaris itu.

Kendal kaline wungu
Ajar kenal karo aku
Lelene mati digepuk
Gepuk nganggo walesane



“Maaf, Mbak. Dari tadi saya lihat mbak berdiri di sini terus.”

Aku dikejutkan oleh suara pria berseragam putih-biru. Entah dari mana ia muncul, tiba-tiba dia ada di sampingku.

“Eh, anu. Iya Pak. Saya lagi nunggu orang.”

 “Nunggu dijemput ya, Mbak? Sebaiknya di dalam stasiun saja. Atau di pos jaga. Jangan disini. Kasian Mbaknya, bisa sakit nanti.”

“Terima kasih, Pak.”

Aku tak menghiraukan saran petugas itu. Barangkali dua tiga menit lagi Kang Asep sampai. Tak apalah menunggu berdiri di sini.

Di persimpangan jalan sana, sepasang pria dan wanita berjalan terburu-buru di tengah-tengah hujan abu. Dari cara jalan mereka, sepertinya sudah berusia lanjut. Keduanya berjalan bergandengan, dan akhirnya menghilang di tikungan. Ah, mesranya mereka …

Waljinah masih terus bernyanyi di pos jaga.
 
Jangkrik upo sobo ning tonggo
Melumpat ning tengah jogan
Wis watake prio jare ngaku setyo
Tekan ndalan selewengan



Dan aku masih menunggu Kang Asep. Menunggu kejutan darinya di hari Valentine ini. Entah berapa lama lagi.