Senin, 16 Desember 2013

Roro Jonggrang's Galau Story

Capek sekali hari ini.
Hari yang menguras pikiran dan tenagaku.

"Kulonuwun. Selamat sore, mbak …”

Suara seorang cowok membuyarkan lamunanku.

“Sore,” kujawab singkat. “Eh, kamu…”

“Iya , aku yang tadi siang itu.”



“Selamat datang para pengunjung semua. Anda saat ini sedang memasuki kawasan wisata Candi Prambanan.”

Seperti biasa aku memberikan ucapan selamat datang. Entah sudah berapa kali mulutku menuturkan kalimat ini sejak pagi.

“Mohon antri, jangan berdesak-desakan. Bagi yang sudah memiliki tiket silakan masuk melalui pintu sebelah kanan. Bagi yang belum memiliki tiket, silakan membeli di loket sebelah kiri. Tiga puluh lima ribu.”

Tiba-tiba muncul cowok, lumayan ganteng. Masih brondong pula.

“Maaf, Mas. Sudah punya tiket? Kalau sudah, silakan masuk.” kataku.

“Begini, Mbak. Saya ini wartawan, ingin meliput kegiatan wisata di sini.” kata si cowok.

“Oh wartawan. Sudah punya tiket? Bila sudah, tunjukkan tiketnya dan silakan masuk. Anda bisa meliput sepuasnya.”

“Apa saya perlu bayar tiket juga? Saya sebagai jurnalis datang ke sini untuk meliput dan menyebarluaskan kegiatan pariwisata di tempat ini. Tentu saja ini bermanfaat bagi tempat ini, dan menurut saya alangkah wajar jika saya dibebaskan dari membayar tiket.”

“Oh tidak bisa. Wartawan tetap bayar. Tiga puluh lima ribu.Sama dengan pengunjung lain, tidak kurang.”

“Gimana logikanya?!” katanya dengan nada meninggi. “ Lha orang saya mau mengiklankan tempat ini, kok disuruh bayar. Harusnya free. Gratis!”

Aku mulai kehilangan kesabaran.

“Hei, You!” teriakku jengkel. “You jadi wartawan pelit amat! You kan punya entitas, punya kantor tempat you kerja. Seharusnya you minta dana peliputan pada perusahaan! Mana ada wartawan melakukan tugas peliputan dengan biaya operasional sendiri???!!! Pasti itu sudah masuk beban operasional perusahaan!”

“Benar ngga mau kasih gratis? Oke, mohon dipermaaf. Saya akan boikot peliputan tempat ini. Saya juga akan mengultimatum kepada rekan-rekan jurnalis untuk memboikotnya juga!”

“Nuwun sewu! Kalo mau yang murah liputannya di pantai indrayanti, krakal atau drini. Cuma tiga ribu. Atau ke prapatan kantor pos besar dan malioboro, gratis!”

Akhirnya sekuriti datang menghalaunya pergi.



“Brandon.” Kata brondong itu.

“Hah?”

“Iya, namaku Brandon. Dari bondowoso”

“Oh..”

“Mohon dipermaaf kejadian siang tadi. Nama kamu, siapa?”

Eh, si brondong bondowoso ini mulai kurang ajar. Benar-benar nggak sopan, pake ngajak-ajak kenalan.
Aku diam, tak mau memperkenalkan namaku.

“Ayolah , lupakan saja yang tadi. Boleh kan kenalan?”

“Hmmm.. Roro” jawabku lirih.

“Maaf , kurang kedengaran.”

“Roro, Roro Jonggrang.”

Aku sebut namaku. Tentu saja bukan nama asli.

“Oh, seperti nama ..”

“Stop, jangan banyak nanya. Kayak wartawan saja!”

“Lha saya kan memang wartawan.”

“Aku bilang stop! Jangan banyak nanya!”

“Oh…”

“Oke, kamu kesini perlunya apa?”

“Begini Roro, sebenarnya saya sudah lama memperhatikanmu. Bukannya apa-apa, saya sangat terkesima melihat kecantikanmu.”

Aku diam saja, tetap dengan wajah jutek dan jaim. Sedikit jual mahal juga. Kubiarkan si brondong bondowoso ini ngomong sesukanya.

“Coba lihat ini.” Si brondong bondowoso merogoh sesuatu di tasnya. “Saya punya foto-foto Roro. Bagus sekali, cantik.”

“Dasar kampret!!” bentakku.

“Benar, saya anggota Kampret. Klub fotografi paling tersohor di seluruh nusantara.”

“Kamu mulai kurang ajar ya??!!”

“Oh tunggu, jangan marah dulu Roro,” kata si brondong gemetar. “Saya ini tak sembarangan memotret. Kalau saya memotret, pasti ada sesuatu yang luar biasa.”

Dasar gombal nih si brondong bondowoso. Aku mulai memperhatikan foto-foto itu.

“Hmm.. boleh juga fotonya” gumamku.

Aku takjub dengan foto-foto itu. Foto-foto diriku yang indah. Ada foto hitam putih yang klasik dan elegan. Ada juga foto diriku dengan latar belakang landscape yang memesona. Foto minimalis, foto dengan unsur-unsur garis, foto fesyen, ah semuanya luar biasa. Aku penasaran, bagaimana ia memotretku tanpa sedikit pun aku mengetahuinya.

“Kalau nggak keberatan, tolong Roro apresiasi foto-foto ini”

“Apresiasi? Ah, aku ngga bisa!”

“Oke. Foto-foto ini buat Roro saja”

“Hah?” Aku kaget. “Berapa harus bayar?”

“Tidak perlu bayar. Gratis.”

“Benar?”

“Benar ”

“Kok…?”

“Foto-foto ini sudah menang di duabelas edisi WePeCe, semacam lomba foto-fotoan gitu. Jadi aku dapat hadiah dan sudah balik modal.”

“Oh ..”

Aku kemudian terdiam.
Si brondong bondowoso juga diam.
Beberapa menit kami tanpa suara.

“Mmmm … Roro.”

“Iya”

“Mmmm … Mau nggak Roro jadi pacarku?”

Aku terdiam kembali.
Si brondong bondowoso juga diam.
Beberapa menit kami tanpa suara.

“Kalau mau jadi pacarku, ada syaratnya.”

“Syarat?”

“Iya.”

“Syarat apa?”

Aku pegang foto-foto itu. Aku lihat sata demi satu. Dua belas foto diriku yang benar-benar cantik.

“Aku mau foto-foto ini dilukis kembali pada tembok pasar beringharjo. Keduabelas gambar harus sama persis dengan foto-foto ini.”

Aku diam sejenak.
Si brondong bondowoso juga diam.
Beberapa menit kami tanpa suara.

“Sanggup?” tanyaku

“Baiklah, aku sanggup memenuhi permintaanmu, Roro.”

“Satu syarat lagi. Kamu harus merampungkan lukisan-lukisan itu besok pagi.”

“Besok? Jam?”

“Besok pagi, ketika terdengar suara musik gerobak tukang roti melintasi pasar.”

“Ok. Deal.”

Si brondong bondowoso membawa foto-foto itu dan meninggalkanku. Aku lirik jam tanganku, jam tujuh malam.

Aku tersenyum, aku yakin dia akan gagal.



Sudah jam empat pagi.
Semalam-malaman aku tak bisa tidur.

Entah kenapa, aku memikirkan si brondong bondowoso.
Ah, mending aku lihat si brondong di pasar beringharjo. Aku pun berjalan kesana.

Aku lihat si brondong melukis tembok pasar itu. Lukisan yang indah!
Satu, dua, tiga … Oh tidak. Dia sudah menyelesaikan sebelas.
Tinggal satu lagi dan dia akan jadi pacarku. Tidaaaak!!!

Aku berlari menuju satu rumah tak jauh dari pasar.
Kuketuk pintunya pagi-pagi buta.

“Ono opo nduk?” tanya pemilik rumah.

“Maaf pakdhe. Saya pinjam gerobak rotinya.”



Kukayuh gerobak roti dengan terengah-engah.
Tubuhku kuyup oleh peluh.

Aku sampai di pasar.
Si brondong hampir selesai.
Buru-buru hendak ku putar jingle tukang roti.

Tapi…

“Priiiiiitttt!!!”

Seorang satpol PP muncul dari kejauhan.

“Hei, kalian berdua! Apa-apan ini???!! Kalian mengotori tembok!!!”

Dia berlari ke arah kami.
Kubalik arah dan kukayuh gerobak roti sekencang-kencangnya.
Si brondong kabur entah kemana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar